“Kenapa mba?” tanya Dean setelah Clarita tak kunjung menlanjutkan ucapannya.“Aku tak punya uang sepeserpun, De.”Dean tersenyum, ia menurukan tas jinjing yang ia bawa. Kemudian sebelah tangannya meraih sebelah tangan Clarita yang menggantung bebas. “Mba, ada Dean. Mba tenang aja ya. Toh Dean kan memang lagi nyari kos baru. Jadi Mba gak usah mikirin hal itu ya.”“Tetapi, De. Tetap saja mba gak enak.” Clarita mendongak manik matanya membalas tatapan teduh Dean.Dean tersenyum lebar dan berkata, “Dienakin saja mba kalau gitu. Oh iya, kita belum sarapan, Mba. Gimana kalau kita –““Gak usah, De. Mba gak lapar kok. Kalau De mau makan, De duluan aja. Em … .” Clarita mengedarkan pandangannya mencari tempat yang pas untuk dia menunggu. “Nah mba nunggu di sana aja ya,” ujar Clarita seraya menunjuk kursi taman yang berjejer di sepanjang jalan.“Apa sih, Mba. Kalau mba gak makan, De juga gak makan. Lagipula mba tuh harus makan. Kan mba lagi menyusui."Setelah melalui perundingan yang alot, akhir
“Atau kamu mau aku pakai baju yang –,“ ucapan wanita berambut pirang itu terhenti kala Atma berjalan melaluinya dan bergerak menuju pintu keluar butik.“Atma‼ Sayang‼” pekik wanita bersepatu high heels mengundang perhatian pengunjung sekitar butik.Seakan tuli, Atma terus berjalan lurus mengabaikan setiap teriakan yang terlontar dari bibir dengan warna merah merona itu. Atma merutuki kesialan di hidupnya, seharusnya ia menolak saja kala sang Ayah memerintahkan dirinya untuk mengurus cabang baru perusahaan keluarganya.“Sayang‼” pekik wanita dengan dandanan menor itu seraya sebelah tangannya ia gunakan untuk mencekal lengan sang pria.Atma menghentakkan jemari itu kasar. Tatapannya lurus dan dingin, baru ini ia enggan bersentuhan dengan wanita, selama ini ia selalu saja membiarkan tubuhnya dijamah oleh wanita liar, tetapi entah mengapa dengan wanita ini Atma enggan.“Kenapa kau keluar?”“Apa aku perlu menjawabnya?” balas Atma dingin.“Wahh 4 kata, sedikit peningkatan. Ayolah Atma, ayah
"Seperti bukan dirimu, At. Mencari tahu seluk beluk seorang perempuan, itu bukan kebiasaanmu.” Atma menatap datar pria yang menyandang status sebagai tangan kanan sekaligus sahabatnya itu.“Aku hanya ingin tahu, apa salah?”Bara menggeleng dan tertawa renyah. “Kau ini tak mengenal dirimu sendiri?” Pertanyaan Bara sukses membuat Atma terdiam tanpa rasa bersalah, Bara meninggalkan sahabat sekaligus bosnya yang tengah merenungi perubahan didirinya.Berbeda dengan Atma, Clarita wanita itu tengah sibuk dengan barang-barang yang ia bawa. Beruntung Yara dan Yandra hari ini tak begitu rewel. Selepas memberinya asi, kedua buah hatinya itu terlelap dengan begitu tenang.“De?” panggil Clarita pada wanita yang belakangan ini dekat dengannya.Dean menoleh, menatap Clarita bertanya. “Kenapa, Mba?”Clarita tampak ragu me
Tubuh Dean dan Clarita menenggang kala mendengar suara yang tak asing lagi di telinga mereka. Clarita menatap pria itu datar, sedangkan Dean menatapnya kesal. Masih tergambar jelas perdebatan sengit antara Dean dengan pria berambur cepak itu.“Apa‼” tantang Dean tak mempedulikan sekitarnya. Ia berjalan mendekati Bara yang menatapnya dengan sebelah alis terangkat.“Kalian kenapa ada di sini?” tanya Bara santai, sangat berbeda dengan sang lawan bicara yang menatapnya sengit.Dean memutar bola matanya malas, merasa pria di depannya begitu bodoh hingga melayangkan pertanyaan basa-basi yang tak berguna. “Kukira dengan pakaian rapi bak orang kantoran membuatmu sedikit lebih cerdas, Tuan.”“Apa maksudmu?”“Kurasa ini masih tempat umum yang terbuka untuk siapa saja. Dan sudah jelas bukan ini tempat apa?” sahut Dean tak peduli pada tatapan Bara yang menyorotnya lekat-lekat.Clarita mendesah malas, wanita yang baru saja melahirkan itu sangat menghindari perdebatan tak penting begini. ia mengham
