"Pernah. Bersama pacarku," jawab Renan dengan sejujurnya. "Kapan?" "Pacarku waktu SMA. Kami melakukannya dengan nekat, aku masih berumur 16 tahun waktu itu." "Dia melepaskan perawannya untukmu?" tanya Rania lagi dengan ragu-ragu. Ia tahu, raut wajah Renan yang sedikit berubah. Apa terlalu berlebihan untuk tahu tentang itu? Apa Renan akan marah? Dia hanya ingin tahu. Bukankah kejujuran sangat penting dalam memulai sebuah hubungan? Bukannya kalian akan saling menerima apa adanya? Renan meletakkan telapak tangan Rania di atas pipinya dan laki-laki itu pun mencium urat nadi Rania dan digigiti kecil-kecil. Dia tahu, Rania pasti ingin tahu tentang masa lalunya. Renan anggap, keingintahuan wanita itu karena ingin berusaha membuka hatinya lebih luas untuk cintanya. Setelahnya, Renan menggelengkan kepalanya. "Dia juga tidak perawan, aku bukan laki-laki pertama baginya." Rania sempat menaikkan kedua alisnya sedikit sebagai responnya yang sedikit kaget. "Kapan terakhir kau melakukan hubung
Melihat ekspresi anaknya yang seperti itu, Rania hanya menggeleng pasrah. "Game lagi, lagi, dan lagi. Akhirnya Buna yang dikacangin." "Bukan begitu Bunaaa. Buna kan sudah ada handa Enan, jangan marah ya, Bun," bujuk David yang sedikit memajukan tubuhnya ke depan. Dia menyembulkan kepalanya dari samping bahu Buna. Ekspresinya memohon pada sang Buna untuk tidak merajuk padanya. "Hm. Duduk yang benar David," titah Rania karena mobil sedang melaju. David pun menuruti dan kembali pada posisi semulanya. Renan menyentuh punggung tangan Rania dalam keadaan menyetir. Sesekali kepalanya menoleh ke wanita yang ada di sampingnya itu. "Biarkan saja, Bun. Nanti kita belikan dia mcd sebentar. Baru meninggalkannya di mobil, setidaknya dia punya makanan untuk mengisi perutnya itu." Rania menganggukkan kepalanya. "Baiklah jika begitu, Buna menurut saja apa kata Handa," tukas Rania, pandangannya masih berfokus pada luar jendela. Dia tidak marah, hanya David terlalu sibuk dengan game-nya. Renan terse
"Ren, kemarilah ... kau sibuk memotret dari tadi," protes Rania karena Renan seperti sibuk sendiri dan berakhir mengabaikan tujuan awal datang kesana. "Ah, iya. Pemandangannya sangat bagus, aku ingin mengirimkan ke seseorang," balas Renan. Kedua matanya masih terfokus pada benda pipih tersebut dan tampak memotret suatu objek yang menarik karena warna hijau yang terlihat mendominasi. Rania hanya berdehem sebagai respon atas balasan Renan, dia sedikit kesal. Pasalnya, laki-laki itu mengajak berkencan romantis dan hampir tengah hari dia hanya sibuk dengan ponselnya dan senyum-senyum sendiri. Lalu, dimana letak romantisnya? Pikir Rania, yang ada Rania hanya tampak seperti menemani laki-laki itu memotret objek. Akhirnya, tanpa disadari, Rania berjalan duluan meninggalkan Renan, dia mengelilingi lembang tersebut dan asik sendiri agar tidak kesal dengan pria yang sedang mengabaikannya. Mereka sedang berjalan di daerah lembang, salah satu tempat menarik yang wajib dikunjungi ketika ingin
"Aku benci k-kencan ini!" Rania memukul dada bidang Renan berulang kali dan berlari begitu saja meninggalkan Renan yang berusaha meraih tangannya. Stap! Renan malah mengangkat tubuh Rania dengan kedua tangannya, mengunci tubuh sang kesayangan dalam gendongannya. Sehingga, mau tidak mau wajah Rania jadi sangat berdekatan dengan wajah laki-laki tersebut. Renan sangat menyayanginya, dia tidak bermaksud untuk mengabaikan Rania. Tolong, maafkan untuk yang kali ini, dia pasti janji akan membahagiakan wanitanya dengan suka cita. "Maaf-maaf. Tidak lagi. Aku janji akan membuat Rania merasakan kencan romantis," tutur Renan yang mengelap jejak air mata Rania dengan bibirnya. Bahkan, dia melayangkan kecupan berulang kalo di kelopak mata si manis. "Awas saja jika masih sibuk dengan hp-mu. Aku benar-benar tidak akan mau lagi pergi kencan denganmu," ancam Rania dengan wajah dinginnya. "Aku janji. Sekarang nikmati sebentar jalan-jalannya. Aku akan terus menggendongmu agar kau tidak capek." "Bai
