BAGIAN 10
“Ih, ngaco kamu!” Aku mengibaskan tangan sambil cepat-cepat mengusap ujung pelupuk.
“Eh, iya nggak, sih?”
“Mau hamil apa enggak, tetap aja bisa cerai. Nggak ngaruh. Aku tetap mau cerai. Titik!” Aku bersikukuh dengan segala keras kepalaku. Andai kata memang hamil, ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Lebih baik aku di sini membesarkan anakku, ketimbang harus bersama Mas Faris dan ibunya. Aku sudah ogah!
“Kamu mau tes urin, nggak? Apa mau aku beliin?” Gio yang penuh perhatian itu bertanya sambil menatapku dalam.
Aku yang masih agak eneg, hanya bisa menerawang ke langit
BAGIAN 11 Ponsel terlepas dari genggamanku. Telepon dari Farah tak lagi kugubris. Aku kini sibuk dengan muntahan yang berbentuk cairan kuning tanpa isi sisa makanan apa pun. Bahkan cairan kuning pahit itu lambat laun sudah enggan keluar dari lambung. Sepertinya, isi perutku sudah terkuras habis. “Gista!” Sontak aku menoleh ke muka pintu sana. Terlihat, sosok Mama dengan piyama rumahannya yang berwarna merah muda dengan motif burung flamingo itu pun gegas mendatangi ranjang. Rautnya khawatir sekali. “Kenapa kamu, Gis?” tanya Mama. Beliau tampak membeliakkan mata demi menatap selimutku yang kini terkena muntahan.&nb
BAGIAN 12 Takut-takut aku masuk ke mobil Pak Ken. Sebuah Jeep Wrangler Rubicon dengan warna merah yang ngejreng itu kini menjadi saksi bisu betapa berdegupnya jantungku. “P-pak … aku minta maaf,” ucapku tergagap ketika duduk di sebelah kursi kemudi. Pak Ken diam. Lelaki yang melinting kemejanya hingga siku itu fokus menyetir. Kulihat sekitar, dia tak membawa tas kerjanya. Kutoleh lagi ke bangku belakang. Tidak atas tas ataupun laptop di atas bangku penumpang. Jadi, aku mau dibawa ke mana? “Pak, ada klien yang mau ditemui?” tanyaku pelan. Lelaki itu masih diam. Dia menatap lurus ke depan de
BAGIAN 13 “Pak Ken, aku nggak bisa masuk,” ucapku dengan keringat dingin yang masih mengucur. Pak Ken yang sudah berjalan duluan sambil menggenggam kunci mobilnya itu langsung menoleh. Tatapannya tajam. Aku makin berdebar saja sebab melihat ekspresi kesal dari bosku. “Kenapa?” Dia bertanya ketus. “I-itu … ada mobil suamiku,” kataku sambil menunjuk ke arah mobil yang terparkir anteng di depan sana. Bosku yang tingginya di atas rata-rata cowok Indonesia kebanyakan itu pun melempar pandangnya ke arah telunjukku. Menyipitkan mata dengan muka setengah masam. Semoga dia tidak marah-m
BAGIAN 14POV FARIS Plak! Sebuah tamparan Ibu layangkan ke pipiku. Tepat bersamaan dengan pintu rumah yang baru saja kubuka. Belum kakiku melangkah masuk, tetapi serangan Ibu sudah membabi buta. “Apa yang kamu lakukan, Ris? Di mana hatimu pada Ibu? Bisa-bisanya kamu meninggalkan rumah ini hanya demi memohon-mohon pada Gista!” Ibu menarik kerah bajuku. Menyeretku masuk ke ruang tamu, lalu mengempaskan pintu kuat-kuat. Aku terdiam. Tak bisa memberikan perlawanan sedikit pun, meski hati ini mulai mendidih. Plak! Sekali lagi Ibu men
BAGIAN 15POV FARIS [Diba, lagi apa? Aku ganggu kamu nggak?] Kukirimkan pesan itu kepada Adiba, teman sekantorku. Dia baru lulus PNS dua tahun lalu. Terhitung sebagai juniorku. Agak berdegup keras jantungku selesai mengirimkan Adiba pesan. Perasaan takut itu sebenarnya hadir di hati. Bukan apa-apa. Adiba ini termasuk sosok yang keras. Bila tak suka, dia tak ragu untuk mengungkapkannya. Lebih blak-blakan daripada Gista. Hanya bedanya, Adiba ini berasal dari keluarga biasa. Ibunya sudah meninggal. Sedang bapaknya hanya seorang pedagang kelontong di pasar. Punya ibu sambung yang setahuku kurang akrab dengannya. Aku menanti sekiranya dua puluh menit untuk mendapatkan balasan
BAGIAN 16 Akhirnya, aku dan Pak Ken tiba juga di kantor. Teman-temanku terlihat sedang asyik bekerja. Tak ada suara derai tawa di antara mereka. Hanya suara tuts kibor laptop maupun PC yang diketuk oleh jemari giat lima karyawan Pak Ken. Aku berjalan dengan langkah gontai seraya membawa tentengan ke dalam ruang kerja Pak Ken. Sedang bosku itu sudah berjalan duluan beberapa langkah di depanku. Aku mengerling ke arah dua temanku. Andin dan Nada. Mereka seolah mendapat sinyal dari tatapanku. Kompak menatap dengan muka cengengesan ke arahku. Bahkan, Nada sendiri memuncungkan bibir sambil memejamkan mata. Seolah sedang memeragakan adegan mencium. Asem si Nada. Sempat-sempatnya dia meledek. Rasa ca
BAGIAN 17POV FARIS “Dib, kita pulang bareng, yuk?” Aku mendekati Adiba saat jam pulang sudah tiba. Perempuan cantik yang telah memulas ulang lipstik warna merah batanya itu tampak senyum lebar. “Nggak apa-apa, nih?” tanyanya sambil bangkit dari meja kerja yang hanya bersebelahan dengan mejaku. “Iya, nggak apa-apa. Kamu belum pesan taksi atau minta jemput adikmu, kan?” Aku agak gugup bertanya. Maklum saja. Di depan sana, ada empat meja yang masih ada penghuninya. Ada Bu Qoni, Mbak Ambar, Pak Rahmat, dan Pak Yono. Mereka juga staf di seksi yang sama denganku dan Adiba. Keempatnya sedari tadi memang curi-curi pandang ke arah meja kami berdua. Apalagi ketika aku mengajak Adiba untuk pulang bersama.
BAGIAN 18POV FARIS “Peluk aja. Nggak apa-apa,” ucapku lirih sambil menatap Adiba serius. Adiba benar-benar memeluk tubuhku. Erat sekali. Kedua tangannya melingkar ke pinggang ini dan dia tanpa ragu membenamkan kepalanya ke dadaku. Aku membeku. Seperti batu. Diam di tempat dengan dua tangan yang mulai dingin. Dadaku tentu berdebar tak keruan. Di hati kecilku ada rasa penolakan. Namun, nafsuku sebagai seorang pria tak mampu mengalahkan berontaknya hati kecil. Tanganku malah perlahan mengusap puncak kepala Adiba yang masih terbungkus dengan jilbab. “Ternyata … badanmu emang enak buat dipelu