“K-kamu serius, Mel? Sampai separah itu?”
“Menurutmu? Untuk apa aku berbohong? Kamu pikir aku mau gitu pakai baju jelek begini kalau memang aku ada baju yang baru?” Lagi-lagi aku menghela napas. Kuusap kasar wajahku. “Terus baju-bajunya Arka gimana?” tanyaku lagi sembari menatapnya. “Bajunya Arka juga diambil sama Mbak Sita. Katanya lebih cocok dipakai sama Rafa anaknya dan dia juga bilang umur Rafa dengan Arka tidak jauh beda hanya selisih lebih tua Rafa lima bulan dari Arka. Makanya diambil, katanya ya sama kalau Arka gak pantas pakai baju mahal. Keturunan dari rahimku gak ada yang pantas pakai barang bagus.”Astaga Mbak Sita ….Kenapa sih dia sejahat itu sama anak dan istriku? Padahal setiap bulan kalau Mbak Sita menghubungiku untuk meminta bantuan atau meminjam uang dengan dalih kebutuhan mendesak pasti aku kasih. Dan sampai sekarang hurang-hurangnya yng jika aku total ada 20 juta belum pernah ia kembalikan dan belum pernah juga aku memintanya. Aku menggerutu dalam hati dan menggeram marah setelah mendengar pengakuan Amel, perihal semua yang aku belikan untuk anak dan istriku ternyata diambil oleh mbak Sita. Namun, semarah apa pun aku, tetap saja harus meredamnya sebab aku masih harus terus mengoreksinya informasi dari Amel lagi. “Emm terus lagi seperti motor, sofa, dan semua perabotan yang aku belikan pada aku pulang lebaran tahun kemarin pada ke mana?” tanyaku lagi. Amel tampak menghela napasnya. Setelah itu ia pun menjawab, “Semua sudah diambil juga sama Ibu dan mbak Sita, Mas. Mereka bilang kalau aku ini nggak berhak memakai barang-barang pemberian dari kamu, karena kamu itu anak dan adiknya mereka. Dan hanya mereka lah yang lebih pantas menerimanya. dan juga Ibu dan mbak Sita bilang antara kamu dan aku bisa bercerai kapan saja, lalu kemudian jadi mantan makanya aku nggak berhak, yang lebih berhak itu mereka. Karena mereka ada hubungan darah denganmu. Yah, aku sadar diri kok kalau aku dan kamu jelas gak ada hubungan darah. Seandainya kita bercerai kita memang hanya akan jadi mantan. Tapi Arka gimana? Arka itu anakmu, darah dagingmu dan ada darah mereka juga di diri Arka. Kenapa Atka juga dibeginikan? Aku gak mengapa jika aku yang mereka hina dan sakiti tapi kalau Arka? Sungguh aku habis sudah habis kesabaran, Mas.”Kutatap wajah Amel dan matanya berkaca-kaca. Jangankan Amel, aku yang hanya mendengarnya saja merasa perih di hati apa lagi dia yang mengalami? Karena sudah tidak tahan mendengar segala kesusahan yang dilalui istri dan anakku, akhirnya aku meminta Amel untuk berhenti bercerita. Ibuku dan sita benar-benar seperti wajah yang ditutupi topeng dengan sempurna sehingga aku sendiri tidak tau kelakuan mereka selama ini. Mereka benar-benar pintar bersandiwara seolah-olah semua baik-baik saja, padahal bobrok. Mereka benar-benar tidak memandangku sebagai keluarga karena faktanya aku yang dijadikan kambing hitam atas keserakahan mereka, seolah-olah aku lah yang menghancurkan rumah tanggaku sendiri.Pantas sana beberapa tetangga seperti tidak suka saat melihatku karena secara tidak langsung Ibu dan Mbak Sita sudah seperti memfitnahku yang sudah menzalimi Amel dan Arka. Setelah berbincang dan mengorek informasi dari Amel, akhirnya pesananku pun tiba, menu nasi ayam penyet yang aku pesan lewat delivery sekarang ada di depan kami. “Ayo