Mas Zain tengah sibuk memasukkan ikan-ikan ke dalam plastik kecil transparan saat aku sampai di rumah. Segera kuletakkan barang belanjaan ke dalam kulkas lalu menidurkan Caca. Setelah ia pulas, barulah aku menuju jemuran. Langit agak mendung, jadi kuangkat milik Mas Zain sekalian, melipatnya rapi dan memasukkan ke dalam koper. Sudah rapi semua, saatnya pergi dari sini. Aku menuju dapur untuk pamit pada Mas Zain, tapi lelaki itu sudah tak ada. Di mana dia?Aku keluar dari dapur, menatap lurus ke kolam ikan, ia tak tampak. Akhirnya, aku kembali masuk rumah dan keluar dari pintu depan, menatap lurus pada area persawahan. Mas Zain ada di sana ternyata. "Mas Zaiiin!" Seruku. Ia berdiri membelakangiku, mungkin tak mendengar. Aku kembali masuk rumah untuk memastikan Caca benar-benar pulas lalu berjalan di pematang sawah menyusul Mas Zain. Di kanan dan kiriku padi-padi telah menguning, tampaknya sudah siap panen. "Sedang apa, Mas?"Mas Zain langsung menoleh. "Lihat kebun," sahutnya, tatapa
POV Zain"Bunda kenapa kok kayak ketakutan gitu?" Terdengar lagi suara Caca.Ketakutan? Maksudnya? Apa Cinta takut padaku karena pengakuanku tadi?Aku menghela napas memikirkan kemungkinannya. Bisa jadi dia juga takut padaku seperti gadis-gadis di sekitar sini. Sudah pasti orang tua mereka yang memberi tahu agar tak dekat-dekat denganku, seolah aku bakal melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan pada Talita pada sembarang gadis."Cinta." Panggilku, tak ada sahutan juga. Ibu sebenarnya sudah mewanti-wanti agar Cinta jangan sampai tahu mengenai hal itu. Tapi aku merasa tak nyaman jika mengajaknya serius membina hubungan tanpa dia tahu tentang masa laluku."Cinta." Kuketuk lagi pintunya."Bundaa, aku lapar." Suara Caca kembali terdengar. "Buuun, makan yuuk?""Cinta." Tok tokApa dia pikir aku bakal bertindak asusila padanya? Memikirkannya, membuatku sedikit jengkel."Cinta."Atau apa jangan-jangan ... dia tidur?Tok tok."I-iya, Mas, sebentar. Aku agak enggak enak badan."Aku membal
POV Yoga"Buka, Mbak! Buka pintunya, Mbak! Mbak, apa-apaan ini?!"Tok tok tok!Brak brak brak!Bunyi gaduh itu membuatku perlahan membuka mata, sedikit menutupnya lagi karena rasa kantuk yang begitu hebat."Mas! Apa yang terjadi?! Apa yang terjadi padamu, Mas! Maas!"Terdengar pekikan histeris, lalu bahuku diguncang keras dan pipiku dipukul-pukul. Kuusap-usap mata karena kantuk yang begitu hebat."Ada apa, An, menggangguku tidur saja," kataku sambil mengusap mata."Mas, apa yang terjadi padamu, Mas?! Mana ... itu ... itumu ke mana?" Anita menatapku dengan wajah luar biasa panik. Ada gunting berlumur darah di meja. Juga plastik transparan berisi ....Aku memandangnya tercekat dengan mata melebar, tak asing dengan benda yang mengerut berlumur darah itu. Seperti ... perlahan, aku memandang ke bawah. Tampak perban di area alat vitalku. Apa-apaan, ini? Dadaku berdebar membayangkan yang bukan-bukan. Cinta. Apa yang sebenarnya telah dia lakukan?Anita meraih plastik berisi benda tak asing it
POV ZainCinta menatapku dengan wajah sulit diartikan. Apa aku keterlaluan?Entahlah. Segera kusimpan nomernya lalu mengulurkan HP padanya. Dia segera menerimanya, menatapku terlihat tak nyaman. Tingkahnya membuatku jadi merasa tak enak hati. Tapi segera kuacuhkan perasaan itu dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Bukan hal aneh, bukan, meminta HP-nya dengan sedikit memaksa? Dulu saat masih sekolah, aku juga sering melakukannya pada gadis-gadis. Juga pada Talita. Bukan berarti ingin mengulangi kenakalan dulu, hanya saja, tadi terjadi secara refleks."Ump, aku pulang dulu, Mas.""Di mana kamu tinggal?" Tatapku."Rumah saudaranya temanku," sahutnya dengan tatapan ke arah lain. Ia tersenyum tampak canggung lalu melangkah menuju rumah. Aku mengiringi langkahnya menuju ruang tamu di mana Caca dan Farhan tengah makan sambil mengobrol."Ayo anak-anak, kita pulang." Cinta menatap Caca dan Farhan bergantian. Ia tersenyum kecil saat tatapan kami tak sengaja bertemu."Biar dihabiskan dulu m
