POV ARYA
Aku telah bersalah pada dia. Gadis yang selalu hidup dalam kecerian. Kata-kata yang diucapkan Sheren sebagai luapan kemarahannya sangat tidak pantas. Hati ini begitu kecewa dan semakin tidak suka padanya.
Kejadian hari itu sudah tentu menjadi boomerang antar keluarga kami.
Malam itu juga, Pak Sandi, papah Sheren datang bersama istrinya. Kali ini mereka datang ke rumahku. Bertemu dan berbicara hanya denganku.
"Betul apa yang diceritakan Sheren?" tanya Pak Sandi dengan nada yang berwibawa. Meskipun perjodohan kami terkesan memaksakan kehendak, tapi sikap pria dewasa itu masih selalu sopan dan tidak terkesan mengintimidasi.
"Betul, Pak," aku-ku jantan.
Katidak-adaan keluargaku membuat aku leluasa berbicara apapun yang ingin aku ungkapkan.
"Kalau Ibu memang tidak suka dengan apa yang saya lakukan, batalkan saja perjodohan kami. Saya akan menerima dengan senang hati," ujarku memberi umpan."Apa maksud kamu? Apa kamu mau bilang kalau kamu tidak suka sama Sheren, begitu?" tanya istri Pak Sandi terlihat tersinggung."Bila saya bilang iya?" Aku bertanya dengan tidak mempedulikan apapun resikonya nanti."Sheren sudah memberikan perasaannya sama kamu. Padahal, di luar sana banyak sekali pemuda yang ingin mempersunting dia. Tapi dia memilih kamu. Sombong sekali bilang tidak suka sama anakku. Apa kurangnya dia?" tanya mama Sheren lagi."Perasaan adalah sesuatu hal yang tidak bisa dipaksakan, Bu," ujarku lirih."Arya, sabarlah! Jangan mengambil keputusan dalam keadaan emosi. Kalian sudah menjalani hubungan sejauh ini. Jangan sampai membuat kami malu. Ini h
Hari yang ditunggu Doni tiba. Dengan penuh semangat, dirinya bersiap dari pagi. Sejak semalaman tidak bisa tidur karena sangat bahagia. Baju putih celana hitam dan juga sepatu kulit ia kenakan. Semuanya dibelikan Irsya. Begitupun dengan baju yang dipakai ibu juga kedua adiknya. Semuanya berasal dari Nia.Emak dan ketiga adiknya juga sudah dari pagi buta mempersiapkan diri untuk mengikuti acara wisuda yang terasa sangat spesial.Adik Doni yang pertama perempuan bernama Liska. Berusia sama dengan Ilma. Saat ini bekerja di sebuah apotek. Tidak melanjutkan sekolah setelah SMA karena ingin membantu keluarganya yang pas-pasan. Adik Doni yang kedua masih SMA, bisa sekolah dengan dibiayai Liska. Sementara yang terakhir duduk di bangku SMP.Mobil Nia terparkir di halaman rumah. Sengaja dipinjamkan agar Doni bisa leluasa mengajak keluarga yang ingin ia ajak.
"Din, kira-kira Si Ilma datang gak ya?" tanya Fani khawatir sambil menunggu jemputan."Kalau datang kenapa? Emang masih punya nyali buat berlagak?" tanya Dinda balik sembari memotong kuku."Kamu ikut yuk, Din," ajak Fani."Ogah ih. Kayak nyonya ma asisten nanti. Penampilan kamu sempurna gitu," tolak Dinda."Aku nanti kalau ketemu Ilma gimana? Masih trauma berurusan dengan gebetan orang,""Udah cangtip nanti kalau makan lauknya ganti! Malu-maluin kalau pesannya cuma sambal sama kerupuk!" ucap Dinda mengalihkan pembicaraan."Dinda apaan sih ah?""Lagian, kamu hobi banget makan sambel sama kerupuk sih, Fan? Habis dua bungkus lagi!""Din, aku ganti aja apa ya bajunya? Formal gini,"
POV ILMAAku masih bertahan menjalani hariku meski dengan perasaan hampa. Ingin rasanya keluar dari kampus ini dan pulang untuk menemani Umi di rumah. Karena aku merasa, sudah tidak ada lagi yang aku perjuangkan.Namun, Umi selalu mendorong aku untuk tetap bertahan. Kepada beliau, aku tidak menceritakan apapun yang tengah aku menimpaku saat ini. Karena bila beliau tahu, sudah pasti aku dimarahi."Sayang, kamu sudah sejauh ini berjalan. Tinggal sebentar lagi. Ayo, bertahanlah Ilma! Kalau ada masalah apapun, ceritakan sama Umi. Siapa tahu, Umi tahu solusinya," ujar Umi kala itu. Membuat aku tidak punya pilihan lain.Pekerjaanku dengan Pak Juan juga masih berjalan. Karena bagaimanapun, kami saling membutuhkan. Masalah Fani waktu itu, kami sudah sepakat untuk melupakan. Rasanya, aku berada di titik terhina dalam hidup. Ha