kita makan dulu. Kamu pasti lapar, aku juga sudah lapar nih.” Amel hanya mengangguk tanpa menjawab ucapanku. Kami pun membuka bungkusan makanan yang ada di depan kami. Aku memasukkan sesuap demi sesuap nasi beserta lauknya ke dalam mulut. Meski rasanya hambar, tetapi tetap kupaksakan karena nanti rencananya mau ke rumah Ibu dan mbak Sita. Aku yakin pastinya nanti kita akan berdebat jadi aku butuh tenaga hingga kupaksakan untuk makan saja. Sembari menyuap makanan ke dalam mulut aku juga menatap ke arah Amel dan juga Arka. Tanpa aku sadari, lagi-lagi aku meneteskan air mata saat melihat Amel begitu lahapnya menyantap makanan yang aku pesan. Sikapnya mempertegas kalau dia tidak pernah makan-makanan seperti ini. Begitu juga dengan Arka yang sepertinya sangat menikmati makanannya yang aku pesan khusus untuk anak berumur satu tahun.Padahal selama ini aku selalu menitipkan uang buat menafkahi Amel dan Arka sebanyak 10 juta setiap bulannya. Jika uang itu sampai ke tangan istriku, tentu semua ini nggak bakal terjadi.“Gimana makanannya, Mel, enak?” tanyaku pada Amel. Istriku itu menjawab hanya dengan senyuman.“Maafkan aku atas semua yang terjadi padamu, Mel. Jika kamu ingin marah silakan caci maki saja aku, karena memang pantas aku mendapatkannya. Tapi tolong jangan pernah membenciku. Karena aku tidak sanggup jika harus dibenci oleh orang yang sangat aku sayangi.”“Tidak , Mas, kamu tidak salah. Aku juga tahu kalau ini semua bukan kehendakmu tapi hanya kehendak ibu dan kakakmu saja. Di hati kecilku kamu masih suamiku. Demi Arka dan rumah tangga kita, aku ikhlas menjalani semua ini.”Kugenggam tangan Amel dan mengecupnya sekilas. “Aku janji setelah ini tidak akan lagi kamu merasakan derita. Aku janji akan membahagiakanmu. Setelah ini kamu ikutlah denganku ke Kalimantan. Alhamdulillah jabatanku sudah naik dan gajiku juga lumayan kalau untuk hidup kita bertiga. Kamu mau kan ikut aku ke Kalimantan?”“Iya, Mas, aku mau asalkan selalu bersamamu dan anak kita.” Mendengar jawaban Amel, kembali aku memeluknya dengan tangis bahagia. Akhirnya … aku bisa berkumpul kembali dengan anak dan istriku. Ah, rasanya aku terharu sekali. Setelah selesai makan aku pun membereskan sisa makananku dan juga makanan mereka. Amel pun ikut membantu, tetapi aku larang. “Mel biar aku saja yang membereskannya, kamu istirahatlah kan seharian sudah keliling pasti capek.”“Nggak apa-apa, Mas, aku ini istrimu dan sudah sepantasnya aku ikut beres-beres karena kamu juga pasti capek sebab dari perjalanan jauh,” jawab Amel sambil melanjutkan beres-beresnya.“Sudah, sebagai istri kamu harus menurut. Kamu beristirahatlah biar aku saja membereskan semua ini. karena kamu kuperhatikan udah terlalu lelah.”Aku terus bersikukuh, hingga akhirnya Amel menurut dan tidak bisa menolak lagi. Setelah itu aku membuang semua bungkus bekas makanan termasuk bekas makanan Arka. Setelah selesai aku juga menyapu dan mengepel bekas ma
