Sore itu, terakhir kali aku berada di rumah yang aku juluki dengan sebutan neraka. Pak Juan yang tidak pernah menjalani kewajiban sebagai umat muslim itu terlihat hanya memakai handuk. Membuatku takut. Dalam hati aku selalu memohon pertolongan Allah.
"Pak, saya tidak enak badan," ujarku berbohong.
"Ilma, aku ingin bicara serius sama kamu." Tanpa menjawab pertanyaanku, Pak Juan malah mengajakku duduk di ruang tamu.
"Pak, bisakah saya minta ganti pekerjaan lain selain menemani Bapak di rumah ini?" tanyaku memberanikan diri.
"Kenapa? Kamu risi karena aku bukan muhrim kamu?" tanya Pak Juan balik. Aku mengangguk.
Tatapan mata Pak Juan terasa lebih tajam.. Napasnya terdengar naik turun. Mungkin beliau lelah, pikirku.
"Maukah kamu menjadi istri siriku, Ilma? Kamu akan aku beri uang j
"Fani, sumpah! Kayaknya dari semua orang yang dekat sama kamu, dia paling cocok jadi suami kamu!" ledek Dinda. "Kalian bisa langsung buka usaha. Jawa menguburkan mayat, hahahaha ...." Dinda berhenti dan duduk untuk menahan perutnya yang sakit. Fani yang kesal meninggalkan Dinda seorang diri duduk di pinggir jalan.Ilma melihat pemandangan di hadapannya membuat hati semakin panas. Dan rasa bendi itu semakin besar. Satu hal lagi yang ia tidak punya, sahabat yang bisa sebebas itu tertawa dan kesal bersama.*Irsya pulang dii suatu malam dengan mengendarai sepeda motor. Rasa rindu yang membuncah membuatnya nekat meskipun Nia masih marah.Demi menghindari amukan dan usiran dari istrinya, pria yang berprofesi sebagai kepala sekolah itu nekat mendorong motor dari depan gang sampai rumah. Bila di jalan ada yang bertanya, maka dijawabnya bahwa bensin habis.&nb
"Oh, soal Fani ya? Kamu tahu banyak tentang Fani? Emang ada kabar gembira apa?" tanya Nia beruntun."Iya, Mbak. Aku dapat kabar dari dosen yang kebetulan dekat dengan aku. Katanya, Fani bisa melanjutkan skripsi yang sepat digagalkan. Alhamdulillah, Mbak. Jadi batal kena skorsing dia," jawab Ilma dengan tersenyum. Dalam hati yakin kalau wanita dewasa di depannya akan berbalik antusias membicarakan hal ini."Skripsi Fani digagalkan?" sambung Irsya penasaran. Begitupun Doni, pemuda yang duduk di kursi yang berbeda dengan gadis yang dibawa kemari, melempar pandangan penuh tanya pada sosok pemberi informasi."Iya, Pak. Berarti keluarga belum tahu ya?" tanya Ilma antusias. Merasa informasi yang ia sampaikan dibutuhkan, gadis itu bangga dalam hati. Menggunakan kesempatan untuk melancarkan misi."Belum. Nia kamu sudah tahu?" tanya Irsya pada istrinya.
"Maksud Mbak Nia?""Maksud aku? Kamu tahu maksud aku. Jadi, berhentilah bersandiwara di rumahku! Berhentilah mengatakan omong kosong karena aku semakin muak mendengarnya. Hai Anak Manis! Dulu aku pernah berhubungan dengan orang toxic. Aku kira mereka orang yang paling buruk yang pernah aku temui. Ternyata, ada yang lebih buruk lagi. Dulu, mereka tidak pernah bermuka dua. Sedang kamu? Pintar sekali mengolah drama. Di belakang, kamu sebegitu bencinya sama Fani. Tapi terhadap keluarganya? Kamu berubah jadi penjilat! Luar biasa!" Muka Ilma memerah. Melihat pada Irsya seolah meminta perlindungan. Karena dia tahu, setelah ini, Doni akan marah besar."Nia--""Mau jadi pembela gadis ular ini? Nanti, Mas! Ada waktunya. Sekarang, biarkan aku mengeluarkan seluruh unek-unek yang ada dalam hati. Sabar!" ujar Nia lembut.Irsya mendadak diam. Bayangan kemaraha
