Gadis kecil berusia sepuluh tahun itu berdiri gentar didepan ayahnya dalam gedung kepanglimaan Sofraz yang megah. Ayahnya yang gagah dan tampan dengan mata emas dan rambut berwarna kenari itu memandangnya tajam dari kursi besar miliknya. Ayah Tirza Antara itu memang tampan, namun diikuti raut keras yang membuat siapapun berhati-hati saat bersamanya. Belum lagi mata emas angker dengan pesona anehnya yang membuat orang lain segan memandangnya. Dialah Panglima Utama Kerajaan Sofraz, Antara Dafruz."Kenapa kau hanya diam saja?" suara berat lelaki itu membuat Putrinya, Tirza menjadi semakin gugup. "Mo..mohon maaf, Ayah....""Aku tidak ingin membesarkan pelindung yang tidak berguna." kecam Antara Dafruz dingin. Ucapannya laksana pisau menusuk ulu hati Tirza yang ketakutan. "Aku seringkali bertanya-tanya, mengapa darah pelindung harus jatuh kepadamu. Mengapa bukan pada Davar kakakmu. Padahal dia jauh lebih bertanggungjawab dan lebih membanggakan."Tirza menutup bibirnya rapat-rapat. Dia
Langkah Tirza Antara yang sedang menyusuri lorong istana yang bermandikan cahaya lentera itu melambat saat dia berpapasan dengan sesosok remaja lelaki tampan bermata emas. Itu adalah Davar Antara. Dara atau kakak Tirza Antara. Gadis kecil itu memandang kakaknya sendu, yang dibalas pandangan datar."Kau melakukan terlalu banyak kesalahan, Tirza." ungkap Davar saat dia berhenti di lorong itu, menatap netra biru adiknya yang berkilau dibawah pencahayaan lentera. Tirza Antara rasanya ingin menangis. Dia ingin berlari pada kakaknya untuk menumpahkan tangisnya. Namun dimana-mana dia tertolak. Bahkan Davar tampak tidak menyukainya semenjak dia lahir. Kakaknya itu adalah seorang yang irit bicara, namun sekalinya dia bicara pada Tirza kalimatnya selalu menohok dan menyakitkan."Aku salah, Dara. Semua orang membenciku...""Orang yang tak becus sepertimu memang layak dibenci."Hati Tirza makin teriris. Dia memandang kakaknya dengan mata berkaca-kaca. Satu tangannya menarik lengan jubah kakaknya,
Hutan perburuan adalah hutan tempat para raja menguji kekuatan dan juga mencari kesenangan dengan berburu, namun jangan sekali-kali berani memasukinya hanya dengan mengandalkan kemampuan eksternal. Seluruh binatang paling buas di Sofraz berkumpul disini. Dari nalus, sampai singa bersayap. Belum lagi haiden, makhluk berupa monster berkulit kasar setinggi 5 meter. Makhluk yang paling di takuti diseluruh Sofraz.Angin Nava Satra melompat turun dari kudanya, lalu berlari masuk ke dalam hutan tanpa tedeng aling-aling, dituntun oleh cahaya buatannya sendiri. "Tirza! Tirza!" Pangeran berusia sepuluh tahun itu berteriak memanggil pelindungnya di tengah hutan luas nan gelap itu. Jantung pangeran Sofraz berdegub sangat keras saking khawatirnya. Dia tidak mengira kalau kekuatan internal Tirza Antara telah di redam. Dia sangat takut terjadi sesuatu pada mandaranya. Pangeran Sofraz berhenti melangkah tatkala dia melihat sobekan kain safir bernoda darah tersangkut di ranting tanaman kecil dalam h
Ketika Saron dan Riana berangkat ke sekolah dengan Sapphire, mereka menyadari bahwa gadis itu lebih banyak diam. Sepanjang perjalanan dalam mobil tak ada suara yang keluar dari bibir mungil gadis cantik itu. Dia duduk dengan tenang di kursi belakang, menatap ke arah jalanan dengan pandangan yang sulit diartikan.Mobil mereka mulai memasuki kawasan parkiran Persada Bangsa, dan Sapphire turun dengan bungkam. Saron dan Riana cepat melangkah di belakangnya. Sapphire berhenti didepan sebuah kelas. Matanya yang dilapisi softlens hitam memandang ke dalam kelas itu lurus-lurus. Dia bahkan melangkah masuk dan mengedarkan pandangan tajam ke seisi kelas. Beberapa siswa yang sedang bermain-main menghentikan kegiatan mereka dan memandang ke arah ke tiga perempuan yang seharusnya tidak berada disana."Sapphire, mengapa berhenti disini?" tanya Saron heran. Dia dapat merasakan pandangan segan penghuni kelas itu pada Sapphire. Sementara Riana yang jeli memilih diam sembari mengamati ekspresi Sapphire
