Amelia ditemukan setelah mobilnya memasuki kota kelahirannya. Maka, segera wanita ini dihadapkan pada Adhinatha dan Sopia. “Dari mana saja?” tanya wanita ini dengan santai walau tatapannya tetap mengandung kekecewaan.
“Menitipkan Kenzo ke panti asuhan.” Wajah Amelia sedikit menunduk guna menyembunyikan kebohongannya.
“Panti asuhan mana?” Sopia masih menatap lurus ke arah putrinya.
“Mama dan papa tidak perlu tahu yang penting kan Kenzo tidak di sini, itu kan yang mama dan papa mau.” Hampir saja air matanya jatuh jika Amelia tidak mati-matian menahannya.
Adhinatha membuang udara pendek. “Iya sudah, kamu siap-siap lalu ikut papa.” Maka, hari ini Amelia disibukan dengan sederet kegiatan yang dikenalkan Adhinatha sebagai jalan masa depan menuju kesuksesannya. Namun, karena berjauhan dengan buah hatinya maka wanita ini sering tidak fokus hingga membuat Adhinatha memberikan teguran kecil.
“Kalau kamu bekerja seperti ini, papa yakin tidak akan ada orang hebat yang melirik, bahkan kamu hanya akan mendapatkan kekalahan di dunia bisnis dan politik. Kamu harus bisa bersikap sebagaimana seorang pemimpin!”
“Maaf pa, mungkin hari ini Amei memang sedang tidak bisa fokus.”
“Duduklah.” Adhinatha memberikan putrinya waktu untuk bicara tidak seperti Sopia yang serba tegas demi keseimbangan siklus keluarga. Amelia segera duduk di atas sofa yang sebenarnya sangat nyaman, tetapi tubuhnya tidak menemukan kenyamanan sama sekali. Adhinatha memerhatikan berbagai macam gambaran dalam lukisan wajah putrinya hingga dirinya pikir sesekali harus menempatkan diri menjadi teman curhat Amelia, “Ceritakan saja pada papa apa yang membuat kamu cemas?”
“Kenzo, pa. Kenapa papa dan mama tidak biarkan Kenzo bersama kita? Kenzo bukan aib kok pa. Kalau misalnya papa tidak mau orang-orang tahu kan mudah saja, tidak usah bawa Kenzo kemanapun, biarkan Kenzo di rumah.”
“Cara itu memang bisa dilakukan, tapi hanya hitungan jam saja. Kamu tahu sendiri, tamu papa, keluarga besar, semuanya sering datang ke rumah, apa mungkin keberadaan Kenzo bisa dengan mulus disembunyikan?”
“Harusnya papa coba bicara dulu pada keluarga besar kita, mungkin om atau tante siap menerima Kenzo, menjadi orangtua asuh Kenzo saat Amei tidak bisa mengurusnya.”
“Maaf Mei. Tapi kita ditakdirkan hidup di bawah aturan demi masa depan cemerlang kita bersama. Untuk apa papa menyekolahkan kamu jika ternyata papa tidak melihat hasil sekolah kamu.” Adhinatha mulai bersikap dingin setelah sebelumnya seakan mengerti posisi Amelia.
Amelia bergeming hingga beberapa lama karena kalimat yang terlontar dari mulut Adhinatha tidak mengandung solusi sama sekali apalagi menghilangkan kecemasannya terhadap Kenzo, mengikis saja tidak. “Pa, hari ini saja Amei mau sendiri dulu. Boleh kan pa?”
Embusan udara dibuang oleh Adhinatha. “Iya sudah, tapi besok kamu harus sudah siap dari segi fisik dan mental!”
“Terimakasih, pa.” Segera, Amelia meninggalkan gedung tinggi besar salah satu tempat kejayaan ayahnya. Wanita ini sibuk mengenang kebersamaannya dengan Kenzo di sebuah taman kota. Maka, panggilan segera mengudara pada ibu asuh Kenzo. “Kenzo sedang apa?”
“Baru saja tidur, non.”
“Sudah minum susu dan makan, popoknya sudah duganti kan? Jangan lupa mandikan Kenzo sore hari pakai air hangat.”
“Sudah semua non, kecuali mandi karena ini masih siang.”
“Syukurlah. Tolong rutin chat saya ya, katakan kegiatan serta perkembangan Kenzo.”
“Baik non, akan saya katakan mulai sekarang.” Wanita ini sangat mengerti kekhawatiran seorang ibu pada anaknya walau kakaknya mengatakan jika Kenzo adalah anak pungut, tetapi dari sikap Amelia, wanita ini mampu menebak dengan akurat jika balita ini adalah putra dari Amelia.
