Feeling Yuda tepat. Ada sesuatu yang dilakukan Ilma untuk bisa menjatuhkan Fani.
Tak berapa lama, Alex datang. Dan kedua pemuda itu langsung meluncur pulang ke tempat kost.
Malam harinya, Yuda diam. Alih-alih ingin berkonsentrasi melanjutkan mengerjakan skripsi, dirinya malah berpikir keras bagaimana caranya berbicara dengan Ilma perihal apa yang menimpa Fani.
"Yud! Mau nongkrong gak?" tanya Alex sambil menepuk bahu teman akrabnya keras.
"Gak! Lagi males!"
"Aku mau main ke tempat kost Si Putri. Di sana tuh, ceweknya cantik-cantik tahu!"
"Terus kalau ceweknya cantik, kamu mau apa? Dari dulu cari gebetan gak dapat-dapat juga!"
"Kamu kan tahu, Mamakku udah berpesan kalau aku tidak boleh pacaran. Ke sana sekadar cari vitamin. Yuk, a
Ketika keluar dari mushola, Yuda melihat Ilma di sana. Menenteng beberapa buku, khas mahasiswa pintar. "Il!" sapa Yuda. "Eh, Yuda," jawab Ilma dengan bibir tertarik membentuk seuntai senyum manis. "Lancar skripsinya?" tanya Yuda basa-basi. Baru kali ini dirinya mengajak gadis yang terkenal alim itu berbincang. "Alhamdulillah, doanya ya?" "Amin ... pembimbing skripnya Pak Juan ya?" Mendengar pertanyaan Yuda, Ilma menarik kembali senyumnya. "Bukan, kenapa?" "Gak papa! Kok kemarin sore ke rumah Pak Juan sendirian? Emang, boleh ya, wanita mengunjungi pria yang sendirian di rumah? Apalagi yang datang seorang Ilma, lho! Hanya berdua lagi dengan beliau! Bukankah bila seorang orang laki-laki dan perempuan bersama, yang ketiga ada
POV DONIIIlma, gadis cerdas dan manis yang sejak kecil aku kenal.Bapaknya, Haji Jamal, merupakan juragan beras di kampungku. Beberapa warga yang tidak merantau ke kota besar memilih untuk bekerja pada beliau. Pun dengan bapakku.Aku adalah sulung dari empat bersaudara. Dua adikku laki-laki sedangkan yang terakhir perempuan. Saat aku berusia sepuluh tahun, Si Bungsu baru berumur satu tahun.Seringkali bila libur sekolah, Bapak mengajakku membantu bekerja di toko Haji Jamal. Di sanalah kemudian, aku dan Ilma menjadi akrab. Dia tidak diperbolehkan bermain jauh. Sehingga boleh dikatakan, hampir tidak memiliki teman.Di sekolah, peringkat yang kudapatkan selalu berada dalam tiga besar. Dan itu sudah menjadi sebuah rahasia umum sampai Haji Jamal-pun tahu. Sehingga, saat melihatku membantu pekerjaan Bapak, beliau ma
Pak Irsya hanya memberi bayaran padaku cukup untuk uang jajan karena aku meminta tolong untuk uang gaji ditabung agar bisa kuliah.Sungguh, anugerah yang luar biasa yang Allah berikan.Aku tidak pernah berkhayal bisa kuliah, meskipun setiap malam, seringkali aku terbangun untuk sekadar bercengkrama dengan Rabb-ku. Tapi, tiada pernah terucap harapan ingin menempuh pendidikan di perguruan tinggi.Kami berempat selalu diajarkan untuk tidak jauh dari Allah. Bekal ilmu agama yang Bapak berikan sejak kecil, masih kami terapkan sampai sekarang. Sehingga, meskipun hidup dalam keadaan pas untuk makan, aku dan adik-adik tidak pernah mengeluh.Suatu ketika, saat membawa mobil Pak Irsya seorang diri, mendadak tenggorokan ini kering. Segera kutepikan kuda besi yang aku tumpangi dan mampir ke sebuah toko kelontong yang sudah berada di wilayah kecamatan. Kebet
"Fan, apa kamu akrab sama Ilma?" tanya Nia setelah melihat Fani sudah terlihat lebih baik keadaannya."Dia, kelas sebelah. Hanya tahu saja, Mbak. Gak kenal," jawab Fani sambil memainkan ponsel."Oh, kok dia jengukin kamu ke sini, ya?" Nia berusaha memancing."Karena Doni, mungkin!" jawab Fani asal."Apa Ilma suka Doni?""Mbak apaan sih, tanya kayak gitu sama aku? Tanya coba sama Si Ilma.""Apa kamu seperti ini karena IIma? Apa.yang dia lakukan sama kamu, Fani?" tanya Nia terus mendesak membuat Fani gelagapan.Pembicaraan mereka terhenti karena ada suami Nia yang tiba-tiba datang.*Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya, Fani diperbolehkan pula
