Share

Chapter 8. Penolakan Tegas

Saat pajar menggelar warna-warnanya dan burung-burung berkicau bersahutan mendengungkan nada-nada indah yang melukiskan aroma pagi telah datang. Gemuruh dedaunan yang tersentuh angin pengembara melenggak-lenggok bagai sang penari  yang menjadi ritual pagi menyambut sang mentari.

“Prok! Prok! Prok!”

Gemuruh hentakan suara sepatu jungle para tentara yang berjalan melewati sebuah tenda tempat Pak Musa dan keempat rekannya ditahan terdengar jelas. Sepatu para tentara itu sepertinya terbuat dari kulit asli pilihan dengan sol kembang cermai baja pilihan tapi ringan yang dibuat dengan penuh kecermatan tingkat tinggi hingga menghadirkan bunyi derap yang berbeda. Bunyi derap sepatu para tentara yang berbaris itu hinggap di telinga Pak Musa. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang kemudian disusul oleh keempat rekannya. Dari luar tiba-tiba muncul beberapa orang lelaki dengan membawakan makanan dan yang lainnya membawa beberapa baskom yang berisi air hangat lengkap dengan beberapa handuk kecil untuk mencuci muka. Pak Musa mencuci mukannya yang kemudian disusul oleh keempat rekannya, mereka kemudian menikmati makanan yang sudah tersedia di meja.

“Kita harus bagaimana, Pak? Saya rasa, Pak Gamaliel akan terus memaksa kita agar mau bekerja sama dengan mereka?” kata Pak Wira membuka percakapan.

“Saya juga masih bingung bagaimana menghadapi orang seperti Gamaliel itu. Pak Wira juga mungkin masih ingat siapa Gamaliel itu. Dua belas tahun yang lalu, ketika ia menjabat sebagai wakil Gubernur, ia banyak memanipulasi dan menggelapkan uang rakyat. Bahkan, dengan segala akal liciknya, banyak perusahaan negara yang sahamnya ia jual ke perusahaan asing. Dan ketika kelakuan bejatnya itu ditentang oleh Pak Gubernur hingga ia pun akhirnya diberhentikan secara tidak hormat. Namun sayang, seminggu setelah pemecatannya itu, tiba-tiba Pak Gubernur dan seluruh keluarganya meninggal secara tragis. Dari dulu saya curiga, kalau dalang dari pembunuhan itu adalah dia. Karena kalau bukan dia, siapa lagi yang berani berbuat hal keji seperti itu. Dia akan melenyapkan siapa saja yang menentang pemikiran-pemikirannya, bahkan mungkin itu juga yang terjadi pada Pak Gubernur yang merupakan penentang terberatnya saat itu,” ujar Pak Musa menuturkan kenangan lama.

“Pak Ferdy, mengapa anda bisa tertangkap? Bukankah kemarin kita bersama-sama mengadakan rapat, dan anda masih berada di tempat itu ketika saya pergi,” tanya Pak Musa menatap pada Mayje Ferdy.

“Saya juga sama sekali tidak menduga, kalau orang-orang yang menyertai saya ternyata ada yang berhianat. Saat saya hendak kembali ke markas, ternyata saya dibawa ke sebuah tempat yang setibanya di sana, ternyata saya langsung dikepung oleh tentara pemberontak, enam pengawal setia saya ditembak mati, dan para penghianat bergabung dengan pasukan pemberontak,” sahut pak Fedy menuturkan.

“Sepertinya, kita harus melakukan pembersihan pada tentara kita, agar kita tidak kecolongan lagi,” timpal Pak Kamaludin. 

“Ya, kalau tidak ada orang dalam, mana mungkin mereka bisa menjalankan langkah mereka dengan mulus. Fawn Gamaliel adalah orang lama di pemerintahan, pemikirannya sangat liar dan licik. Namun, ia sangat pintar berdiplomasi. Jika yang dihadapinya orang yang tidak mengenal dirinya, maka akan mudah terbujuk,” ucap Pak Musa menambahkan.