Aku segera menyalami Emak dengan sopan dan menampakkan sikap lemah lembut. Berusaha semaksimal mungkin agar Fani semakin panas."Emak apa kabar?" tanyaku basa-basi."Baik, Mbak Ilma," jawab Emak dengan raut wajah yang cemas. Entah apa yang dipikirkan."Mak datang ke sini naik apa?""Naik mobilnya Bu Nia." Hatiku yang kini jadi panas. Sejauh itukah kakak Fani melakukan pencitraan dengan barang mewahnya? Sengaja-kah membuat keluarga Mas Doni merasa berhutang jasa sama mereka?"Liska, kamu gak kerja?" Aku balik bertanya pada adik Mas Doni. Akan aku gunakan kesempatan sebelum Mbak Nia datang untuk membuat Fani meradang."Enggak, Mbak. 'Kan Mas Doni wisuda,""Ah, iya. Dasar aku. Eh, mau minum es dulu? Ayo aku traktir,"
Irsya mengajak keluarga Doni makan di rumah makan seafood. Adik-adik Doni terlihat sopan meskipun mereka berasal dari keluarga yang pas-pasan. Terlihat sekali emaknya sangat pandai dalam mendidik."Pak Irsya, Bu Nia, kami mengucapkan terimakasih yang banyak. Berkat kalian, anak saya bisa menyelesaikan kuliah," ujar emak Doni setelah mereka selesai makan."Iya, Bu, sama-sama. Kami juga mengucapkan terimakasih. Apalagi selama ini Doni selalu membantu kami mengantar kemana saja kami pergi. Rasanya tidak mau kehilangan dia, tapi mau bagaimana lagi 'kan? Bagaimanapun Doni kuliah untuk memperbaiki nasib. Kalau terus menjadi sopir ya tidak mungkin," jawab Irsya.Setelah selesai makan, mereka pulang ke rumah sendiri-sendiri. Fani kembali ke tempat kost dengan diantar mobil Irsya. Sementara Doni membawa keluarganya pulang."Tante gak pulang
Di dalam kamarnya, selepas Maghrib, memanfaatkan situasi sepi tanpa Dinda yang sedang keluar, Fani menatap sebuah boneka yang sudah dihias. Sedianya akan ia berikan pada Doni, tapi sadar kalau dirinya bukanlah siapa-siapa bagi pemuda itu.Masih ia ingat jelas sikap Ilma yang seakan sudah sangat dekat dengan keluarga Doni. Di saat itulah dirinya merasa tidak berarti apa-apa bila dibandingkan gadis itu.Fani memeluk erat boneka yang juga sudah ia beri parfum sembari berujar pelan, "biarlah jodohku akan datang sendiri suatu hari nanti. Aku tidak mau lelah memikirkan apa yang belum tentu ditakdirkan untuk aku." Ia membuang hiasan yang ada pada boneka. Dan meletakkan benda itu di atas kasur."Hai! Kelak ada yang lebih indah dari kamu yang akan menemani tidurku," ucap Fani seorang diri seperti orang gila. Senyum hambar terukir jelas, menggambarkan suasana hati yang tidak baik-baik saja
Pagi itu, seperti rencana awal, Doni mengembalikan mobil. Sekaligus berpamitan untuk yang terakhir kali pada majikannya. Kebetulan, keluarga kecil itu ada di rumah Irsya. "Saya minta maaf, Pak, Bu, bila selama bekerja banyak membuat salah. Dan banyak merepotkan Pak Irsya sejak dulu. Untuk kegaduhan yang pernah dilakukan teman saya, saya juga minta maaf," ujar Doni setelah memberikan kunci pada Irsya."Saya juga ya, Doni. Kalau selama kita bersama, banyak hal yang mungkin melukai perasaan kamu secara tidak disengaja," jawab Irsya dengan tenggorokan tercekat. Bertahun-tahun bersama, tentu menciptakan kesedihan yang besar saat harus menerima kenyataan akhirnya berpisah.Seandainya Irsya tidak membantu Doni kuliah, hal itu tidak akan terjadi. Doni akan selalu bersama dengan mereka dalam waktu yang lebih lama. Namun, Irsya tidak menyesali langkah yang ia ambil.