Gibran berjalan bolak-balik di depan ruang UGD, ia sedang menelepon seseorang. Seperkian detik kemudian panggilan tersebut terjawab membuat Gibran senang setengah mati, "Halo, ada apa Bran?" tanya seorang laki-laki di seberang telepon.
"Tentang pendonor yang mati otak kemarin lo bilang, bisa ga hatinya buat teman gua, kalau ada gua langsung terbang ke Jakarta sekerang, soalnya penting Bro," ucapnya.
Helaan napas terdengar dari panggilan itu, "Sorry Bran, lo telat. Ada yang lebih membutuhkan soalnya. Mereka juga tiba-tiba majuin waktunya, gua lupa kabarin lo," jelasnya.
Gibran seketika kepalanya mengadah ke atas, ia mendengus kesal, "Gua juga membutuhkan, To," ujarnya.
"Iya gua tau, sorry. Ini juga keputusan keluarga pasien, gua ga bisa nuntut lebih," balasnya
Laki-laki bertubuh bongsor itu memicingkan matanya menatap Gibran, yang tengah berlari sambil memegang ponsel genggamnya. Arka melihat ke arah bunda yang sedang duduk di sampingnya, "Arka ke toilet dulu ya, Bun," cetusnya dan langsung diangguki oleh Diana–sang ibunda.Arka mempercepat langkahnya menyusul Gibran yang sudah mulai menjauh dari pandangannya. Sesampainya di koridor yang lumayan sepi, Gibran berhenti dan langsung menjawab panggilan telepon tersebut."Halo, Dok, ada apa?" celetuknya.Arka mendengar samar-samar suara Gibran. Ia mulai mendekat beberapa langkah dari Gibran, agar terdengar perbincangan dari sambungan telepon itu.Ia menyembunyikan tubuhnya di balik sekat tembok koridor dan tangga. Ia masih setia berdiri di sana, telinganya sudah terpasang dengan baik untuk mendengarkan perbincangan Gibran saat itu, "Arsa! Dia kembali sadar!"Mendengar kalimat yang dilontarkan di seberang telepon, Arka menautkan kedu
Arka meminta Arsa untuk menemuinya di kafetaria, yang memang dekat dari rumah mereka. Terlihat seorang pemuda mulai memasuki kafetaria tersebut, dengan raut wajah yang sangat marah, ia benar-benar sudah naik pitam sedari tadi.Tatapan matanya juga terlihat sangat tajam, seperti hendak membunuh seseorang. Netranya menjelajahi setiap sudut kafe tersebut, panggilan tak asing yang membuatnya langsung menoleh, terlihat seorang pemud kini tengah menyapanya.Dengan tangan yang terkepal erat, Arsa mulai berjalan cepat ke arah Arka. Sampainya di depan kembarannya itu, ia langsung menyetarakan keplan tangannya dengan wajah Arka–sang kembaran.Atensi seluruh pengunjung kafe mulai menatap ke arah mereka berdua, dengan raut wajah yang cukup terkejut. Pukulan itu belum mendarat di wajah Arka, masih setia di depan wajah kembarannya itu.
Athanasia mendudukkan bokongnya di kursi taman yang berada tepat di bawah pohon beringin. Ia terdiam sejenak dengan mata yang sudah bengkak. Air mata yang terus-menerus mengalir membuat jemarinya menghapus jejak air matanya. Kepalanya terus menunduk menatap tanah dengan perasaan gusar, menunggu sang kekasih datang."Sia," panggil seseorang dengan suara yang begitu amat ia rindukan, siapa lagi kalau bukan Arsa.Athanasia mengangkat wajahnya menatap laki-laki yang berdiri dan tersenyum ke arahnya, senyuman lelaki itu membuat hatinya seperti tersayat bilah pisau yang tajam. Seketika air matanya mengalir begitu saja tanpa permisi. Athanasia berdiri sembari menghapus air matanya."Maaf ngebuat lo khawatir. Seharusnya dari awal kita ga—" Ucapan Arsa terpotong tatkala Athanasia berlari ke arahnya dan langsung memeluk tubuhnya ta
Sesudah mengantarkan Athanasia pulang, Arsa balik ke rumah sakit, raut wajahnya berubah seketika. Gibran yang masih berada di sana menyadari itu, "Lebih baik jujur walau begitu menyakitkan, dari pada terus-terusan dipendam," celetuknya.Arsa menghela napas, ia duduk di sofa yang berada di sudut ruangan. Ia termenung, memikirkan kejadian hari ini. Kenapa begitu menyedihkan menjadi dirinya."Gua pulang ya, bokap gua udah neleponin dari tadi," cetus Gibran dan dibalas dengan anggukan oleh Arsa.Gibran memasuki ponselnya ke dalam saku celana, "Kalau ada apa-apa telepon gua," ujarnya dan Arsa hanya mengangguk menjawabnya.Gibran melihat tingkah laku Arsa, menghela napasnya, "Jawab iya kali anjir. Lo mikirin Athanasia?" tanyanya.Arsa memijat pelipi
