Ceret yang dijerang di atas kompor mini berbunyi. Inara matikan kompor dan angkat ceret menggunakan serbet, lalu menuangkan airnya ke dalam gelas berisi susu bubuk di atas meja, semuanya ada enam gelas. Diaduknya satu per satu. Selain gelas, di meja ada enam piring kosong lengkap dengan pisau dan garpu. Hari ini dia kebagian jadwal menyiapkan sarapan pagi.
Beres membuat susu, Inara meracik sandwich sambil sesekali menoleh ke teras lewat pintu tenda yang terbuka lebar.
Kirei, Maysha, dan Jonan duduk santai di atas karpet bulu di teras menunggu hidangan sarapan pagi siap.
Kirei bersikeras ingin pulang. "Pokoknya aku mau pulang kalau tim penolong datang. Tidak mau meneruskan petualangan, kapok."
Dari semalam gadis itu merengek ingin pulang seperti anak kecil, membuat jengkel teman-temannya. Memangnya di kota gampang panggil taksi?
"Berani pulang sendiri?" tatap Inara separuh mencemooh. "Kalau terjadi pelecehan seksual di kapal penjemput, terus dibuang ke laut, minta tolong sama siapa kamu?"
Jonan menimpali. "Mending langsung mati, kalau dikunyah pelan-pelan sama ikan hiu?"
"Terus ikan hiu kekenyangan, kamu dilemparkan ke rombongan ikan paus, diganyang ramai-ramai," tambah Maysha. "Bukan cuma waktu hidup, matinya saja digilir. Tragis banget nasib kamu."
Kirei membela orang posko. "Mereka orang baik-baik. Akhlaknya tidak sebejat kalian."
"Mentang-mentang ada bulenya langsung dibilang baik," gerutu Maysha. "Ngefans banget sih sama orang bule?"
"Tadi malam jantungku hampir copot, tahu gak?" belalak Kirei keki. "Semalaman aku tidak bisa tidur!"
Teror semalam benar-benar menguras habis nyalinya. Dia tidak tahu apakah sanggup menghadapi malam nanti?
"Mending copot jantung daripada copot harga diri," kata Jonan.
"Mati-mati juga."
"Tapi terhormat."
"Terhormat atau tidak, apa bedanya? Orang sudah mati."
"Setidaknya meninggalkan sejarah yang baik."
"Sakit jantung kok sejarah yang baik?"
"Daripada sakit di bawah jantung karena dilecehkan? Pilih mana?"
"Kasih pilihan itu yang mengenakkan hati!"
Kirei lagi badmood. Pengaruh datang bulan. Apapun yang dibicarakan tidak masuk. Keinginannya adalah harga mati.
"Di hutan tidak ada pilihan yang enak," sahut Jonan.
Maysha memandang pemuda itu dengan rasa ingin tahu. "Selama ini kamu pernah mengalami kejadian kayak tadi malam?"
"Kejadian yang mana?" Jonan balik bertanya. "Kejadian didatangi kingkong jantan atau kejadian....?"
"Itu kecelakaan," sergah Maysha dongkol. "Gara-gara buaya brengsek."
"Kalau kejadian yang kamu bilang kecelakaan, terus terang belum pernah. Gadis Mapala baik-baik."
"Bisa saja cuma topeng."
"Topeng itu hanya untuk perempuan kayak kamu."
"Preet."
"Aku laki-laki jadi tahu betul soal itu."
"Lebih tepatnya laki-laki buaya."
"Teruskan ceritanya." Kirei pusing mendengar mereka ribut-ribut. Awalnya musuhan, ujung-ujungnya jadian. Basi banget. Tapi ada mereka liburan jadi meriah. "Jangan digantung kayak sinetron."
"Kalau didatangi binatang malam-malam, ya namanya hutan."
"Bukan binatang," bantah Kirei. "Kamu itu susah banget sih percayanya?"
"Aku malahan heran kalau yang datang itu dedemit. Dedemit jaman now mangkalnya di diskotik. Maka itu kalian sering kesurupan, teriak-teriak dan jentrak-jentrik semalam suntuk."
"Berarti kamu lebih-lebih dari dedemit," balas Maysha tak mau kalah. "Betah nongkrong di hutan."
"Sudah deh, jangan ngomong-ngomong dedemit," sambar Kirei kesal. "Malam nanti datang lagi jantungku bisa copot beneran."
Gadis itu begitu yakin kalau yang datang semalam adalah makhluk astral.
Jonan jadi muak. "Kalau dedemit, buat apa menakut-nakuti dari luar tenda? Dia bisa langsung masuk ke dalam menggerayangi kamu. Tenda itu tidak ada pagar gaibnya."
"Aku berdoa sama Tuhan agar makhluk itu tidak masuk ke dalam tenda."
"Bisa berdoa saja tidak, gaya-gayaan."
