Sharon cemberut tanpa suara. Apa mungkin Douglas juga menganggapnya sebagai wanita jahat yang tega mendorong Sally sampai jatuh di tangga, kalau iya, jelas ia tidak akan mengakuinya sebagai menantu perempuannya.Ia menatap Simon. 'Apa dia akan menerima wanita yang dikirim Douglas ini?'Simon mengerutkan kening. Ia sudah menolak aturan ayahnya kemarin, tak sangka Rebecca akan kembali ke sini secepat ini."Kembalikan pakaian itu. Itu bukan tugas kamu." kata Simon dengan nada dingin. Akan ada orang lain yang mencuci pakaiannya dan sejujurnya ia benci saat orang asing menyentuh barang-barangnya."Tapi…""Keluar," Simon memotongnya dengan dingin.Sikap Simon dingin dan kejam. Hal ini membuat mata Rebecca memerah yang membuatnya terlihat rapuh dan menggemaskan. Namun ia tidak menunjukkan ekspresi apa pun di hadapan Simon."Ok, kalau gitu... aku akan keluar dan belajar dari Sekretaris Quinn tentang tugas-tugas di sini. Bapak bisa hubungi saya kalau butuh sesuatu." Kali ini ia tidak mau bertin
"Ah..." Sharon memekik pelan saat tersiram kopi panas. Terkejut, ia melompat dengan kuat.Cangkir kopi di atas meja yang ditumpahkan Rebecca langsung terciprat ke paha Sharon. Bajunya kini juga basah oleh kopi. Kopinya sangat panas hingga membakar kulit Sharon dan membuat ekspresinya berubah menjadi lebih buruk.Sebelum Rebecca bisa menguasai kondisi, ia merasa badannya terdorong dari belakang. Kemudian, sekelebat bayangan lewat di depannya dengan cepat.Simon yang awalnya duduk di seberang Sharon, dengan cepat muncul di hadapannya. Ia mengerutkan kening ketika ia melihat noda kopi besar di pahanya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menggendong Sharon dan menuju ke ruang istirahat.Rebecca duduk di lantai, masih shock. Ia menatap Simon yang membawa Sharon pergi dengan cemas. Ia punya perasaan bahwa kejadian ini sudah membuat dirinya dalam masalah.Simon membawa Sharon ke kamar mandi di dalam ruang istirahat dan membuatnya berdiri di shower. Ia mengambil selang shower dan memercikk
Saat mandi ia mengikat rambutnya yang panjang menjadi sanggul namun beberapa helai rambutnya yang basah menempel di sisi wajahnya. Itu tidak terlalu buruk untuk dilihat, sebaliknya, Sharon terlihat agak seksi.Ia membungkus tubuhnya dengan handuk mandi dan saat menyamakan pandangannya dengan Simon, wajahnya berubah menjadi merah muda dan matanya bersinar malu-malu.Simon tidak menyadari bahwa ia telah menatap Sharon dengan sangat fokus. Saat itu Simon menyadari jantungnya berdebar dengan kencang.Sharon tidak memakai sepatu apapun dan keluar tanpa alas kaki. Jari-jari kakinya melengkung karena tidak merasa nyaman.Sharon merasa seperti ada kupu-kupu di perutnya saat Simon terus menatapnya. 'Apa saya terlalu banyak mengekspos kulit saya?'Namun, Sharon tidak punya pakaian saat ini dan tidak punya pilihan…"Kamu sudah selesai mandi?" Simon bicara lebih dulu, tidak menyadari bahwa suaranya menjadi serak."Ya, sudah selesai." Sharon berdiri di tempat yang sama, tidak bergerak sedikitpun."