Setelah mendengar kabar Kenzo hati Amelia cukup tenang. Maka, dirinya mulai merogoh KTP milik Erland. “Aku akan menyusul kamu dan mengatakan tentang Kenzo.” Mobil segera melaju ke alamat yang tertera dalam kartu identitas legal dari negara. Niat Amelia sangat bulat, mengatakan segala hal yang telah terjadi setelah one night stay itu.
Namun, setelah tiba di lokasi ternyata penjagaan kediaman Erland sangat ketat dan formal. “Apa benar ini rumahnya Erland?” Amelia mengintip di dalam mobilnya tanpa berani membuka kaca mobil sedikitpun. Di sekeliling bangunan mewah itu terdapat banyak bendera negaranya, “Erland orang seperti apa?” Isi kepalanya segera berputar, mencoba menebak ini dan itu, tetapi tidak menemukan jawaban sama sekali hingga seorang penjaga menghampiri mobil yang terparkir di tepian kediaman sang tuan.
Kaca mobil Amelia diketuk halus oleh pria berpakaian formal tersebut, jabatannya seperti seorang satpam atau semacamnya, tetapi pakaiannya sangat rapih. Amelia membuka ksedikit kaca mobilnya. “Maaf nona, ini area dilarang parkir.” Kalimat yang segera dilontarkan oleh pria ini.
“Maaf tuan, apa benar ini kediaman Erland?” santun Amelia yang sedang berusaha memposisikan diri di wailayah asing yang barusaja dipijaknya.
Segera, kedua mata pria ini memicing penuh curiga pada Amelia. “Ada perlu apa?” Datar, dingin dan tegas. Itu adalah sikap yang ditunjukannya.
“Kebetulan saya mengenalnya, tetapi sudah lama sekali tidak melihat Erland.”
“Maaf nona. Jika tidak ada kepentingan lebih baik Anda urungkan niat menemui Tuan Erland.” Kini hanya sikap dingin yang diperlihatkan pria ini hingga membuat Amelia tidak nyaman, tetapi dirinya harus melanjutkan penyelidikan walau sepertinya tidak semulus dugaannya.
“Apa Erland berada di negara ini?”
“Anda tidak perlu tahu, nona!” tegas si pria.
“Maaf, tapi saya butuh bertemu dengan Erland.”
“Maaf, tidak bisa!” ketegasannya semakin berlipat. Amelia rasa tidak ada cara untuk mencari informasi di wilayah penuh penjagaan ini, bahkan pria yang menatap penuh penyelidikan ini terlihat sangat privasi pada informasi tuannya.
“Baiklah, tapi kalau bertemu dengan Erland tolong katakan wanita yang ditemuinya kurang lebih dua tahun lalu datang mencarinya.” Senyuman palsu ditambahkan, kemudian kembali menutup jendela mobil lalu pergi.
“Siapa Erland. Aku yakin dia bukan pria sembarangan, terbukti dulu saat pertama kali kita bertemu, dia berada di bar eklusif tempatnya manusia berkelas, lalu sekarang rumahnya terlihat sangat formal, bahkan satpamnya saja sangat formal untuk ukuran penjaga keamanan. Aku semakin penasaran pada Erland. Siapa dia?” Tidak habis Amelia memikirkan pria tampan yang membuatnya lupa pada dunia karena hanya merasakan syurga di atas ranjang yang hangat.
“Erland, lambat laun aku akan membuat kamu tahu kalau kamu punya anak dari hubungan kita. Kenzo telah terlahir, dia banyak mengambil wajah kamu. Jadi aku harap kamu tidak akan menolak Kenzo seperti papa dan mama,” sendu kembali merajang karena terpisah dengan sang buah hati. Namun, isi hatinya ini dibuyarkan kala tanpa sengaja mobilnya hampir bertaberakan dengan mobil dari arah lain.
Tin!!!
Klakson panjang itu dibuat oleh si pemilik mobil seiring berlalu, hingga membuat Amelia menggerutu, “Iya, aku tahu aku yang salah karena hampir saja melewati garis batas. Huft!”
Di sisi lain, seorang pria berpaikaian formal keluar dari dalam mobil. Segera, satpam berkata sangat hormat, “Maaf Tuan, tadi ada seorang wanita mencari tuan Erland. Katanya dia adalah wanita yang ditemui tuan Erland sekitar dua tahun lalu.”
Bersambung ....