Mereka masuk ke mobil masing-masing. Ilma menggandeng Dinta dan Danis yang terlihat langsung akrab. Sampai di rumah Pak Irsya, Ilma segera turun lebih dulu dan membukakan pintu. Mereka semua masuk rumah. "Il, buatkan teh, ya!" perintah Pak Irsya membuat Nia menggeleng kecil dengan bola mata seakan memprotes. "Gak papa, dia biasa ke sini dulu. Kamu capek beberapa hari di rumah sakit. Ayo, duduklah! Istirahat," jawab Pak Irsya berbisik di telinga Nia. Namun, istrinya itu tidak peduli. Setelah meletakkan barang pribadinya selama di rumah sakit, dirinya justru masuk ke dapur. "Gak usah, Il. Aku aja yang buat," ujar Ilma setelah sampai di ruang memasak. "Oh, gak papa, Mbak! Aku bisa kok. Aku dulu beberapa kali diajak Mas Doni ke sini. Jauh sebelum Mbak Nia datang.
POV FANIRasaku selalu salah. Terhadap siapapun. Termasuk Doni.Setelah kejadian skripsiku batal, aku jadi sering merenung. Apa yang salah dengan diriku? Meskipun selama ini, aku banyak mencintai pria, bukankah aku hanya sekadar mencintai mereka? Tidak melakukan sesuatu di luar batas norma yang berlaku?Pun dengan Doni. Aku hanya menyukai dalam diam. Tidak pernah sekalipun berani mendekatinya meski beberapa kali, kami berada dalam tempat yang sama.Seperti hari itu, Mbak Nia mengajakku piknik ke Dieng, sebuah kawasan wisata dataran tinggi yang terletak di provinsi Jawa Tengah, berada dalam dua kawasan kabupaten, Wonosobo dan Banjarnegara, dengan mengajak Doni serta karena dia adalah sopir pribadi Mas Irsya. Aku sama sekali tidak berani mengajak Doni berbicara.Pemuda itu, selama kami bersama, sela
"Itu Doni kan, Mas? Tidak dengan Ilma. Aku benar-benar merasa berada di tempat asing saat dia berada di sini. Seolah, dia lebih tahu seluk beluk rumah kamu dan juga tentang kamu. Gerak-gerik dan ucapannya seakan aku ini hanya orang yang mengenal kamu setelah dia. Aku istri kamu, Mas. Tapi dia di rumah ini, menurut aku sudah terlalu sebagai seorang tamu!" Mbak Nia terdengar kesal. Aku serba bingung. Ingin berlalu tidak enak melewati mereka berdua. Tetap berdiri, juga membuatku tidak enak melihat pertengkaran sepasang suami istri."Ilma memang sudah biasa ke sini sejak kita belum menikah. Jadi wajar kalau--""Kalau seolah tidak mau menghargai aku sebagai istri kamu sekarang? Bersikap seakan aku tidak lebih berhak dari dia di sini karena aku orang baru bagi dia?""Nia, jangan berlebihan! Ilma tidak bermaksud apapun--""Darimana Mas tahu kalau Ilma
[Jangan sok perhatian, kamu aslinya cuma ingin memastikan aku sedang menderita, kan?] balasku cepat.[Jangan berprasangka buruk, Fani. Nanti kualat dapat jodoh Umar, emot tertawa guling-guling]Meskipun baru saja mengaji tapi, kalau ketemunya sama Yuda, mampir lagi setan mengganggu untuk aku bertengkar dengan dia.[Yang penting jangan kamu!] balasku lagi.Yuda tidak membalas lagi.*Dua hari aku di rumah, siang itu saat sendiri, pintu depan diketuk. Aku segera membukanya.Dan tubuh ini berdiri mematung melihat sosok yang berdiri di hadapan. Doni, memakai kemeja berwarna navy yang digulung tidak sampai siku, dipadukan celana jeans warna biru, terlihat semakin berkharisma tampilannya. Namun, hatiku sudah bertekad akan melupakan siapapun yang pernah aku sukai