SEPANJANG perjalanan pulang, aku dan Juleha tak saling berkata. Aku terus dibayang-bayangi Aisyah dan Farhan. Mereka seolah-olah sedang menertawakanku. Sementara Juleha, aku tidak tahu apa yang hinggap di benaknya. Mungkin, masih kecewa dengan sikapku di sekolah yang tak kunjung berubah.
Sampailah di rumah Juleha. Dia lantas turun dari kendaraan, lalu menghadap ke arahku. Wajah Juleha tetap memerah. Aku bisa melihat dirinya masih menahan BAB, eh sori, menahan kekecewaan. Aku menunggu Juleha mengatakan sesuatu. Tapi dia diam saja. Semilir angin lantas berhembus menciptakan debu-debu yang berterbangan kayak di wild wild west.
“Aku minta maaf,” tuturku lembut.
Juleha masih membisu. Dia lagi-lagi menghela nafas. Aku bisa melihat dadanya membusung, lalu mengempis. Sepertinya Juleha merasakan sesuatu yang sebelumnya tertahan, telah menghambur keluar dari tubuhnya, tapi bukan kentut. Aku pun bisa merasakan kelegaan yang sama.
“Ya sudah
KIRANA dan aku pun melintasi sebuah kolam renang besar, yang aku kira berbentuk sehelai daun mangga. Airnya jernih hingga memantulkan biru langit, kayak matanya si Kirana. Di sekelilingnya, pohon palem melambai-lambai tertiup angin. Terlihat pula beberapa pembantu rumah tangga sedang sibuk di bagian belakang rumah ini.Agak jauh lagi ke belakang, ada sebuah bangunan sebesar mini market franchise yang tampak anyar dibangun. Soalnya, aroma catnya masih kentara. Dari dekat, aku bisa mendengar pelan suara alat musik di dalamnya. Aku meyakini kalau bangunan ini studio musik pribadi.Ketika pintu ganda bangunan itu dibuka Kirana, terdengar bunyi-bunyian alat musik yang menggelegar. Mengetahui ada yang datang, bunyi-bunyian itu mendadak berhenti. Di dalamnya, sudah ada tiga anak muda yang sudah siap di posisinya masing-masing. Kirana pun memperkenalkan aku pada mereka.Mereka antara lain, si Catur penggebuk drum, Andi sebagai gitaris dan Vira sebagai keyboardis.
AKU bergegas membersihkan diri setelah pulang dari rumah Kirana tadi. Masih ada waktu satu jam sebelum pengajian di rumah Haji Abdul Rasyid dimulai. Aku pikir aku akan minum kopi dulu di warung Cak Lamis.Saat memilih busana yang akan aku kenakan untuk bertandang ke rumah, aku teringat kalau koleksi busana muslimku minim. Terpaksa, aku pakai saja baju koko kelir putih legan panjang dan celana kain hitam. Busana standar umat muslim. Oh iya, kalian udah tahu kan kalau baju koko itu sejatinya bajunya orang Cina?Setelah tubuh ini kusemprot minyak wangi tipis-tipis, aku melangkahkan kaki keluar dari kamar. Di toko, aku melihat ibu sedang menonton televisi dengan serius. Aku pikir beliau sedang menonton sinetron favorit atau semacamnya. Baru saja hendak berpamitan, aku menyaksikan televisi sedang menayangkan program berita.Aku lantas penasaran dengan berita macam apa yang menarik perhatian ibu. Ternyata, ada berita tentang seorang gadis di bawah umur yang diperkosa
RUMAH Aisyah ini bak Istana Nurul Iman Kesultanan Brunei Darussalam. Berdiri kokoh dinding-dinding tinggi dengan sederet ventilasi terbuka. Selain bangunan utamanya yang menjulang, bagian halamannya juga luas sekali. Kira-kira satu lapangan sepak bola. Halaman itu sendiri ditanami pohon papirus dan pohon kurma. Pokoknya timur tengah banget.Di bagian halaman ini, terhampar karpet dan tenda-tenda raksasa. Berdiri pula kipas angin dan AC portabel yang mengisi setiap sudut halaman. Lautan manusia bergamis maupun berkerudung pun membanjiri hingga ke jalan depan rumah sampai ujung jalan. Padat sekali.Musik bernuansa Islami pun terdengar diputar dengan volume yang memekakkan telinga. Yaa toyyibah, yaa toyyibah ... dan seterusnya, dan seterusnya. Ditambah dengan sekelompok orang bersorban yang baru turun dari mobil pikap, lengkap sudah suasana khas pengajian ala Indonesia.Uniknya, orang-orang bersorban ini tidak hanya tiba dengan pikap, tapi ada juga yang turun dari