Hidup itu laksana sebuah roda berputar. Pergantian posisi selalulah ada. Namun, bila hal itu disebabkan oleh perilaku dirinya sendiri, tentu akan semakin terasa menyakitkan.Setelah mengetahui kebusukan Ilma, Doni tentu marah besar, hingga mereka berdua sempat berdebat di pinggir jalan."Mas, aku melakukan itu semua demi kamu," bela Ilma."Kamu telah menghancurkan harga diri kamu, Ilma!" Doni yang sudah terlanjur kecewa, menurunkan gadis yang sudah dekat sejak kecil itu di pinggir jalan dekat gang rumahnya.*Seminggu setelah peristiwa kedok Ilma terbongkar di rumah Nia, dirinya jarang pergi ke kampus. Namun, masih tinggal di tempat kost karena tidak ingin orang tuanya tahu perihal masalah yang tengah ia hadapi. Bila Ilma pulang, sudah tentu uminya akan menginterogasi.Suatu ketika, lelah hati karena mer
Hari itu, bertepatan Doni datang ke rumah Nia karena ada suatu kepentingan dengan Irsya. Terlihat sikapnya masih kaku dan malu akibat perbuatan yang dilakukan Ilma."Bu Nia, saya minta maaf atas nama pribadi karena Ilma telah bertindak di luar batas. Ini semua gara-gara saya, Bu," ujar Doni sopan."Tidak apa-apa, Don. Semua sudah terjadi. Aku tidak akan menyalahkan kamu. Ini sebagai pembelajaran saja, menilai seseorang tidak bisa kita lihat dari sikap luarnya saja," jawab Nia sembari melemparkan sebuah senyuman.Saat mereka bertiga tengah berbincang di ruang tamu, Fani datang dari arah teras."Mbak, aku dianterin ke kost ya? Soalnya lagi gak mau masuk angin jadi pengin naik mob--" Ucapan Fani terhenti saat menyadari ada Doni yang duduk bersama Nia. Tangannya langsung menutup mulut.'Kapan aku jadi lemah lembut
Fani masih bernyanyi sambil menghadap cermin. Sesekali mengelus rambut panjang yang ia kuncir kuda, memonyongkan bibir dan menggeleng-gelengkan kepala."Fan, udah aku belikan nasi sama sambel nih. Nasinya dua porsi 'kan kayak biasanya? Kamu 'kan habis dari rumah biasanya belinya dobel." Suara cempreng Dinda diputar Fani. Mukanya memerah karena malu didengar Doni kalau dirinya makan dua porsi.Dalam hati Doni akhirnya tahu, mengapa Fani memesan kerupuk empat. Ternyata, itu untuk makan dua bungkus nasi."Ih, siapa yang minta dua porsi. Satu aja, Dinda. Emang tadi aku bilang?" protes Fani masih lewat pesan suara."Lhah biasanya 'kan gitu! Katanya gak usah bilang dulu aku harus paham! Gimana sih?" protes Dinda balik."Tidak mulai sekarang! Kamu harus beli sesuai apa yang aku minta!" tukas Fani menutupi rasa malunya
Sesampainya di depan kost, Fani langsung turun dan gegas jalan. Rasa dalam hati begitu takut dengan Ilma. Tak disangka, Doni justru turun dan mengikuti Fani di belakang. "Ngapain?" tanya Fani dengan tatapan mata melirik ke jalan. Takut bila ada Ilma tang melihat. "Gak papa. Ini aku belikan kamu sesuatu," ucap Doni sembari mengulurkan plastik yang ia bawa. "Em ...." Fani bergumam. "Ambillah! Jangan pernah mengaitkan apapun lagi dengan Ilma. Aku bebas melakukan apapun tanpa seijin dia. Dan aku rasa, Ilma tidak akan pernah lagi berani melakukan sesuatu hal sama kamu." Dengan ragu Fani menerima uluran plastik dari Doni. "Terimakasih. Udah sana, pergi. Aku udah ditunggu Dinda di dalam." "Iya, mau makan, 'kan?" tanya Doni membu
Arya duduk sendiri di teras dengan lampu dimatikan. Rokok di tangannya masih mengepulkan asap. Pria itu tidak pernah merokok. Jika hal itu terjadi berarti, ada beban berat yang tengah ia rasakan. Tatapannya nanar ke jalan depan yang terlihat remang-remang.Suara pintu terbuka. Muncul seorang perempuan yang beda usia dengannya enam tahun dengan memakai piyama."Maafkan aku, Arya. Aku tahu, kamu tidak menyukai sikap Sheren. Kamu terpaksa menjalani ini karena untuk membalas budi orang tua kita. Dan semua itu karena aku. Andai aku tahu, waktu itu ada niat mereka untuk meminta kamu satu hari ini,aku memilih hidup dengan penyakit itu," ucapnya parau."Sudahlah, Mbak. Semua sudah berlalu dan menjadi jalan hidupku," jawab Arya pasrah."Kalau kamu mau, aku bisa kok, bilang sama keluarga Sheren untuk mengambil kembali ginjalku supaya kamu terbebas dari hu