Tubuh Clarita menengang, ia menatap Dean yang menunjukkan raut kesal. Kening Clarita mengernyit menatap ekspresi wajah Dean. “De?”“Om ngapain ke sini?” tanya Dean dengan nada kesal.“Om?” tanya Clarita, otaknya masih memproses apa yang sedang terjadi di depannya.“Om? Berulang kali kukatakan, aku tak setua itu hingga kau memanggilku om!” sahut seseorang dari arah belakang Clarita, sebuah dengan nada yang berat.Clarita menoleh, bola matanya membulat sempurna melihat sosok yang berdiri di balik tubuhnya. “Ck, tetap saja aku dan kamu beda usianya jauh! Jadi layak kalau kupanggil om. Lagi pula kalian ini siapa? Mengapa terus mendekati kami?”Pria itu mencebikkan bibirnya. “Ini tempat umum kalau kau lupa, di sini semua orang bebas keluar dan masuk.”“Kenapa harus di sini?” tanya Dean semakin kesal.Clarita menghela nafas kasar, bukannya ia kesal dengan Dean, ia hanya menyesali sikap Dean yang begitu mudah terpancing. “Sudahlah, De. Lebih baik kita segera pulang, hari semakin malam.”Dean
“Mba kenapa?” tanya Dean yang terbangun dari tidurnya.Jam dinding yang berada di kamar berukuran 4x4 itu menunjukkan pukul 2 malam, dan suara tangisan bayi terdengar menggema ke seluruh penjuru rumah kontrakan yang baru saja berpenghuni itu.“Eh? Kebangun De? Maaf ya De. Mba juga gak tahu sejak jam 1 Yara menangis, mba sudah beri asi tetap saja Yara menangis.” Penjelasan Clarita membuat Dean bergerak pelan mendekati wanita yang tengah menggendong Yara.Tangan lembut Dean terulur menyentuh kening Yara. “Ya allah, Mba! Yara demam!” ucap Dean membuat Clarita mendelik tak percaya.“Apa? Demam? Duh gimana De?” tanya Clarita panik.“Kita ke rumah sakit sekarang mba, sebentar biar Dean pesankan taksi online. Mba tunggu di sini ya.” Jemari lentik Dean mulai berselancar di ponsel berukuran 7inc itu. Menekan angka dan huruf secara bergantian membentuk jajaran kata yang ia tujukan pada supir taksi yang berhasil mengambil orderannya.Dengan lembut Dean, membawa Yandra ke dalam dekapannya. Tak lu
“Kalian?” ucap Bara meninggi.“Om! Kalian lagi? Kenapa sih dunia ini sempit.” Dean menatap sengit pria berjas di depannya. Begitu juga dengan Bara seakan tengah berperang keduanya sama-sama memancarkan aura permusuhan.Berbeda dengan Atma yang menatap lurus ke arah wanita dengan air mata yang berlinang. Ia tak mempedulikan dua insan berbeda jenis kelamin yang tengah berdebat hal sepele. Atma bangkit dari duduknya berjalan pelan mendekati Clarita.Sosok wanita dengan daster dan cardigan rajut itu hanya tertunduk dengan bahu yang bergetar. “Kenapa?” tanya Atma lirih.Clarita hanya menggeleng ia enggan bersuara. “Sakit?” tanya Atma menatap malaikat kecil yang terbaring di atas ranjang dengan kompres melekat di keningnya.Lagi-lagi, Clarita hanya mengangguk dalam diam, lidahnya seakan kelu. Pikirannya melayang membayangkan nasib sang bu
“Kenapa?” tanya Atma yang secara tiba-tiba muncul dengan Yandra di dalam gendongannya. Dari nada suaranya, Dean dapat menangkap kekhawatiran di sana. Sejenak Dean mengerutkan kening, mengamati sikap pria yang ia sendiri tak tahu berasal dari mana.“Biasakan jika seseorang bertanya itu dijawab bukan hanya diperhatikan,” peringat Atma pada Dean yang masih sibuk mengamatinya.Dean pun mengerjapkan mata cepat, ia kemudian tersadar pada beban yang tertumpu di tangannya. “Mba Cla, pingsan!” ucapnya panik. Atma pun bergegas keluar dari ruang rawat Yara. Ia memanggil perawat yang berjaga di ujung lorong.Tak berselang lama, Atma kembali bersama beberapa perawat yang membawa brankar. Pria berkemeja biru navy itu menyerahkan Yandra pada wanita muda di depannya, dengan gerakan lembut seakan Yandra adalah sebuah kaca yang dapat hancur jika tersenggol. Ia pun membantu perawat mendorong branka