Amelia tidak bisa berhenti begitu saja, dirinya mencoba mencari informasi dari pihak lain yaitu pedagang kaki lima yang tidak jauh dari kediaman Erland. “Pak, maaf bertanya. Rumah yang banyak benderanya itu rumah siapa ya pak?” “Kalau itu sih rumahnya pengusaha paling hebat neng. Masa neng tidak tahu,” jawaban yang diberikan bapak-bapak ini. “Rumah pengusaha paling hebat.” Amelia tercengang karena ternyata benar dugaannya jika Erland bukanlah orang sembarangan. “Iya neng. Terhebat di negara kita!” “Heuh!” Amelia semakin tercengang saja selama beberapa saat, kemudian terduduk lesu di bangku kayu. “Papa dan mama tidak bisa menerima Kenzo, apalagi keluarganya Erland.” Maka, Amelia kembali ke rumahnya tanpa semangat. “Mei, ada apa?” bisik Amanda kala dirinya sedang tidak berada di bawah perintah Sopia. “Erland putra dari seorang pengusaha hebat di negara ini. Apa menurut Kak Amanda, keluarga Erland akan menerima Kenzo?” “Kalau itu aku juga tidak tahu ....” Amanda ikut terbawa dalam
“Bi, kenapa memberi tahu adiknya bibi kalau Kenzo anaknya Amei?” protesnya disampaikan lewat panggilan di udara karena pasti bibi masih sibuk di dapur. “Bibi tidak mengatakannya, non.” “Yang benar bi ....” “Iya non, bibi berani sumpah.” Wanita ini celingak-celinguk ke persekitaran karena takut jika tuan atau nyonya mendengar percakapannya. “Tapi tadi adiknya bibi bilang, wajar seorang ibu inginkan yang terbaik untuk anaknya. Apa itu artinya kalau adiknya bibi tahu Kenzo anaknya Amei?” “Mungkin menebak dari perhatian Non Amei.” “Iya juga sih ..., hari ini Amei sering menelepon menanyakan Kenzo.” “Coba Non Amei tenang, percayakan Kenzo pada adiknya bibi, adik bibi bisa dipercaya non karena sudah berpengalaman mengurus dua anak,” nasihatnya karena menyayangi Amelia. “Iya bi, mungkin Amei terlalu over. Maaf ya bi.” “Tidak apa non ....” Kalimatnya tidak disahut Amelia karena wanita itu mendapatkan kunjungan tidak terduga dari Sopia. “Ada apa ma, kok tidak ketuk pintu? Amei kan kag
Nitara berpamitan pada Amelia, segera wanita ini meninggalkan gedung untuk menemui kekasihnya yang sudah menunggu di halaman. “Dari kapan di sini?” “Barusan sih. Gimana wawancaranya?” tanya William-putra pengusaha paling hebat di negara ini yang semalam menjadi bahan pencarian Amelia di dalam internet. “Aku keterima kerja, mulai besok aku punya jadwal di sini,” riang Nitara. “Syukurlah ..., tapi tadi papa bilang lagi, katanya papa siap menerima kamu kapanpun.” “Aku di sini saja ya ..., soalnya malu kalau bekerja di perusahaan papa kamu.” “Iya sudah.” William mengusap puncak kepala Nitara sangat lembut dan penuh kasih. Kala mereka berlalu, barulah Amelia keluar dari gedung perusahaan untuk mencari udara segar. “Pusing dan BT. Itu yang Amei rasakan di perusahaan papa. Harusnya papa biarkan Amei melakukan hobby yang dijadikan mata pencaharian!” Wanita ini duduk di kursi taman di halaman gedung. Handphone sudah dirogohnya, tetapi hanya dipandangi saja. “Kalau aku menanyakan Kenzo lag
Amelia tidak dapat menghubungi balik karena nomor telepon Erland tidak tertera dalam panggilan. Wanita ini mondar-mandir gelisah seiring menggigit ujung bibirnya. “Erland ..., Kenzo membutuhkan kamu. Please, jangan bersikap seperti ini!” lirih mencambuk batinnya. Wanita ini memutuskan kembali ke kediaman si pria, tetapi dirinya berpapasan dengan Sopia kala menuruni anak tangga. “Sayang, kamu masih belum mandi dan ganti pakaian? Berantakan sekali anak gadis mama!” omelan segera meluncur dari Sopia. “Ma, Amei akan mandi setelah menyelesaikan urusan.” Kalimat grasah-grusuhnya. “Urusan apa sih? Jangan berpura-pura penting deh Mei. Ayo mandi.” Sopia segera menggiring putrinya kembali, hingga Amelia melangkah mundur. “Ma ..., Amei ada urusan sebentar!” “Mandi Mei, kamu bau busuk, mana ada anak gadis berpenampilan seperti kamu!” “Sebentar saja ma ..., Amei janji kok!” “Kalau sudah mandi, mama izinkan kamu keluar. Lagi pula di halaman sedang banyak tamu papa. Mama malu Mei, kalau kamu s
