"Kei, aku tunggu kamu di luar," kata Hiko saat Kei akan memasuki ruang pemeriksaan.Kei mengangguk, ia lalu memasuki ruangan itu. Mana mungkin juga ia meminta Hiko menemaninya ke dalam, meski Hiko sahabatnya, tapi ia tahu betul perasaan pria itu padanya. Ia tak mau terlalu memberi harapan pada pria itu.Untuk menerima tawarannya mengantar memeriksakan kandungan saja, Kei ragu. Tapi Hiko memaksa, pria itu tahu Kei tak mungkin mau di antar Arka. Apalagi Cio memintanya menemani Kei karena ia dan kedua orang tuanya tak bisa mengantar. Mereka pergi ke Bandung untuk menghadiri acara rekan bisnis mereka.Hiko tersenyum, lalu duduk di kursi tunggu. Helaan nafas panjang terdengar berhembus dari bibirnya, ia lalu berkata, "Tidak usah sembunyi lagi. Kemari lah!"Arka yang bersembunyi di balik tiang berdecak, ia kira ia berhasil bersembunyi, nyatanya Hiko tahu. Ia lalu menghampiri Hiko dan duduk di samping pria itu, "Apa Kei juga tahu aku disini?" "Mungkin. Kamu memang cerdas Arka, tapi kamu bod
Cahaya matahari baru saja menyapa bumi, namun sejak pagi buta, seorang pria tampan yang perasaannya tengah resah sudah tampak terjaga.Beberapa kali mengusap wajahnya dengan gusar, saat terbayang wajah perempuan cantik yang beberapa hari lalu ia tolong dari gangguan beberapa preman."Ada apa denganku? Kenapa aku terus mengingatnya?" Perasaan bersalah menyusup begitu saja saat ia kembali mengingat kata-kata yang terlontar dari bibir perempuan itu. 'Seburuk itukah aku di matamu?'Adalah Cio, entah mengapa ia begitu resah karena merasa sikapnya sudah keterlaluan pada perempuan bernama Starla beberapa hari yang lalu. Perempuan itu memang sudah melakukan kesalahan di masa lalu, membuat sang adik menjadi korban balas dendam, tapi bukankah setiap manusia berhak mendapat kesempatan kedua?Raut sendu perempuan itu terus terbayang, menghantuinya setiap kali ia memejamkan mata. Cio bahkan tak berkonsentrasi dalam pekerjaannya. Ia ingin segera pulang ke ibu kota dan menemui Starla."Nak, sepertin
Kei menggeleng saat Arka hendak menyuapinya, ia sangat malas makan, karena selesai makan, ia pasti akan memuntahkannya kembali. Hal itu membuatnya lelah dan lemas."Makan sedikit saja, Kei. Demi anak kita," bujuk Arka. Keningnya berkerut, menatap Kei dengan tatapan iba dan memohon. Bukan hanya mencemaskan calon anaknya, Arka juga mencemaskan keadaan Kei. Jika terus seperti ini, ia takut Kei sakit."Aku tidak mau, apa kamu tidak dengar? Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan, aku lelah. Percuma aku makan, ujung-ujungnya akan aku muntahkan lagi, jangan memaksaku!" Kei sedikit meninggikan suaranya. Moodnya sangat mudah berubah."Iya, aku memang tidak tahu apa yang kamu rasakan. Tapi aku menyayangimu, aku juga mencintaimu, aku tidak mau terjadi hal buruk denganmu dan anak kita. Karena itu aku memaksa. Bagiku, tidak ada yang lebih penting dari dirimu, aku benar-benar tidak mau terjadi sesuatu padamu dan calon anak kita. Tolong Kei, makanlah demi anak kita, dia membutuhkan nutrisi darimu
"Ini berkas kerja samanya, silahkan pak Cio tinjau dulu sebelum kita mencapai kesepakatan," kata Starla. Ia berusaha bersikap profesional. Bahkan Starla menggunakan bahasa formal.Cio tak menjawab, tak juga mengambil berkas yang sudah ada di hadapannya, pria itu justru diam dan terus menatap Starla.Starla berusaha tak memperdulikan itu, ia menoleh dan menegur Cio, "Maaf pak Cio, apa yang saya katakan kurang jelas? Atau ada sesuatu yang aneh dalam diri saya?""Star, boleh aku bicara sesuatu?""Maaf pak, ini jam kerja. Sebaiknya anda profesional!" Tegas Starla, kilasan kata-kata Cio membuat Starla sesak. Pria itu menuduhnya tanpa tahu apa yang malam itu ia lakukan."Aku cuma mau ...""Kalau anda terus seperti ini, lebih baik saya pergi. Saya tinggalkan berkas ini dan nanti akan ada orang yang mengambilnya, permisi pak!"Starla beranjak, mengambil tasnya hendak pergi. Namun Cio menahannya. Pria itu menggenggam tangannya dan memintanya kembali duduk."Duduklah, maafkan aku ..." lirih Cio
