"Mas Fais, tolong bantu aku, Mas. Danish demamnya tinggi banget. Aku mau membawanya ke rumah sakit, tapi nggak tau mau minta tolong sama siapa," mohon seorang wanita dengan menangkupkan dua tangan di dada, setelah pintu rumah yang di ketuk terbuka.
"Senja? Ya ampun, emangnya Gibran ke mana? Nggak pulang?"
"Nggak, Mas," geleng Senja lemah.
Rasa malu dan bersalah bercampur jadi satu. Menganggu orang lain tengah malam begini, bukan keinginan Senja, melainkan terpaksa.
"Keterlaluan!" Fais mengusap wajahnya kasar membayangkan kelakuan tetangga sekaligus rekan kerjanya, yang tidak pernah peduli pada anak dan istrinya.
"Sebentar, aku keluarin mobilnya."
"Iya, Mas. Aku lihat Danishnya dulu."
Fais sempat menoleh ke arah wanita yang setengah berlari untuk kembali ke rumah. Sebelum gegas mengambil kunci mobil dan mengeluarkannya dari garasi.
Tidak tega.
Otak Faiz buntu mencerna jalan pikiran suami Senja. Ternyata laki-laki se-tidak berguna seperti itu masih ada di bumi ini. Sialnya, itu orang di sekitar Fais sendiri.
.
Sembari menunggu Danish yang tengah ditangani dokter di UGD, Fais terus menghubungi nomor Gibran sampai beberapa kali. Namun, hanya suara operator yang terdengar meminta maaf.
"Sudahlah, Mas. Tidak perlu dihubungi," ujar Senja yang ternyata mengetahui apa yang laki-laki itu lakukan.
"Kenapa?! Dia ayahnya, harusnya dia di sini, bukan malah bersenang-senang saat anaknya sedang sekarat!" sentak Fais emosi. Sampai suster yang tengah mendampingi dokter untuk memeriksa Danish menatap ke arah mereka.
"Pak, Bu, kalau mau bicara sebaiknya di luar saja, supaya tidak mengganggu ketenangan pasien."
"Maaf, Sus," jawab Faiz lesu.
.
Danish sudah dipindahkan ke ruang perawatan, dan suhu badannya berangsur menurun. Setelah mendapat penjelasan dari dokter, bahwa tidak ada hal serius dengan putra semata wayangnya, Senja sedikit lega. Meski tak sedetik pun beranjak dari sisi bocah berusia lima tahun tersebut.
"Sayang, cepat sembuh ya, Bunda takut kamu sampai kenapa-kenapa. Bunda nggak punya siapa-siapa selain kamu, Nak," lirih wanita itu pelan, namun, masih sampai ke telinga Fais yang duduk di sofa.
Melihat interaksi wanita dalam balutan hijab warna peach itu dengan buah hatinya, keinginan Fais untuk berkeluarga mulai terbesit tiba-tiba. Aneh.
Ya, laki-laki itu belum menikah, meski usia sudah berkepala tiga. Belum siap. Alasan paling klise yang pemilik rahang tegap itu utarakan, tiap kali ada yang bertanya perihal kapan mengakhiri status lajangnya. Namun, entah kenapa dengan malam ini.
Menyadari mulai ada yang aneh dengan diri sendiri, Fais geleng-geleng kepala. Sampai tidak menyadari seseorang telah berdiri di hadapannya.
"Mas, nggak pulang? Kan, besok harus ke kantor?" tanya Senja.
Dalam jarak sedekat ini, Fais masih bisa melihat jejak-jejak kesedihan yang tertinggal di sana.
"Nggak. Aku di sini aja. Besok pagi baru pulang."
"Tapi, aku nggak apa-apa sendirian."
"Tanggung kalau harus pulang sekarang. Beberapa jam lagi juga udah pagi." Fais menunjukkan layar ponselnya yang menyala pada Senja.
"Maaf ya, Mas, udah ngerepotin," ujar ibu muda itu penuh rasa bersalah.
" Kamu santai aja, sesama tetangga udah seharusnya saling bantu membantu, kan? Sekarang, mending kamu istirahat, biar besok bisa ngurus Danish."
"Iya, Mas. Makasih banyak atas bantuannya."
"Sama-sama."
Fais menatap iba pada wanita yang sudah kembali mendekat ke ranjang Danish. 'Kenapa wanita sebaik Senja harus berjodoh sama manusia iblis," batinnya.
.
"Hai, kamu udah bangun?" tanya Fais yang sudah berdiri di samping ranjang Danish.
"Om Fais, Bunda mana?" Bocah itu bertanya dengan nada lirih.
"Bunda tadi ke musalla, solat subuh. Gimana, apa ada yang sakit?" Fais menempelkan punggung tangannya di dahi Danish, untuk memastikan suhu tubuh anak itu.
"Enggak, Om. Makasih ya om, udah peduli sama Danish. Padahal, Ayah, aja nggak peduli."