Ketika mereka sedang berbincang-bincang, dari luar tenda terdengar langkah kaki sekelompok orang yang sedang berjalan menuju tenda mereka, dan sesaat kemudian terlihat Pak Gamaliel dan Pak Gandara masuk ke dalam tenda itu.

“Selamat pagi Bapak-bapak. Saya harap kalian suka dengan sajian menu sarapan paginya,” sapa Pak Gamaliel. Pak Musa dan keempat rekannya menghentikan aktivitas sarapan mereka.

“Bagaimana Pak Gubernur dan Bapak-bapak semua. Apakah kalian sudah mendapatkan kepututusan yang tepat? Saya harap. Keputusan kalian itu tidak mengecewakan kami dan juga tidak merugikan kalian,” ucap Pak Gamaliel sambil mengepulkan asap rokok dari mulurnya.

“Gamaliel. Saya mengenalmu bukan sehari dua hari. Saya tahu betul siapa kamu. Orang yang serakah dan tanpa moralitas serta tidak pernah berubah. Pigur  kepemimpinan dalam dirimu sedikit pun tidak ada. Kalaupun suatu masyarakat memilih kamu. Saya yakin, kamu hanya akan menjadi pemimpin yang korup saja,” sahut Pak Musa.

Pak Gamaliel terlihat menghisap rokoknya dengan santi.

“Musa, Musa. Sudah berada di kandang macan saja kamu masih banyak berkicau. Memangnya saya tidak mampu untuk memimpin mereka?” tatapan Mata Pak Gamaliel tajam pada Pak Musa.

“Ingat Gamaliel. Kepemimpinan itu membutuhkan kearifan yang akan menuntun pemimpin itu untuk mampu membedakan tindakan yang pantas, dan tidak pantas yang hasilnya adalah moralitas, etika dan keadilan. Selain itu, seorang pemimpin juga harus memiliki imajinasi positif yang tinggi sehingga akan memberikan cara pandang yang terbuka. Namun sayangnya, semua itu sedikit pun tidak pernah ada dalam dirimu Gamaliel. Imajinasi yang ada dalam benakmu hanya keuntungan semata tanpa mempedulikan rakyat yang menderita,” jawab Pak Musa dengan lantang dan perkataan Pak Musa itu bagi petir yang menyambar gendang telinga Pak Gamaliel.

“Cukup Musa! Saya tidak ingin mendengar ocehan-ocehanmu lagi. Saya hanya ingin kamu membacakan teks dalam kertas itu di depan kamera, dan menandatangani surat persetujuan di bawahnya. Setelah itu, biar kami yang bekerja. Simple kan! Karena kami membawamu ke sini bukan untuk menceramahiku!” Pak Gamaliel terlihat murka.

“Brak!” Pak Musa menggebrak meja makan dengan kepalan tangannya, “Sampai mati pun. Saya tidak akan pernah setuju dengan penawaranmu itu!” jawabnya tegas sambil menggertak.

 “Oke! Kita lihat saja nanti. Saya yakin, sebentar lagi kamu pasti akan setuju dengan penawaran saya ini,” ucapnya. Dan tanpa permisi, Pak Gamaliel dan Pak Gandara akhirnya keluar dari dalam tenda dan berjalan menuju tempat tenda mereka.

Di tenda lain yang letaknya agak jauh dari tempat Pak Gamaliel, terlihat Moza masih terbaring di dalam tendanya. Namun, suara berisik dari senapan yang ditembakan oleh beberapa tentara yang sedang berlatih seolah-olah memanggil dan menyeretnya dari alam mimpi. Dan dengan rasa malas, Moza membuka matanya kemudian duduk di atas tempat tidur yang terbuat dari bambu itu, tangannya memegang kedua lututnya. Dari pintu tenda, kedua orang rekannya yaitu Sembi dan Resta tiba-tiba muncul.

“Bagaimana kawan. Apakah kamu bermimpi indah hingga sesiang ini baru terjaga?” tanya Sembi sambil duduk di kursi.