Siang ini Kei hanya berbaring di atas ranjang, entah mengapa perutnya beberapa kali mengalami kram.Biasanya Arka akan pulang untuk memastikannya makan siang dengan benar, tapi siang ini pria itu tak menampakan batang hidungnya. Kei kesal, kenapa di saat ia membutuhkan pria itu, Arka tak pulang. Saat ia tak ingin berdekatan dengan Arka, Arka justru kerap memaksa dan terus berada di sampingnya. Itu lah alasan kenapa Kei bersikap ketus pada Arka saat pria itu mendekatinya. Selain karena kekecewaannya pada pria itu masih ada, ia juga kerap merasa kesal pada Arka tanpa sebab, mungkin bawaan bayi."Aw, kok sakit lagi sih? Apa aku harus menghubunginya? Tidak tidak tidak, nanti dia besar kepala," Kei terus bermonolog, sesekali tampak meringis menahan sakit."Hiko, apa aku menghubunginya saja?" Kei menggigit bibir bawahnya, menahan sakit yang kian terasa. Bersamaan dengan itu, pintu kamar di ketuk, Kei pun menyahut dengan suara berat, "Masuk!"Bi Inah memasuki kamar, membawa sebuah nampan y
"Apa sudah lebih baik?" Tanya Arka, ia tersenyum saat Kei mengangguk, "Mungkin anak kita merindukan papanya," kata Arka lagi, ia kembali tersenyum meski Kei tak menjawabnya.Kei hendak bangun, dan Arka sigap membantunya. Pria itu menumpuk bantal di belakang punggung istrinya, agar perempuan itu duduk bersandar dengan nyaman."Terima kasih," lirih Kei. Ia memejamkan mata sejenak, bersyukur kini perutnya tak terasa sakit lagi."Jangan berterima kasih, apa pun yang yang aku lakukan untukmu, adalah kewajiban ku sebagai seorang suami. Aku senang bisa merawat mu dan anak kita. Dengan kamu tidak menolak ku saja, sudah cukup untukku. Karena aku tidak mau lagi berjauhan denganmu, apalagi kamu sedang mengandung anakku," jelas Arka, siapa tahu Kei menerimanya kembali setelah ini.Kei memalingkan wajahnya, entahlah, apa ia bisa seperti dulu lagi? Menerima pria itu dengan sepenuh hati setelah semua perbuatan yang pria itu lakukan padanya. Setelah merasakan rasa sakit yang teramat dalam karena ulah
"Aku sudah kenyang, Mas ..." Kei menghindar saat Arka hendak kembali menyuapinya, perutnya terasa penuh.Bagaimana tidak, satu suap nasi yang ia kunyah, akan di barengi dengan potongan buah melon juga. Ia benar-benar kekenyangan, belum lagi jus alpukat yang harus ia habiskan, Kei benar-benar tak sanggup lagi menelannya."Tinggal dua suap lagi sayang," Arka masih mencoba membujuk.Kei menggeleng, "Aku benar-benar tidak sanggup."Arka mengusap puncak kepala perempuan itu dengan lembut, "Ya sudah, aku ke bawah dulu. Aku juga mau ganti pakaian," ucapnya seraya mengambil nampan yang isinya nyaris tandas."Kamu tidak kembali ke kantor?" Arka menggeleng, "Aku di rumah saja, menjagamu dan anak kita. Tunggu sebentar, nanti aku kembali lagi," jawabnya.Kei hanya mengangguk sebagai jawaban. Sepeninggal Arka, Kei kembali merenung, sudah benarkah keputusannya memberi kesempatan kembali pada Arka?Pertanyaan yang sama yang terus berulang-ulang dalam hatinya, membuat kepalanya pusing dan ia memutus
"Kenapa aku lagi kak? Kakak saja, aku sibuk," tolak Starla saat Arka kembali memintanya bertemu dengan Cio untuk meninjau proyek mereka."Kakak lebih sibuk darimu, ayolah Star, kakak akan memberikan tanggung jawab penuh untukmu di proyek ini. Bukankah ini jalan yang menguntungkan untuk karirmu? Ini proyek pertamamu, dan ini bukan proyek abal-abal, Star. Proyek besar loh, kalau kamu berhasil, kemampuan kamu akan di perhitungkan banyak lawan," Arka terus membujuk. Melihat perkembangan mental sang adik yang sudah sangat baik, ia ingin Starla juga bisa seperti dirinya, berdamai dengan masa lalu lalu hidup lebih tenang dan bahagia. "Kakak, aku tidak perduli dengan karirku, aku bekerja hanya untuk belajar dan juga membantumu. Jadi kakak saja yang pergi," tolak Starla lagi, ia enggan bertemu dengan Cio. "Tapi kamu sudah pintar, kamu tidak perlu belajar lagi. Kamu hanya perlu menunjukkan kemampuanmu pada semua orang. Star, kelak yang akan memegang perusahaan ini juga kamu, kamu harus mencar