Seketika dada Fais sesak, mendengar celotehan Danish dengan logat khas anak kecil.
" Om," panggil bocah itu ragu-ragu
"Iya, Sayang."
"Boleh nggak Danish panggil Om, Ayah. Soalnya, Ayah Danish selalu marah kalau Danish panggil Ayah. Danish juga pengen kaya teman-teman, Om. Mereka ada yang dipanggil Ayah, Danish nggak ada."
Nyes.
Laki-laki tinggi tegap itu, seketika membeku di tempatnya. Sementara di balik pintu, seseorang membekap mulutnya dengan kedua tangan, agar suara tangisnya tak sampai terdengar. Wanita itu tidak menyangka, anak sekecil Danish bisa berkata seperti itu.
"Boleh, Kok. Danish boleh panggil Om Fais, Ayah."
"Asik, makasih ya, Yah."
Senja mengurungkan niatnya untuk masuk, dan memilih berlari ke toilet rumah sakit untuk menumpahkan sesak hatinya.
Ada masanya seseorang lelah, dan logika mengirim sinyal pada hati agar lekas menyerah. Sebab merdunya bisikan cinta tak 'kan pernah terdengar, pada sebelah tangan yang bertepuk di udara..Setelah membeli sarapan untuk Senja dan Danish di kantin rumah sakit, Fais pamit pulang, karena harus ke kantor. Dan berjanji pada bocah kecil itu untuk menjenguknya sepulang kerja.Meski Senja sudah melarang, nurani Fais masih berfungsi dengan baik. Melihat sepasang mata sipit milik Danish yang mulai berkaca, Fais tidak tega."Kenapa Ayah Fais nggak boleh ke sini lagi, Bunda? Apa karena Danish nakal?""Bukan nggak boleh, Sayang. Tapi, Om Fais, kan sibuk ....""Nggak kok. Ayah nggak sibuk, nanti pulang kerja, Ayah pasti ke sini buat jenguk Danish. Danish anak yang baik, siapa bilang Danish nakal?""Tapi, Ayah Gibran selalu bilang Danish nakal kan, Bunda?"Dalam mobil, Fais tidak mampu menahan kesedihannya. Danish terlalu men
"Sayang, kalau misal kita ... nggak tinggal bareng Ayah lagi, Danish nggak apa-apa?"Deg.Di balik pintu, Fais juga menunggu jawaban bocah kecil itu dengan hati berdebar. Entah kenapa, rasa khawatir tiba-tiba bersarang? Entah atas dasar apa, Fais merasa tidak rela jika Danish memilih bertahan."Bener, nanti kita nggak akan tinggal bareng Ayah lagi, Bun?" tanya bocah kecil itu yang sudah tampak lebih sehat dari sebelumnya."Ya ... menurut Danish gimana? Pokoknya ya Sayang, apapun keputusan Danish, Bunda ikut aja. Tapi, Danish harus jawab jujur ya, Danish masih mau tinggal bareng Ayah atau enggak?"Senja mengusap tangan putranya sembari tersenyum, seolah memberi tanda, Danish punya hak penuh untuk memutuskan pa yang akan mereka jalani selanjutnya."Eum, itu ... nggak apa-apa, kan Bunda?" tanya Danish sekali lagi sembari berusaha untuk duduk."Sini, Bunda bantu.""Enggak, Sayang. Mulai sekarang, Bunda cuma pengen lihat
Ada yang muncul tiba-tiba, sosok yang berusaha membawanya keluar dari semesta yang selalu malam.."Aku jahat kan, Mas?"Wanita itu terus meracau dengan tatapan kosong dan berkaca. Senja seperti kehilangan dirinya. Seperti bukan Senja. Fais yang merasa khawatir, tanpa berpikir panjang langsung meraih wanita itu dalam pelukan."Hei, tidak Senja. Bukan begitu maksudku. Maaf, aku salah bicara. Kamu ibu yang sangat baik untuk Danish.""Lalu, kenapa Mas Fais menuduhku menghancurkan kebahagiaan Danish? Kenapa?!"Bersamaan dengan isakan yang mulai tumpah, tangan mungil Senja memukul-mukul dada bidang lelaki itu. Sebagai pengganti tetiap kata, sebagai bentuk penjelasan, bahwa Senja bukan ibu seperti yang Fais tuduhkan."Aku tidak seperti itu," tekan Senja dengan suara yang terdengar parau."Tentu saja. Maaf. Sungguh aku tidak bermaksud menuduhmu seperti itu. Aku hanya tidak tahan melihatmu dan Danish jadi sasara