“Entahlah, Sem. Meski raga ini letih, tapi tidak dengan pikiranku. Kegelisahan yang muncul secara tiba-tiba, seakan-akan melenyapakan semua keletihan yang hinggap di raga ini, hingga semalaman aku susah tidur,” ucap Moza seakan tidak sadar terhadap apa yang baru diucapkannya hingga membuat Sembi dan Resta saling melempar pandangan penuh keheranan.

“Maksud kamu?” tanya Sembi dan Resta saling bertatapan. Mereka terlihat bingung, sejak kapan sosok Moza yang keras dan tegas dalam bertindak tiba-tiba jadi seorang pujangga lebay.

 “Sudahlah! Bagaimana rencana hari ini? Dan bagaimana dengan para tahanan itu?” Moza balik bertanya.

“Makanya kami kemari. Kami diminta oleh paman Gandara agar memanggil kamu. Katanya, pak Gubernur dan rekan-rekannya tidak mau juga bekerjasama dengan kita, dan Pak Gamaliel sedang mencari cara bagaimana agar mereka setuju dan mau bekerjasama dengan kita.”

Mendengar perkataan Sembi itu. Moza hanya diam. Setelah beberapa saat memulihkan kesadaran, Moza akhirnya bangkit dari tempat tidurnya lalu keluar dari tenda dan mencuci mukanya. Sesaat kemudian ia kembali masuk ke dalam tenda.

 “Apa kita menemui paman Gandara sekarang?” tanya Moza pada kedua rekannya.

 “Lebih cepat lebih baik.”

Moza mengambil pistolnya dan meletakannya di pinggang. Moza melangkah keluar dari tenda diikuti oleh kedua rekannya. Ketiganya berjalan menuju sebuah tenda yang jaraknya agak jauh dari tempat Moza. Ketika mereka melintasi tenda tempat Pak Musa dan keempat rekannya ditawan, Moza dan kedua rekannya berhenti sejenak dan memperhatikan tempat itu, tenda besar itu terlihat sedang dijaga ketat oleh beberapa tentara mereka. Moza kemudian kembali melangkahkan kakinya menuju tenda pak Gamaliel. Setelah sampai, ketiganya lalu masuk ke dalam tenda itu.

“Silahkan duduk anak-anak,” perintah Pak Gandara mempersilahkan dan ketiganya lalu duduk di kursi yang telah tersedia. Terlihat Pak Gamaliel sedang duduk di depan rungan tenda itu, dan tanpak pula Pak Sugeng beserta rekan-rekannya.

“Rekan-rekan semua. Sebagaimana kita ketahui, Pak Gubernur itu ternyata tidak mau bekerjasama dengan kita, dan saya masih bingung. Cara halus apa lagi yang harus kita lakukan? Apakah kita harus melakukan tindakan intimidasi? Barangkali rekan-rekan semua mempunyai ide yang bagus untuk menyeleisaikan ini sebelum saya menggunakan cara terakhir saya,” uca Pak Gamaliel sambil menatap yang hadir di dalam tenda besar itu.

Mendengar kata-kata Pak Gamaliel itu, semua tanpak diam seperti sedang memikirkan sebuah ide. Pak Gandara melirik pada Moza

“Moza. Biasanya kamu mempunyai ide yang cemerlang. Mungkin kamu mempunyai ide yang bagus untuk menghadapi Pak Gubernur yang keras kepala itu.”

Mendapat permintaan dari Pak Gandara itu, Moza terdiam sejenak lalu perlahan mulai bicara.

“Kita lepaskan keempat rekan Pak Gubernur,”ucap Moza.

 “Apa kamu sudah gila?” sanggah Pak Sugeng yang duduk di samping Pak Gamaliel  sambil menatap tajam pada Moza.

“Dengarkan dulu kalau saya sedang bicara!” sahut Moza. Terlihat ketegasan terpancar dari wajahnya. Meskipun ia masih muda namun wataknya yang tegas dan pemberani meski sedikit bicara tapi mampu membuat yang lainnya merasa segan.

 “Awalnya. Kita lepaskan kedua rekan Pak Gubernur itu. Lalu setelah jauh, kita suruh tentara kita untuk memburunya. Anggap saja mereka itu sebagai rusa buruan. Dan saya yakin, Pak Gubernur tidak akan tega melihat rekan-rekannya mati seperti itu.”