LALU, pembawa acara membacakan jadwal acara pengajian selanjutnya. Giliran seorang cendikiawan Muslim yang akan memberikan pidato. Aku kaget ketika nama Imam Syahrir dipanggil. Soalnya, aku tidak melihatnya di tenda manapun. Pakaian sorban dan cambang nan lebat, pastilah tidak sulit menemukannya.Imam Syahrir mengenakan busana yang sama dengan yang dia kenakan saat hadir di In-Depth with Aaliyah kemarin. Thawb dan guthrah. Saat dia berjalan menuju mimbar di atas panggung, teriakan Allahu Akbar berulang kali berkumandang.Aku jadi merinding sendiri mendengarnya.Sambil berdiri di mimbar, Imam Syahrir pun membalas teriakan itu dengan, “Allahu Akbar,” pula. Suasana di rumah Abah Rasyid semakin ramai. Ratusan orang dengan sorban tiba-tiba maju ke depan di hadapan Imam. Sepertinya mereka benar-benar bermaksud untuk menyimak petuah-petuahnya.Aku yakin mereka adalah massa Laskar Jihad Nusantara alias Lasjitara yang kesohor itu.Usai menyapa h
ALARM jam ponselku berdering. Aku pun terbangun dibuatnya. Jam setengah tujuh pagi. Seperti biasa, aku bergegas bangkit dan langsung membersihkan diri di kamar mandi. Setelah itu, aku olesi ketiakku dengan deodoran, tubuhku aku semprot dengan parfum. Lalu kukenakanlah seragam batik khas hari Jumat. Aku bersumpah, di kampus aku tidak akan menemui Aisyah lagi.Aku melangkah ke halaman dan kupanasilah motor matik kesayangan yang baru aku beli tiga bulan yang lalu. Tapi kok ya ada yang mengganjal. Biasanya, setiap hendak berangkat kampus, ibu sudah cerewet. Namun sekarang berbeda. Aku tengok ke arah toko. Aku melihat Yeyen sedang berjaga sambil mengetik di ponselnya. Dia tampak senyum-senyum sendiri.“Kowe gak ngampus ta?” tanyaku prihatin. (Kamu gak ke kampus?)“Gak,” jawabnya pendek sambil senyum-senyum. (Nggak)“Lha lapo?” aku penasaran. (Lha kenapa?)“Saiki tanggal abang, Mas,” tawa Yeyen meledak. (Se
Saat bungkusan paket itu terbuka paripurna, mendadak aku bisa melihat kedua bola matanya berbinar. Doi berusaha menutupi rasa gembiranya dengan membalikkan badan. Juleha lantas membeber gaun yang dia idamkan itu ke arah ventilasi. Kan lagi hujan, apanya yang mau diterawangi? Tapi, Juleha kelihatan bahagia hingga guling-guling di lantai.“Surprise!” kataku verbal dengan datar.Tapi tanpa alat bantu dengar, Juleha tak mendengarnya. Semoga dia membaca gerak bibirku.Di tengah Juleha mengagumi pakaian yang diinginkannya itu, aku bergeser duduk di kursi sofa butut di ruang tamu. Doi lantas menurunkan baju, berbalik badan lagi, lalu menatapku tajam.“Piroan?” tanyanya verbal. (Berapaan?)“Rong atus,” aku menjawab jujur dengan bahasa isyarat, lantas berhanduk. “Balekno lho yo?” (Dua ratus. Kembalikan, lho ya?)Aku sengaja ngomong begitu supaya Juleha merasa terikat denganku karena berhutang. Aku pun t
Aku penasaran.Baru saja hendak berjalan menuju rumah Juleha, ada suara seorang wanita memanggilku. Dari nadanya, aku bisa mengenali, itu suara ibuku. Dia sepertinya berjalan tergesa-gesa dari arah warung Cak Lamis. Ibuku sepertinya memegang map berkas."Lang!" Panggil ibuku."Ya," jawabku."Kamu ditunggu di Cak Lamis," kata ibuku sambil menjentikkan map berkas di udara dan melewatiku.Apa yang membuatnya terburu-buru? Mungkin dia lupa sesuatu saat bekerja di Mak Atik Catering. Tapi, file apa yang dia bawa? Sepertinya penting. Oke nanti. Sekarang, ada sesuatu yang lebih mendesak – ke rumah Juleha untuk meminta penjelasan."Galang, Nak!" panggil ibuku dari dalam toko."Ya," jawabku, menghentikan niatku untuk pergi ke rumah Juleha."Pinjam HP-mu," tanya ibuku. "Pulsa ibuk habis.""Oke," aku berjalan mendekat dan memberikan ponselku padanya.Aku tidak tahu siapa yang akan dia telepon. Tapi, ibuku keluar dari to
Pecok dan Mat Bagi tertawa cekikikan. Mereka tidak tahu apa yang baru aku alami tadi malam di rumah Aisyah, dan tadi siang di rumah Juleha. Wabil khusus yang aku sebut terakhir, sekarang aku malah ngobrol cakep bersama kakaknya. Kalau sampai Juleha mengadu ke Kentung, aku bisa dicor dan dibuang raja tuyul itu ke laut. Jenazahku pun tak akan pernah ditemukan. Hiks.Aku pun menyela di tengah nyanyian, dengan bertanya pada Kentung dan Culex, mengapa mereka tidak bekerja? Mereka menjawab sudah lembur hari sebelumnya. Sekarang mereka cuma bekerja setengah hari. Persebaya gitu loh.“Lha, Santos nang ndi?” tanyaku.“Kencan ambek guru sekolahmu,” jawab Kentung.“Sopo?” aku penasaran.“Mboh, lha mosok aku bapak’e?” jawab si raja tuyul.Kami terus berpesta sambil bercanda. Di tengah lelucon, sudut mataku menangkap sesuatu yang tidak asing. Ada Toyota Avanza hitam diparkir di seberang Masjid Al Muha