Pernah ada yang menunggu kepulangan. Dan itu hanya terjadi di masa lalu. Sebab di masa sekarang, ia bukan lagi milikmu. Pada hakikatnya, senja memang tak bisa kau nikmati setiap waktu kau mau.Sementara Senja yang baru keluar dari kamar mandi tampak kaget mendapati Fais bersama seseorang."Mas Fais, Bu ....""Biar tidak menimbulkan fitnah," ujar Fais tersenyum. Saat melihat Senja yang terkejut dengan keberadaan Bu Maria."Senja, ya ampun, Nak!"Bu Maria berjalan mendekat ke arah wanita cantik yang sudah dianggap seperti anak sendiri. Sementara Fais, memilih mendekat ke ranjang Danish. Bermaksud memberi ruang pada dua wanita beda generasi itu untuk bercerita. Mungkin."Kenapa kamu nggak ngomong apa-apa sama, Ibu? Ibu pikir kalian ke mana, udah dua hari kamu sama Danish tidak kelihatan.Untung tadi Fais ke rumah kasih tahu Ibu, kalau kalian di rumah sakit," ujar Bu Maria sembari memeluk Senja.Jelas sekali rasa khawatir
Jika cinta pertama selalu menyakiti, maka ketulusan cinta terakhir akan datang di kemudian hari. Dari tempat singgah itu, kau hanya perlu keberanian untuk melangkah pergi.."Senja, Danish!"Gibran yang baru keluar dari mobil, menatap orang-orang yang berdiri di depan rumahnya dengan tatapan yang tidak bisa dijabarkan.Sementara Danish yang tadinya anteng, kini malah mengaitkan tangannya ke leher Fais. Menatap tidak suka, pada laki-laki yang melotot ke arah bundanya. Jenis tatapan yang biasa balita itu lihat setiap hari. Pemandangan yang tidak menyenangkan sama sekali.Laki-laki yang sudah lima tahun lebih menjadi suami Senja, mulai berjalan mendekat mengikis jarak."Dari mana saja, kamu, hah? Bagus ya, pergi nggak bilang-bilang. Eh, ternyata pulangnya bareng laki-laki lain!" sergah Gibran setelah berdiri tepat di hadapan mereka."Lo lagi, bini ora
Tak ada yang sanggup berlama-lama dengan luka yang tercipta tanpa anestesi.."Oh, ini toh orang yang ninggalin noda lipstick di baju suami orang!""Sok-sok an nuduh istrinya selingkuh. Padahal, dia sendiri yang ketahuan main perempuan.""Iih, jahat banget sih, jadi lakik! Istrinya sibuk rawat anak di rumah sakit. Dia malah sibuk selingkuh. Pake fitnah Senja, lagi."Mendengar cemohan orang-orang yang masih setia bergerombol di depan rumahnya. Gibran merasa hampir gila. Dalam hati, laki-laki itu merutuki Natasya yang nekat menyusul ke rumahnya segala."Heh, Gibran. Harusnya kamu itu berterima kasih sama Fais, yang udah mau bantu bawain anak kamu ke rumah sakit, di saat bapaknya sendiri sibuk bermaksiat.""Eh, tau nggak sih, Ibu-ibu. Biasanya orang yang selingkuh, kalau sampe zina bakalan terkena penyakit kelamin. Ih, amit-amit, deh. Kalau aku jadi Senja, sih, u
Bu Maria segera berlari ke arah Danish, dan membawanya masuk untuk melihat Senja. Disusul, Fais."Ya Allah, Senja! Kenapa kamu sampai seperti ini, Nak?!" pekik wanita paruh baya itu panik, kala mendapati Senja terbaring di lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di samping jendela."Senja," panggil Fais mendekat dan berjongkok di samping Bu Maria. Sementara si kecil Danish, adalah yang paling takut di antara mereka."Bundaa ...! Bangun, Bunda. Huhuhu!""Senja, bangun, Nak." Bu Maria menyentuh pipi dan tangan Senja. Telapak tangan mungilnya terasa basah oleh keringat. Dingin.'Mungkinkah, Senja mendengar semuanya?' batin Bu Maria."Bu, ayo kita pindahin dulu ke sofa!""Iya. Awas dulu, Sayang." Wanita paruh baya segera menarik Danish menjauh, agar Fais bisa mengangkat Senja.&
Melihat tingkahmu, membuatku mendadak ingin menjadi orang tua.~Fais.Tok. Tok. Tok."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam! Sebentar!"Fais yang masih berada di belakang, berjalan dengan sedikit tergesa ke pintu utama, setelah mendengar ada yang memberi salam."Danish? Tumben ke sini, malam-malam?" tanya Fais yang baru menyembul dari balik pintu.Bagaimanapun, laki-laki dalam balutan kaos polos dan bawahan jogger pants itu sedikit kaget mendapati bocah yang kini berdiri di depan pintu rumahnya dengan sebuah buku bersampul gambar di tangan."Jadi, nggak boleh ya, Yah?" tanya Danish polos.Tergambar sedikit kekecewaan. Mungkin, tak pernah mendapat penolakan dari laki-laki yang dipanggil Ayah itu sebelumnya. Bukan penolakan, sebenarnya, hanya pemahaman si kecil Danish masih terlalu polos saja. Sebab ayah kandung selalu merespon dengan penolakan atas usahanya. Ketika ... mencari perha