“Amei minta dipijat ma, badan Amei pegal-pegal.” Untungnya isi kepala Amelia cepat tanggap memproduksi kebohongan yang dapat diterima logika. “Kan ada Amanda. Mama juga suka dipijat sama Amanda.” Sopia membuang kecurigaannya seiring menghampiri Amelia, memeriksa tubuh putrinya, “mana yang sakit?” “Kedua tangan Amei sama pundak.” “Makannya jangan keluar menjelang malam, mungkin kamu masuk angin.” Segera, pijatan sayang Sopia mendarat di bagian tubuh yang disebutkan Amelia, “lain kali kalau pegal lagi panggil saja Amanda jangan bibi, bibi harus memasak membantu bibi yang lain.” “Iya, Amei minta maaf. Tadi sekalian minta bibi bawakan camilan.” Mudah sekali untuk Amelia memperpanjang kebohongannya demi menyelamatkan dirinya dan bibi. “Tadi Amei menemui siapa? Kok cepat sekali, katanya akan bertemu teman-teman.” Pijatan Sopia terasa sangat nyaman di tubuh Amelia karena wanita ini memang pintar memijat sama seperti Amanda. “Banyak teman-teman yang cansel pertemuan, tidak asik jadi kita
William memang berpapasan dengan Nitara, keduanya sempat saling menatap walau kemudian Nitara menundukan wajahnya sebagai tanda hormat, dirinya masih ingin menyembunyikan status yang diinginkan banyak kaum wanita jika mereka adalah sepasang kekasih yang sedang bersiap-siap melangkah ke pelaminan. “Mau apa ya, William di sini?” gumam Nitara kala kekasihnya sudah melewatinya, berjalan bersama salah satu karyawan gedung ini guna mengantarkannya pada ruangan Adhinatha. Beberapa lantai dinaiki si pria hingga saat keluar dari lift, dipijaknya lantai yang sama dengan Amelia. Namun, takdir belum memertemukan mereka di detik ini. Segera, William dan Adhinatha berjabat saat tiba di ruangan yang sama. Kedua pria ini sudah melakukan pertemuan sebanyak dua kali, tetapi baru kali ini terjadi kerjasama bisnis. Adhinatha ingin memanggil Amelia supaya menyaksikan kerjasama bersama orang hebat, apalagi Willian adalah putra pengusaha paling hebat di negara ini. Namun, dirasa tanggung dan terlambat maka
“Bagus sekali kamu ingin menemui William!” Bangga Adhinatha yang berpikir jika Amelia mulai menunjukan ketertarikan pada bisnis. “Iya pa. Amei ingin sekali menemui William,” kata Amelia bersama antusias. “Papa akan mengatur jadwal pertemuan kalian, tetapi saat ada keperluan bisnis karena William tidak akan bisa ditemui secara pribadi.” “Kapan itu, pa?” Amelia menunjukan ketidak sabarannya. “Tidak akan lama lagi. Intinya kami akan membangun bisnis besar, kami akan sering bertemu.” “Boleh Amei meminta kontak William?” “Tidak ada sayang, papa hanya memiliki nomor perusahaan.” “Pa, coba katakan pada William jika Amei ingin bertemu untuk membahas bisnis!” “Sayang ..., papa baru saja membahasnya dengan William, lagipula Amei belum tahu apapun tentang kerja sama bisnis.” Sebenarnya Amelia sudah menebak jawaban ayahnya ini, tetapi karena penasaran kalimatnya tetap disampaikan. “Iya sih, iya sudah tidak apa Amei minta nomor kantornya saja, mungkin suatu hari Amei membutuhkannya saat Am
“Iya, siapa?” Suara Amelia sangat lembut saat berjaga-jaga mungkin peneleponnya kali ini adalah William. “Saya pria yang pernah kamu hubungi.” Suara bariton itu hadir lagi karena memang William berinisiatif menghubungi wanita murahan yang pernah menghubunginya. “Apa kamu ....” Amelia sedikit enggan menyebut nama Erland atau William karena panggilannya pernah diputus begitu saja oleh si pria. “Pria yang kamu sebut pernah tidur dengan kamu dua tahun lalu!” “Erland!” Amelia segera menginjak rem saking senang bercampur kaget, tetapi dirinya berhenti di tempat tidak tepat maka segera bunyi-bunyian klakson menamparnya hingga wanita ini segera menyimpan alat komunikasi untuk menepikan mobil sekalian meminta maaf kepada pengguna jalan yang merasa terganggu olehnya hingga wajahnya menyembul di balik jendela. “Erland, apa benar ini kamu? Syukurlah, akhirnya kamu mau merespon aku!” William bergeming sesaat karena dirasa pernah mendengar suara sejenis, tetapi tidak mengingatnya sama sekali pa