Kedua ajudan Sapphire sudah berdiri didekat meja Rose saat gadis itu kembali ke kelasnya. Riana memandangnya lamat-lamat kemudian mencoba tersenyum. "Rose, kau resmi dikeluarkan dari Poison sejak hari ini."Rose tak menyahut. Dia sudah mengira ini akan terjadi. Hatinya mengumpati kegagalannya yang tak dapat menjamah nilakandi hingga detik ini. Dia gagal.Saron memandang Rose penasaran, masalah apakah sebenarnya antara Ariza dan gadis ini? Namun gadis itu tahu batasannya. Bersama Riana, mereka pergi dari sana. Rose mengepalkan tangannya, bila dia menoleh ke jendela kaca kelas, tampak di suatu tempat sesosok pemuda berkacamata tegak menatapnya dengan raut datar. Dan dia semakin merasa bersalah.***Ariza melangkah memasuki kantin, dia memesan semangkuk soto sambil mengedarkan pandang mencari meja yang masih kosong. Satu meja di sudut terlihat masih cukup kosong, karna disana hanya ada Bayu yang duduk. Gadis itu melangkah tanpa ragu, mengambil tempat didepan Bayu, dan mengulas senyum
Hal yang tidak pernah Zeilo pikirkan adalah ketika dia harus terlempar kesamping tatkala dia hampir saja mencium Ariza. Ariza yang refleks bergerak mundur mengerutkan keningnya sekilas dan mengangkat kepala memandang ke depan. Sepasang matanya memandang bingunwg. Bayu sudah berdiri disana, menatap tajam ke arah Zeilo dengan rahang mengeras. Ikatannya sudah terlepas dan Jeri sudah meringkuk kesakitan dengan pisau yang terlempar jauh."Bagaimana bisa Bayu bergerak cepat dan melumpuhkan mereka?" Ariza semakin heran. Dia ingat bahwa Bayu bahkan tidak berdaya menghadapi Trio Bandit yang membulinya habis-habisan di masa lalu. Selagi Ariza masih terpaku, Zeilo sudah bangkit berdiri sambil meringis. "Bangsat!" Makinya pada Bayu. Dia bergerak menerjang melancarkan jurus karate selama ini yang telah dia pelajari. Siapapun yang melihat setiap gerakan Zeilo menyadari betapa terlatihnya dia. Namun ternyata Bayu dapat mengimbangi dengan mudah, bahkan sempat menyusupkan satu tonjokan di rahangnya se
Ruangan yang didominasi warna merah tua itu nampak hening. Ada tiga orang sebenarnya yang duduk disana. Tapi rupanya mereka masih enggan bicara. Lelaki pertama adalah seseorang berusia 40 an tahun, berkacamata dan berwajah bersih. Orang kedua dan ketiga adalah dua orang muda mudi yang sama-sama bermata cokelat terang."Apa yang sudah kalian lakukan?" Lelaki itu menarik nafas panjang. "Kalian membiarkannya melakukan hal gila seperti itu?""Dia berkata ingin mengikuti permainan ini, Paman. Kami sebenarnya ingin ikut bersamanya, namun dia melarang kami." jawab sang pemuda, Chandra."Keselamatan Yang Mulia adalah yang utama, Chandra. Jangan sampai karna satu kelalaian, kita kehilangan Raja.""Kami tidak berdaya, Paman. Waktu itu kami bilang akan menguntitnya, namun dia menolak."Lelaki yang dipanggil paman itu terdiam beberapa lama. "Dia pasti merencanakan sesuatu. Tugas kalian adalah menjaganya, menggantikan tugas dari pelindung yang terbuang itu. Awasi terus dirinya meski hanya dari ja
"Akan sulit jika aku menjelaskan padamu mengenai dimensi secara detail karna pola pikir manusia pada hakikatnya sederhana, dan akan sulit percaya pada sesuatu yang tak terlihat. Padahal, mata adalah indra yang terbatas." jelas Chandra pula. Daniah mengangguk-anggukkan kepalanya. "Menarik, tapi mengapa kau tidak menjelaskannya lebih jauh?""Dengan otakmu yang tak seberapa itu?" Chandra mengetuk kening Daniah sambil tersenyum. "Dimensi ke lima dan keatas terlalu sulit untuk dijelaskan. Kau harus berpikir lebih keras untuk sekedar memahaminya."Daniah merengut. "Apakah kau akan percaya kalau nun ditempat yang tidak pernah kau bayangkan, tidak dapat kau lihat, ada sebuah kehidupan yang sungguh-sungguh berbeda dengan dunia yang kita tinggali ini? Adanya makhluk-makhluk dan manusia lain yang rupanya berbeda?" Chandra menatap langit. Daniah menggeleng. "Seperti apa, semacam elf?"Chandra mengangkat bahu. "Indah untuk didefinisikan."Daniah menatap Chandra menyelidik. "Kau bicara seperti su