Apa kalian mau tau bagaimana rasanya hatiku? Jelas sakit, sangat-sangat sakit. Selama ini yang kutahu Ibu dan mbak Sita sangat menyayangi Amel dan juga Arka. Namun, faktanya sekarang aku mendengar sendiri semuanya dengan telingaku melalui mulut mereka. Aku menyandarkan tubuh di dinding tepat sebelah pintu. Kuhembuskan napas berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesaknya dada. Sesaat langkahku terhenti, aku terpaku dan mulut terbungkam saat mendengar ucapan Ibu dari dalam rumah, kepulanganku ini ternyata sudah disambut oleh rencana jahat keluargaku. Uang nafkah yang tadinya untuk anak dan istriku ternyata benar dimanfaatkan oleh mereka.Jika sebelumnya aku hanya mendengar dari mulut tetangga, tetapi sekarang aku benar-benar mendengar secara langsung dari mulut ibu sendiri.Ya Allah … tiada rasa sakit yang lebih parah kecuali ucapan dan rencana jahat dari keluarga sendiri. Aku benar-benar tidak menyangka kalau ibu dan kakakku ternyata sejahat itu. Awalnya aku masih berharap kalau kab
“Bayu! Apa maksud kamu?! Kamu itu mau dicap durhaka sama ibu karena menghentikan kirimanmu kepadanya?! Tega kamu! Hanya demi membela perempuan yang jika kalian bercerai akan menjadi mantan tapi kamu sampai sebegitunya.”“Tutup mulutmu, Mbak! Aku dan Amel tidak akan pernah bercerai. Seandainya aku dan Amel sampai bercerai itu pasti karena ulah kalian.”“Kamu yang tutup mulut! Kamu itu dilahirkan dari rahim Ibu dan beliau yang merawatmu juga menyekolahkanmu. Tapi inikah balasanmu? Dasar tidak tahu diri.”“Seandainya aku bisa memilih harus dilahirkan di rahim siapa dan yang mana maka aku tidak akan memilih untuk dilahirkan di rahim ibu. Kehadiranku di dunia ini adalah kehendak ibu dan bapak. Itu juga karena ridho Allah, Mbak. Merawat dan membesarkan anak itu sudah menjadi kewajiban orang tua terhadap anaknya. Anak bukan investasi masa depan, Mbak. Seharusnya melihat anak bahagia dengan pasangannya, ibu juga harus bahagia dong. Tapi nyatanya apa? Yang ibu lakukan justru menghancurkan ruma
“Mas serius?” Amel menatapku dan aku membalas tatapannya. Aku segera mengangguk kecil menjawab pertanyaannya. “Tapi nanti apa gak akan jadi masalah? Itu mbak Sita pasti akan mengamuk, Mas.”“Hey, itu semua barang punya kita. Mau Mas bawa ke Kalimantan rencananya. Soalnya di sana Mas udah beli rumah jadi kan lumayan buat isi rumah kita yang di sana daripada beli kan?”“Beli rumah? Mas serius?” Aku kembali mengangguk menjawab ucapannya. “Rumah atas namamu, mas sengaja membelinya karena ingin membahagiakanmu. Memang sudah punya cita-cita jika membeli hunian nanti akan mas pakai namamu.”“Mas sebenarnya jabatanmu itu apa? Kenapa gajimu besar sekali? Bisa beli ini dan itu?”“Alhamdulillah jabatanku sekarang manajer, Sayang. Gajiku sekitar 30 juta sebulan itu belum termasuk bonus. Yah kalau ditotal dengan bonus kurang lebih 35 juta Kenapa bisa cepat? Karena sejak awal masuk aku kan sudah menjabat sebagai supervisor dan kebetulan di perusahaanku sedang dibuka perusahaan baru istilahnya cab
Huft, selalu adaaa saja yang mengganggu. Heran aku, apa seperti ini yang Amel alami setiap hari? “Siapa itu, Mas? Ayo kita lihat sama-sama, aku juga ingin tahu.” Aku dan Amel saling berpandangan lalu aku mengedikkan bahu tanda tidak mengerti. Seketika aku melangkah menuju pintu depan yang ada di ruang tamu sementara kami berdua berada di kamar. Aku berniat untuk melihat siapa yang datang berteriak memanggil nama istriku seperti itu. Ternyata Amel juga ingin ikut serta melihat keluar, tetapi aku melarangnya. “Tidak usah biar aku saja, kamu tunggu saja di dalam biar aku yang lihat keluar. Lagi pula kamu sedang menggendong Arka. Kasihan kalau anak kita sampai mendengar yang enggak-enggak nanti di luar,” ujarku pada Amel. Untungnya Amel menurut apa yang aku titahkan padanya. Aku mengintip dari balik hordeng dan cukup terkejut saat tahu suara siapa yang berteriak. Kalau aku tidak segera keluar pasti Ibu akan lebih ribut lagi, tetapi jika aku keluar pasti juga tetap ribut. Huft, sera