Laki-laki bertubuh bongsor masuk ke dalam halaman rumahnya. Matahari mulai menampakkan cahayanya, begitu juga satpam rumahnya yang sudah berganti shift dan para pembantu rumah yang mulai mengerjakan pekerjaan.Setelah memarkirkan motornya di bagasi, Arsa memasuki pintu utama. Ia membukanya dengan kuat membiarkan suara pintu menggelegar mengisi seluruh ruangan. Tama yang masih sarapan di temani oleh Arka serta Diana. Awalnya mereka makan dengan khidmat, tetapi ketika mendengar suara pintu, gerakan mereka berhenti dan menatap lurus ke arah pintu utama yang menampilkan Arsa.Laki-laki itu melangkahkan kakinya dengan santai melewati ruang makan. Suara batuk dari Tama mampu memberhentikan langkah seorang Arsa, "Dari mana saja kamu?" tanya Tama sembari kembali menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya."Bukan urusan anda," jawabnya dan kembali melangkahkan kakinya.Tama langsung menoleh menatap tajam Arsa yang dengan santainya menaiki anak tangga. "Sekali d
Arsa menunggu namanya dipanggil, minggu ini adalah jadwalnya konsultasi ke Dokter Daniel dengan ditemani oleh Athanasia. Awalnya ia menolak karena ditemani oleh gadisnya, ia takut Athanasia mengetahui betapa pendek umurnya.Karena Athanasia yang begitu keras kepala memaksa untuk ikut, akhirnya Arsa memperbolehkannya dengan alasan ia menunggu di luar. Athanasia pun menyetujuinya.Sembari menunggu namanya dipanggil, Arsa memupuk pelan kepala gadisnya yang berada di pundaknya. Gadisnya itu terlalu lama menunggu sampai tertidur di pundaknya."Arsa Putra Pangestu," panggil seseorang resepsionis rumah sakit. Arsa menoleh ke arah Athanasia yang masih tertidur.Dengan pelan Arsa menggoyangkan tubuh Athanasia untuk membangunkannya. Untung gadis itu cepat bangun, ia mengucek matanya sambil menerjapkan matanya melihat sekitar."Pasien Arsa Putra Pangestu," panggilnya lagi.Arsa mengangkat tangannya, "Saya Sus, sebentar," jawabnya. Athanasia sontak lang
Terlihat Diana yang sedang membersihkan kamar putranya–Arka itu pun tiba-tiba menoleh ke arah pintu coklat yang berada di ujung lorong, yang tak lain adalah kamarnya Arsa. Entah mengapa ia tertarik untuk masuk ke dalam kamar tersebut.Walaupun ia tahu Arsa melarang orang-orang yang berada di rumah untuk masuk ke dalam kamarnya, tanpa terkecuali Diana—sang ibunda.Tangannya tergerak untuk membuka kenop pintu. Gelap, hanya itu yang ia lihat, karena sang pemilik belum pulang ke rumah. Ia mulai menekan saklar lampu yang ada di sana. Ruangan serba hitam dan beberapa pernak-pernik serta botol alkohol terpampang jelas memenuhi seisi kamar.Ia beralih ke arah rak buku kecil berdebu yang berada tepat di samping ranjang, sejuta kenangan berada di sini. Kalau diingat-ingat, sudah hampir sepuluh tahun ia tidak masuk ke dalam kamar ini.Diana tergerak untuk membersihkannya, ia mulai membersihkan debu yang berada di tempat-tempat tertentu. Walaupun berdebu,
Radit sedang asyik main PlayStation bersama di rumah dengan sepupunya sehabis pulang dari apartemen Satria, karena permainannya tidak seru dan itu membuatnya tidak fokus ke permainan, dikarenakan Radit sejak tadi kalah dengan sepupunya yang masih bocah berumur empat belas tahun."Ah lo mah Bang, ga asik anjir," seru anak remaja yang sedang duduk di sampingnya sambil memakan cemilan yang disediakan oleh ibunya.Radit mendecak sebal dan membanting stick PlayStation tersebut, "Bodo amat deh, gua cape. Main sendiri aja lo cil," sahutnya sambil rebahan di kasur tercintanya."Mending gua tidur," sambungnya.Saat ingin masuk ke dalam dunia mimpi, ponselnya yang berada di samping sepupunya berdering, "Bang ada telepon!" pekik bocah laki-laki tanpa memalingkan pandangannya dari layar komputer."Ambilin dah, mager."Bocah itu hanya mendecih tanpa memalingkan pandangannya dari permainan tersebut, "Ambil sendiri lah, lo kan punya tangan s