POV CintaAku segera ke sanaJantungku berdegup kencang. Bahkan hanya membaca pesannya saja sudah membuat perasaanku campur aduk begini. Mana mungkin aku pergi dengan Mas Zain yang kelewat pendiam itu? Belum lagi, masa lalu kelamnya membuatku takut setengah mati.Sepuluh menit lebih, aku hanya mondar-mandir di dapur, sesekali memperhatikan Caca dan Farhan yang tampak asyik memberi makan ayam di halaman belakang."Kur kur kur kuuur!" Teriak Ibu Neni sambil terus menyawur-nyawurkan beras ke segala arah, begitu pun dengan Caca dan Farhan. Ayam-ayam jago juga betina mematuk beras sambil sesekali mengejar ayam yang lebih kecil. Aku menghela napas. Haruskah aku pergi dengan Mas Zain?Kalut. Juga bingung. Ingin menolak namun tak enak, tapi jika memilih pergi ... perasaanku juga tak nyaman. Tapi biar bagaimanapun, Mas Zain pernah begitu baik menolongku memberi tempat tinggal. Tapi kenapa perasaanku begitu tak nyaman mau pergi dengannya? Bingung. Sungguh bingung. Aku terus mondar-mandir denga
Cinta."Aku menoleh."Kamu membuatku tidak bisa tidur."Aku terdiam memandangnya dengan perasaan campur aduk. Apa yang harus kulakukan kini? Aku mengalihkan pandang karena malu beradu tatap dengannya."Cinta ....""Ya, Mas?""Kamu membuatku terus memikirkanmu."Wajahku menghangat. Ya ampun, dia ini sebenarnya sedang menggombaliku atau apa?"Selama kurang lebih 18 tahun, hanya Talita yang terus kupikirkan. Kamu yang akhirnya menggantikan posisi Talita. Di hatiku."Dadaku bergemuruh hebat. Mungkin kalau ada cermin, aku akan menyaksikan wajahku yang memerah karena malu. Hening beberapa saat sebelum akhirnya ia berkata,"Ibuku selalu menjodohkanku dengan banyak gadis, tapi tak satu pun membuatku tertarik."Hening cukup lama. Aku menunduk menatap cincin yang berkilau di jari manis. Juga sekuntum bunga teratai mekar dalam aquarium di pangkuan. Aku agak membungkuk lalu menghidu wanginya yang mendamaikan."Kenapa tertarik padaku?" Ini seperti pertanyaan konyol. Mas Zain pernah mengatakan aku
POV ZainIya, Mas Hanya itu saja, tak ada balasan lain. Aku menghela napas teringat kejadian siang tadi, melihat Cinta tampak begitu gusar saat aku memintanya menjadi istriku. Apa dia masih takut kembali membuka hati dan berpikir bahwa semua lelaki sama?Atau ... karena takut padaku? Aku menggeleng. Sepertinya bukan itu. Mungkin berkaitan dengan masa lalunya. Apa aku terkesan tergesa-gesa?Kuhela napas. Bukannya aku ingin memaksakan kehendak, tapi aku tak mau hubungan yang tidak pasti. Kalau dia mau menikah ya menikah, kalau tidak mau ya sudah. Sesederhana itu sebenarnya. Tapi tetap aku berharap dia mau membuka hati karena tidak semua lelaki sama.Kubuka galeri dan menatap foto-fotonya yang tersenyum manis di sampingku. Wajahnya selalu ceria. Kubuka satu vidio di mana dia tengah memasang berbagai gaya dengan bibir tersenyum manis. Angin yang berembus membuat pepohonan di sekitar meliuk-liuk, rambut Cinta beterbangan kesama kemari. Cinta tentu saja tak tau bahwa aku merekamnya.HP ber
Neni memandangku lama. "Masa lalunya memang kelam, Cin. Tapi bukan berarti semua tentangnya jelek semuanya.""Iya juga, sih." Aku memandangnya. Merasa deg deg kan saat membayangkan akan menjalani hubungan serius dengannya."Menurutmu, apa dia bisa jadi ayah yang baik untuk Caca dan Farhan?"Neni memperhatikanku lama. Lalu mengangguk perlahan. "Aku sudah tanya banyak hal sama istri saudaraku, katanya, Mas Zain sangat sayang pada Putri. Sejauh ini, apa dia bersikap baik sama Farhan?"Aku mengangguk. Bahkan saat pertama bertemu, ia langsung dekat dengan Farhan. Padahal denganku begitu dingin.Neni memandang ke jariku yang tersemat cincin dari Mas Zain. "Saranku, kamu pikirkan dulu, Cin. Pernikahan itu untuk seumur hidup. Aku setuju kamu cerai dengan si penghianat itu, tapi untuk menikah dengan Mas Zain ... emmp ... kamu harus memikirkannya masak-masak. Kamu benar-benar merasa cocok padanya atau tidak.""Aku sudah memikirkannya, Nen. Aku akan membuka hati. Kami akan saling mengenal dulu,