Di kantor yang luas, dengan duduk di meja paling depan, berhadapan langsung dengan meja dan kursi yang diduduki Juan, Irawan menginterogasi bawahannya. Sementara Arya dan Eko duduk di kursi lain dengan perasaan gelisah.
"Bapak tahu dari siapa, Pak?" tanya Juan balik begitu dirinya merasa sedang diadili.
Ekor matanya melirik ke samping, tempat Arya duduk--yang dalam hatinya telah ia sangka sebagai pengadu.
"Dari teman mahasiswa yang skripsinya batal. Apa benar dia melakukan plagiarisme?" Pria yang berwatak tegas itu bertanya dengan sorot mata tajam.
"Iya, Pak. Ada sebuah aduan pada saya tentang hal itu."
"Apa yang lain tahu hal ini? Maksudnya, dosen pembimbing yang lain tahu?" cecar Irawan membuat Juan terlihat tidak nyaman dengan duduknya.
"Mereka tahu ada Ma
Terima kasih sudah mampir. Mohon beri vote untuk cerita ini. Terima kasih. Salam sayang dari saya untuk pembaca semuanya ....
Sepeninggal Irawan, baik Arya maupun Eko sangat was-was, Juan akan memarahi mereka karena dianggap mengadu."Apa kalian berdua bekerjasama berusaha menjatuhkan aku?" Kedatangan Juan di hadapan mereka berdua dan mengatakan hal demikian sesuai dengan prasangka Arya dan Eko."Maksud Pak Juan, apa yang dikatakan Pak Irawan tadi adalah hasil aduan kami?" tanya Eko tegas. Pria itu memang sangat memegang prinsip kejujuran. Sehingga apapun dan siapapun yang melakukan sebuah kebohongan, tidak akan pernah dirinya mau mendukung."Jangan berlagak tidak tahu. Jelas, kita sama-sama mendengar. Dari mana Pak Irawan tahu tentang skripsi yang dibatalkan kalau tidak dari kalian?" tanya Juan dengan sorot mata tajam dan menatap keduanya secara bergantian. Suasana kantor memang sepi. Banyak dosen yang sudah ke kelas mereka untuk memberikan kuliah. Sementara yang lain yang tidak mengajar, memilih pergi
Seorang pria yang terlihat rapi penampilannya keluar dari mobil."Pak Arya?" pekik Fani kaget. Pria yang berstatus sebagai dosennya itu tersenyum manis. Ada binar bahagia melihat gadis yang beberapa hari ini tidak ia lihat, kini ada di hadapannya. Meski Fani ada di teras yang posisinya berada lebih tinggi dari tanah. Sementara dirinya ada di halaman."Pak Arya mau cari rumah siapa? Ada kenalan gitu di kampung saya?" tanya Fani sambil berdiri. "Oh, apa mau cari dukun pijat, Pak? Ada di gang sebelah. Itu emang paling laris. Tapi, dari mana Pak Arya tahu?" tambahnya lagi."Tante, itu siapa? Kenapa masih muda dipanggil Pak?" tanya Danis sembari menarik daster panjang yang dipakai Fani."Adek, diam! Tante sedang bicara sama orang penting!" ujar Fani lirih."Enggak. Aku mau jenguk kamu!" jawab Arya terlihat salah tin
"Saya sudah bilang, ini kelalaian saya, Pak. Saya mengaku salah.""Betulkah? Tidak ada niat atau sesuatu lain?" tanya Irawan tegas."Sesuatu lain apa, Pak? Saya ini kan tidak dekat dengan para mahasiswa jadi, tidak hal semacam itu,""Baiklah! Saya terima, Pak. Jangan pernah diulangi lagi hal ini. Atau Anda akan diragukan kemampuannya untuk kembali menjadi ketua dalam kegiatan ini. Dan satu lagi, jangan pernah menganggap bahwa saat kita memiliki kekuasaan, bebas menggunakan hal itu untuk misi apapun!" Kalimat yang diucapkan Irawan baru saja, menyentil hati Juan. Dalam hatinya bahkan timbul was-was, orang di hadapannya yang memiliki kedudukan lebih tinggi itu mengetahui sesuatu hal.'Aku harus membungkam mulut Ilma. Kalau tidak, apa yang aku lakukan selama ini akan terbongkar,' kata hati Juan.Setelah berbasa-bas
"Kamu tadi bilang apa, Fani? Ilma insyaf?" tanya Arya pura-pura tidak tahu. "Eh, itu, Pak, enggak. Enggak apa-apa. Lupakan saja! Yang penting kan, sekarang saya bisa melanjutkan skripsi saya lagi." Jawaban dari Ilma sedikit membuat Arya kagum. Gadis yang terkenal ceplas-ceplos, nyatanya tidak memiliki rasa dendam pada orang yang telah berusaha menjatuhkannya. "Apa ada penjelasan kenapa tiba-tiba skripsi saya diperbolehkan lanjut, Pak?" tanya Fani penasaran. "Em, gak ada! Tiba-tiba saja Pak Juan memutuskan hal ini." Fani terdiam. Tiba-tiba berpikir, mengapa bisa hal ini terjadi. Apakah Ilma memang sudah sadar akan kesalahannya atau ada sebab lain. "Ada teman kamu yang bilang ke Pak Irawan masalah ini. Makanya Pak Juan mendapat teguran dan secara tiba-tiba meminta kamu untuk melanjutkan lagi," tambah Arya.