Mendengar kata-kata Moza seperti itu, mereka semua tanpak diam. Karena dalam benak mereka, sedikit pun ide itu tak pernah terpikirkan termasuk Pak Gamaliel.

“Dan anggap saja itu sebagai sebuah latihan untuk tentara-tentara kita.”

“Latihan?! Apa kamu masih ragu dengan kemampuan tentara kita selama ini? Kamu meragukan kekuatan tentara kita? Lagipula, tentara kita cukup banyak untuk mengalahkan tentara di wilayah ini,” sanggah Pak Gamaliel sambil menatap tajam pada Moza.

 “Bukan begitu Pak. Memang jumlah tentara kita cukup memadai untuk sebuh pertempuran. Namun, saya tidak ingin tentara kita ini seperti buih di lautan yang jumlahnya banyak tapi sama sekali tidak berarti. Lagipula, kita perlu khawatir kalau tentara kita jarang berlatih, mereka akan lamban dalam bergerak. Dengan begitu, kita akan mudah untuk dikalahkan,” jawab Moza panjang lebar. Dan mendengar kata-kata Moza itu Pak Gamaliel terdiam.

“Saya kira, ide Moza ini ada bagusnya juga untuk kita coba,” timpal Pak Gandara.

Pak Gamaliel terdiam sejenak lalu menatap Moza. Memang ada baiknya juga kalau ia mencoba usulan Moza seperti itu. Meskipun ia kurang senang dengan sikap Moza yang selalu terlihat  menentang pemikiran-pemikirannya. Namun beruntung, hati Moza selalu bisa diluluhkan oleh nasihat ayah angkatnya yaitu pak Gandara.

“Ada saran lain?” tanya Pak Gamaliel melirik pada semua yang hadir dalam kumpulan itu namun hanya keheningan yang menjawab pertanyaannya.

 “Baiklah, Moza. Kita akan coba ikuti ide kamu itu.”

“Sembi. Siapkan pasukanmu untuk berburu,” pinta Pak Gamaliel pada Sembi.

“Siap, Pak!” jawab Sembi lantang. Ia selalu sigap dalam setiap tugas apa pun yang diberikan kepadanya. Ia adalah salah satu pengikut setia Pak Gamaliel. Karena dia telah menerima banyak doktrin dari Pak Gamaliel, sehingga apa pun yang Pak Gamaliel perintahkan selalu dianggap benar dalam benaknya. Sedangkan Moza, meskipun tegas dan penuh ide-ide cemerlang. Namun sebenarnya, ia masih bimbang dengan jalan yang selama ini ia tempuh. Hidup dalam perawatan Pak Gandara dengan doktrin-doktrin kemerdekaan yang terkadang membuatnya muak, karena kemerdekaan nyatanya tidak juga mereka raih, sedangkan kebebasan hidup mereka terasa terbatas. Namun, keputusannya untuk tetap setia di jalan itu, sesungguhnya hanyalah sebatas mengikuti dendam yang selama ini bergejolak di dalam dadanya. Dendam atas kematian keluargannya yang meninggal secara tragis di tangan para tentara yang belum jelas tentara mana yang sebenarnya telah membinasakan keluarganya itu. Dan Pak Gandara yang selama ini merawatnya sejak peristiwa itu mengatakan bahwa tentara republik lah yang telah membunuh keluargannya dengan dalih ayahnya adalah salah satu pelopor pergerakan kemerdekaan. Dan dengan doktrin itu, Moza yang masih belia dan rentan akan gejolak emosi mudanya pun percaya, hingga tanpa ragu ikut dalam pergerakan itu dengan tujuan ingin melampiaskan seluruh dendam yang selama ini membayang-bayangi benaknya. Namun saat ini ia sudah beranjak dewasa, dan keinginan untuk membalas dendam dengan caranya sendiri terus muncul dalam benaknya, tapi keinginannya selalu dihalangi oleh Pak Gandara selaku ayah angkatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status