Simon memandangnya. "Sakit ya?""Sedikit.""Ok aku pelan pelan ya." Pada saat itu, suaranya luar biasa dalam, serak dan terdengar seksi.Sharon masih belum bisa bersikap santai. Ia melihat sisi serius Simon dan menjadi bingung. Pria ini membuat pikiran menjalar kemana-mana!"Nyonya Zachary, tolong lihatnya jangan kayak gitu." Simon masih mengoleskan salep ke lukanya saat masih sempat sempatnya mengangkat matanya untuk menatap Sharon dan mengatakan hal itu sambil sedikit bercanda.Tatapan Simon yang membara tertuju padanya, dengan senyum samar di bawah matanya. Sharon tidak bisa menghindari tatapannya tepat waktu dan tertangkap oleh Simon, membuatnya malu dan canggung."Enggak kok." Sharon dengan cepat menurunkan pandangannya. Upaya bantahannya sama sekali tidak terdengar meyakinkan.Ia merasa tertekan karena Simon semakin mendekat ke arahnya. Getaran kuat Simon menyelimuti dirinya. Ia mengangkat matanya dan melihat wajah tampan Simon begitu dekat dengan wajahnya. Jari-jarinya yang panj
Simon membuka pintu dengan sedikit celah dan mengambil pakaian dari Sekretaris Quinn, ia tidak membiarkannya mengintip ke dalam kamar mandi.Sekretaris Quinn sangat ingin tahu tetapi tidak berani mengintip atau bertanya. Ia hanya mengingatkannya. "Presiden Zachary, rapat akan segera dimulai. Semua orang menunggu Anda di ruang konferensi.""Ok. Kamu tunggu di luar ya." Simon memberi perintah lalu menutup pintu.Simon melempar bungkusan yang berisi pakaian itu ke sisi Sharon. "Pakai ya dan obatin luka kamu."Sharon mengatupkan bibirnya. Setelah apa yang sudah terjadi, dia masih berkata, "Terima kasih."Ia siap untuk pergi ke rapat itu. Ketika membuka pintu, sesuatu terlintas di pikirannya. Ia berbalik dan berkata pada Sharon, "Tunggu aku di basement nanti kalau udah selesai kerja. Kita bawa Sebastian kembali ke rumah Zachary."Sebelum Sharon sempat berbicara, Simon membuka pintu dan pergi.Sharon menghela nafas tak berdaya. Pada akhirnya, dia masih harus kembali ke tempat itu.Begitu Sim
Saat Douglas melihat Sharon, senyum yang semula ada di wajahnya langsung tergantikan dengan ekspresi dingin. "Kenapa kamu bawa dia lagi?" dia segera bertanya pada Simon dengan kasar.Ekspresi wajah Simon tidak berubah, ia menjawab dengan tenang, "Bukannya ayah yang minta?""Aku minta kamu jemput anak itu, bukan dia!" jawab Douglas dengan ekspresi dingin.Sharon tidak mengeluarkan suara. Memang, sepertinya Douglas tidak akan menerimanya.Sebastian menggenggam tangan ibunya erat-erat, dan berkata dengan tatapan serius, "Bu, ayo pergi. Kita tidak diterima di sini." Saat dia mengatakan itu, dia kemudian bermaksud menyeret Sharon pergi."Sebastian, mau pergi kemana? Kok kamu pulang, kakek nggak disapa," kata Douglas dengan suara cemas."Kamu mengusir ibu, jadi aku tidak akan tinggal di sini juga!" kata anak kecil itu dengan suara kekanak-kanakan, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak puas.Douglas tampak marah. Dia tidak bisa menangani anak kecil itu.Rebecca, yang sangat terkejut, bangkit pa
Di ruang kerja, Douglas memegang tongkat berkepala naga dan duduk di kursi kayu merah dan Simon duduk di seberangnya. Ayah dan anak itu memang sedang membicarakan Sharon.Jari-jari Simon yang kurus sedang memegang sebatang rokok yang masih menyala. Di tengah asap, fitur wajahnya yang padat menunjukkan ekspresi serius.Ia menyipitkan matanya samar ketika dihadapkan dengan perintah ayahnya. "Ayah, dia itu wanita yang sudah melahirkan anak saya. Ini bukan hal mudah untuk dilakukan."Douglas memasang ekspresi keras di wajah tuanya. Matanya yang kabur namun memiliki sinar gelap yang tajam. "Semuanya akan mudah kalau kamu bilang kamu menikahinya karena anak itu. Anak itu milik keluarga Zachary. Mulai hari ini dan seterusnya, dia akan dibesarkan di keluarga Zachary. Kasih saja dia sejumlah uang, terus usir dia."Sharon yang berada di luar pintu, mendengar hal itu dan membuat nyala api amarah membara di dalam dadanya. Tangannya terkepal keras tanpa disadarinya. Ia telah melahirkan anak itu set
Douglas berbatuk lembut dan memasang wajah tegas. "Dia sudah cerita soal kamu pecat dia. Dia cuma nggak sengaja numpahin kopi karena nggak nyajiin dengan benar. Kesalahan kayak ini harusnya nggak bisa bikin alasan dia dipecat kan?"Simon menunduk untuk menyembunyikan amarahnya. Ia tidak mau menjawab namun segera ambil keputusan.Ia memadamkan puntung rokok di tangannya di asbak. Kemudian, dia bangun. "Ok kalau itu bisa buat ayah bahagia." Ia berhenti sejenak, dan menambahkan, "Sudah larut, ayah harus istirahat." Ia berbalik untuk meninggalkan ruang belajar setelah mengatakan itu.Sebelum Douglas sempat bereaksi, Simon sudah pergi. Ia menghela nafas tak berdaya. "Bocah ini ..."'Ok, selama Rebecca bisa berada di dekat Simon dan jadi sekretarisnya, cepat atau lambat dia bisa gantikan Sharon!'Sharon telah mendengar kata-kata Douglas tentang merenggut putranya. Ia sudah sangat marah membayangkan jika itu benar-benar mereka lakukan. Ia hanya samar-samar mendengar kalau Simon tidak menyetuj