"Aku percaya," jawab Renan. Sorot matanya terlihat sangat serius mengatakannya. Benar, dia akan selalu percaya pada semua perkataan Rania. "Kamu bahkan nggak tahu kejadian sebenarnya tadi, harusnya kamu cari tahu dulu, Ren," sela Rania. Dia kagum pada Renan, tapi dibalik itu, Renan tidak seharusnya bersikap seperti itu dan lebih mencari tahu dulu kebenarannya seperti apa. "Aku percaya pada apapun yang dikatakan Rania," ucap Renan dengan matanya yang tidak pernah berpindah sedikitpun memandangi wajah Rania yang cantik. Apalagi, bulu mata yang sedikit lentik, menambah kesan manis yang dimiliki Rania. Dia akan selalu terpesona pada kecantikan yang ada pada diri wanita itu. "Aku bohong, Ren." Renan diam, membiarkan Rania berbicara lebih lanjut. Dia tidak suka, jika Rania memendam sendiri, apalagi pasal wanita Bandung itu. Sungguh, Renan ingin meluruskan semuanya, dia tidak menyukai Nindi. Memang benar, bahwa pertama kali bertemu Nindi, Renan sempat tertegun akan kecantikan dan keramah
Vano memanyunkan bibir bawahnya. "Nini tidak boleh," jawabnya dengan suara kecil agar tidak didengar oleh Hani. Hani menghela napas pasrah pada akhirnya. "Bukan tidak boleh, tapi akan lain jika memakannya dengan selai nanas, sayang." Hani mulai mengelupas beberapa kulit sosis, bsrsiap untuk dipanggang dan diolesi mentega terlebih dahulu. "Ano juga suka makan sosis pakai selai nanas ya, nak. Handa kecewa, sampai hal seperti ini saja tidak tahu." Lagi, Raihan mencium anaknya kembali, kali ini di dahi dan cukup lama. Begitu menyesalnya karena tidak ada di samping Ano saat anak itu masih balita. "Memang benar potokopianmu, Nak. Pangeran kecilku ini tidak ada bedanya dengan handanya. Aku saja terkejut saat dia bilang ingin makan sosis pakai selai nanas," celetuk Hani menyetujui perilaku Vano yang sangat mirip dengan putra sulungnya. "Ya sudah, Ano jangan cemberut lagi dong, nanti makan bersama Handa, ya, pakai selai nanas. Nini boleh, kan?" Raihan menatap ibunya untuk memohon agar dipe
"Bunaaaa!!!" "Anooo, Buna rindu Ano, huhu." Rania menggendong Vano saat anak laki-laki itu berlarian dari pintu apartemen. Rania sedang memasak nasi goreng di dapurnya dan Raihan datang untuk mengantarkan Vano pulang ke apartemen. "Ano uga lindu Bunaaa, muah ... muah ...." Vano menciumi pipi Rania seluruhnya. Dia sangat rindu sekali dengan ibunya. "Mas, duduklah," ucap Rania sambil menarik kursi pada meja makannya. Raihan mengangguk, dia juga datang dengan membawa kantong kresek besar berisi bahan-bahan makanan yang dibelinya tadi bersama Vano sebelum datang. "Terima kasih," balasnya sambil menaruh kantong kresek tersebut di atas meja makan. "Penghangat ruanganmu hidup, apa kau tidak gerah memakai baju rajut panjang seperti itu?" tanya Raihan yang sedikit keanehan dengan pakaian Rania, menurutnya terlalu tebal di saat penghangat ruangan juga menyala. Rania sedikit kikuk, matanya mengerjap begitu saja saat mendapat layangan protes dari handanya Vano. "E-eh, iya. Hanya ingin pakai
"Mas!" Jihan masuk ke dalam kamar Yogi dengan tiba-tiba. Yogi sampai tersendat dengan rokoknya sendiri. Gadis itu berlarian dan memeluk punggung telanjang Yogi begitu saja. "Bawa aku pergi. Mas Raihan hanya mencintai Rania, bukan aku!" rengeknya agar Yogi mengerti dengan perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja. "Aku tidak bisa," jawab Yogi yang memutar tubuhnya sehingga Jihan memeluknya dari depan. Yogi membiarkan begitu saja. Jika ditanya apakah dia memiliki perasaan pada Jihan? Jawabannya, mungkin iya. Tapi, sedikit. "Mas, apa kau rela melihatku hidup tidak bahagia bersama Mas Raihan? Bagaimana dengan hubungan kita?" tanyanya dengan gamblang, tidak peduli jika ada yang menguping di luar. "Kita tidak punya hubungan apa-apa. Apa maksudmu? Aku hanya bekerja di bawah ayahmu saja," jawab Yogi mengelak. Dia ingin mengakhiri semuanya, namun tidak tega pada Jihan. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia punya Irene dari dulu. "Mas," rengeknya kembali dengan cengeng. Kini, tanganny