“Makasih ya, Mas, kamu sudah mau membelaku hingga sejauh ini. Padahal kami bisa dicap sebagai anak durhaka.” Amel mendongak dan kedua bola mata kami saling bersitatap. Aku mengecup dahinya, entah kenapa rasa sayangku teramat besar untuknya. “Itu sudah menjadi kewajibanku, Sayang. Di sini aku bukan ingin menjadi anak durhaka tapi aku memposisikan di sisi yang benar. Meskipun aku harus melawan ibu kalau beliau salah tetap aku tidak akan berpihak padanya. Biarkan Tuhan yang maha tau yang menilai tentang diriku. Sudah kamu gak usah pikirkan hal itu. Aku mau ngecek ke depan dulu karena sepertinya suara ibu sudah gak kedengaran lagi. Amel melepaskan pelukannya di tubuhku, aku pun bergegas menuju ke ruang tamu lalu mengintip dari balik jendela untuk memastikan apakah Ibu masih di depan rumah atau tidak dan ternyata beliau sudah pergi.Kuhembuskan napas dan rasanya cukup lega. Langsung saja aku memesan taksi online untuk kami bertiga, agar bisa segera berangkat karena hari juga sudah siang.
“Dari siapa, Mas? Kok wajahmu kusut?” tanya Amel padaku.“Ohh, ini dari rekan kerja. Nanyain kapan berangkat kerja kembali.” Aku berusaha tersenyum sebab tak ingin Amel tambah sedih kalau mengetahui mbak Sita lah yang mengirimiku pesan. “Apa nggak sebaiknya ditelpon saja temannya, Mas? Biar lebih jelas? Takutnya ada hal penting,” ujar Amel memberi saran padaku. “Nanti sampai rumah akan kuhubungi. Kamu tenang saja, dia hanya menanyakan kabar bukan soal pekerjaan,” jawabku yang lagi-lagi berbohong pada Amel. Biarlah mbak Sita dan Ibu menjadi urusanku tanpa melibatkan Amel. Selama di perjalanan aku terus menggenggam erat tangan Amel. Tidak ada lagi yang namanya kesedihan karena yang ada hanyalah kebahagiaan. Dia sudah cukup bersabar untuk menahan pedihnya hidup selama ini dan sudah waktunya Amel juga Arka merasakan kesenangan. Tanpa terasa kami pun tiba di kota asal kami kembali yakni, kota Pati. Namun, aku belum ingin langsung pulang ke kontrakan. Aku masih ingin menyenangkan Amel
“Kamu itu yang anak dan adik gak tahu diri! Disekolahin, digedein tapi apa balasannya? Ibu yang merawatmu bukan istrimu, Bayu! Dasar durhaka!”“Ya suka-suka kamu lah, Mbak, mau ngatain aku apa. Kalau kamu bukan anak durhaka ya sudah kamu saja yang rawat dan kasih ibu uang bulanan. toh suamimu juga kerja dan gajinya lumayan kan? Udah ya males aku debat sama orang kayak kamu, Mbak. Maunya menang sendiri.”Perdebatanku dengan mbak Sita melalui telepon akhirnya kumatikan. Tidak ada gunanya kalau diteruskan, yang ada hanya akan menambah masalah dan sakit hati. Tidak lupa juga kublokir nomornya agar tidak lagi bisa menggangguku. Kuhembuskan napas untuk melegakan sedikit sesaknya dada. “Siapa, Mas? mbak Sita ya?” tanya Amel, aku membalikkan badan dan menatapnya yang kini wajahnya sudah tampak sendu. “Iya, Sayang.” “Pasti dia marah gara-gara kita jalan-jalan begini ya? Kamu pasti bikin status di media sosialmu kan?” Aku mengangguk. Amel menghembuskan napsnya lalu berkata, Untuk apa? Kan d