Hari-hari berjalan mulai normal. Fani sudah kembali mendapatkan keceriaan hidup seperti sedia kala. Mengerjakan skripsi dengan otak pas-pasannya. Berjualan dan menagih utang pada teman-temannya. Serta berdebat dengan Dinda setiap hari untuk banyak hal."Fani! Itu baju kotor kamu jangan diletakkan di atas rak piring!" teriak Dinda saat Fani sudah bersiap berangkat kuliah."Ya Allah, Din, lupa. Eh, waktu itu di rumah sakit, siapa ya, yang janji gak mau marah-marah lagi sama aku?" tanya Fani sambil mengedipkan mata. Bila sudah berkata demikian, Dinda akan diam dengan wajah sendu. Menyesal dan merutuki diri telah bertindak gegabah.Namun, Fani selalu menuruti apa yang Dinda suruh padanya. "Demi menjaga kewarasan kamu!" ucapnya sembari meletakkan baju yang kotor ke dalam ember yang terletak di pojok ruangan.Yuda kembali pada sikap awalnya yang suka
POV ILMANamaku Ilma Ariani. Aku terlahir dari keluarga yang cukup terpandang di kampung. Abah seorang juragan beras yang sukses dan disegani banyak warga. Sehingga, sedari kecil diriku sudah terbiasa diperlakukan bak ratu. Terlebih lagi, menjadi bungsu dan satu-satunya anak perempuan Abah dan Umi.Namun, segala keistimewaan hidup menjadikanku seperti burung yang selalu dikurung dalam sangkar emas. Tidak pernah bergaul dengan teman kecuali di sekolah."Jangan! Nanti kamu kena matahari kulitnya gelap. Kalau hujan jadi sakit!" Begitu selalu kata Umi kalau aku merengek minta pergi keluar. Jadilah, aku pribadi yang seakan tidak pandai berinteraksi dengan lingkungan.Mas Doni adalah sosok yang dikirimkan Allah untuk menjadi teman masa kecilku. Dia memberikanku banyak pengalaman masa kecil yang tidak aku dapat di luaran sana. Kebersamaan dengan Mas Do
Awal mula kuliah, aku sudah bisa mendapatkan uang dengan cara menjadi guru les di perumahan yang dekat dengan kampus.Di sanalah, awal mula kedekatan antara aku dan Pak Juan terjadi. Waktu itu, aku kehujanan di pinggir jalan. Karena belum bisa membeli motor maka, pulang pergi saat memberikan les pada anak-anak selalu jalan kaki.Pak Juan yang memang sering melihatku di kelas dan mengenalku sebagai mahasiswa yang aktif, menyuruhku mampir ke rumahnya. Awalnya memang takut, karena rumah itu begitu sepi. Namun, karena tidak ada pilihan lain, aku menurut saja."Kamu dari mana?" tanya beliau saat aku sudah duduk di ruang tamu.Aku bercerita tentang kegiatanku memberikan les privat. Beliau menanyakan alasan mengapa aku melakukan pekerjaan itu meskipun honor yang aku terima sedikit. Banyak yang kami bincangkan bahkan sampai urusan pribadi. Aku baru tahu
Kesepakatan antara aku dan Pak Juan akhirnya terjadi. Awal mula mengerjakan itu ada rasa was-was. Hati ini sadar, pekerjaan yang kulakoni jelas salah. Namun, pikiran berusaha meyakinkan kalau aku hanya membantu mereka. Dan apa yang aku dapat adalah halal karena aku benar-benar bekerja.Beberapa bulan kemudian, aku bisa membeli sebuah sepeda motor bekas dari hasil kerjaku. Umi awalnya kaget tapi aku jujur mengatakan kalau aku bekerja membuat skripsi. Beliau hanya bisa menerima saja karena tidak tahu bahwa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan.Karena terlibat pekerjaan, aku dan Pak Juan akrab. Akan tetapi, hanya sebatas mahasiswa dan dosen. Pernah ditawari untuk menjadi asisten tapi aku menolak karena kami berbeda jenis.Suatu ketika, aku tahu kalau Mas Doni dekat dengan Fani. Sejak saat itulah, aku sering memperhatikan gerak-gerik gadis yang suka ceplas-ceplos itu. Padahal seb