Jonan percaya makhluk gaib ada. Mereka hidup di alam lain. Kirei justru mengundang mereka untuk datang ke alam manusia dengan imajinasinya itu. Dia sudah melakukan interaksi secara tidak langsung. Jonan seumur-umur belum pernah bertemu dengan makhluk astral karena tidak pernah berpikir tentang keberadaannya.
"Jadi kamu menyesal pergi bertualang?" tanya Inara sambil tangannya sibuk membuat sandwich. "Padahal petualangan baru dimulai."
"Aku tidak menyesal, cuma kapok. Pengalaman ini sudah cukup bagiku."
"Nah, ini yang mau aku tanyakan sama kalian," tukas Jonan. "Aku benar-benar tidak mengerti sampai saat ini. Dunia kalian adalah dunia hura-hura, kenapa tiba-tiba saja ingin masuk ke dunia kura-kura seperti yang kalian bilang selama ini? Meninggalkan pacar, clubbing, meriahnya pesta."
Percakapan berhenti. Raka dan Oldi datang habis mandi di air terjun. Oldi langsung pergi ke belakang menjemur handuk dan celana basah miliknya, punya Raka juga.
"Kalau mau mandi, mumpung masih pagi," kata Raka. "Siang sedikit pasti ramai."
Maysha bengong. "Ramai? Berarti banyak orang kesasar? Kok bisa?"
"Ada bulenya?" Kirei penasaran. "Yang kayak Nick?"
Kirei sepertinya belum bisa move on dari pria bule itu. Di setiap ada kesempatan nama itu meluncur dari bibirnya.
Kepergian Nick menimbulkan teka-teki di hatinya. Ada tawaran dari klub lain untuk atlet sepak bola itu, berkompetisi di liga utama juga. Tapi Nick susah dihubungi, baik oleh klub itu maupun Kirei. Apa dia ingin meninggalkan dirinya tanpa ucapan selamat tinggal?
"Siang sedikit monyet-monyet pada mandi."
Raka masuk ke dalam tenda, mengambil perlengkapan di dalam carrier. Pagi ini dia akan pergi mencari sinyal. Inara masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, dua piring lagi.
"Tidak ada yang bantu?" tanya Raka basa-basi. "Tega banget."
Raka kagum pada Inara. Gadis itu pandai menyiapkan menu sarapan, terlepas dari enak atau tidaknya. Dia biasa dilayani segala keinginannya. Sepatu dan kaos kaki pun diambilkan oleh asisten rumah, padahal lemari sepatu ada di kamarnya. Hutan ini telah mencetak sebuah kepribadian baru.
"Giliran," sahut Inara sambil sibuk bekerja.
"Jangan-jangan pacar juga giliran."
"Asal."
"Tapi ada kan?"
"Bukan aku."
"Beruntung si Jimy."
"Si Lola juga."
"Kalau si Jimy dan si Lola beruntung, berarti kalian sama-sama rugi dong?" komentar Oldi yang baru masuk. "Kenapa kalian tidak jadian saja siapa tahu sama-sama untung?"
"Bisa perang Puputan sama si Lola."
"Biasa kan?"
"Tapi tidak untuk cowok luar biasa." Inara melirik sekilas. Raka kelihatan tenang-tenang saja. Pemuda lain bisa tergelincir mendapat pujian dari puteri kampus, meski cuma bercanda. "Eh, maksudku cowok ini biasa di luar."
"Di luar apa maksudnya?"
"Di luar hati aku karena sudah ada si Lola di hatinya."
"Raka sebenarnya belum memberi jawaban."
Inara tampak surprise. "Jadi si Lola nembak duluan?"
"Begitulah kira-kira."
"Cowok ini belum ngasih jawaban kenapa?"
"Tanya saja sendiri sama orangnya."
"Tidak berani."
"Puteri kampus masa tidak berani?"
"Sesuai dengan namanya puteri kampus, berarti puteri di kampus, bukan puteri di hatinya kayak si Lola."
"Tahu dari mana si Lola ada di hatinya?"
"Jadi masih ada peluang?"
"Sudah bosan sama si Jimy? Dasar! Kamu ganti pacar kayak ganti baju."
"Maksudku buat si Kirei. Kasihan bulenya tidak pulang-pulang."
Sekali lagi Inara melirik ingin tahu reaksinya. Tapi Raka sepertinya tidak mendengarkan.
Raka sibuk berkemas-kemas. Dia memasang sangkur di pinggang, kemudian veldples. Ponsel GSM dan satelit dimasukkan ke saku celana. Dia ambil kompas di kantong carrier, melihatnya, jarum kompas berputar kencang. Raka mengerutkan dahi.
"Rusak?" selidik Oldi ingin tahu. "Inara kan beli yang paling bagus. Tenda juga."
"Coba kamu lihat jemuran di belakang."
Oldi segera pergi. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya, "Jemuran hilang!"
"Relakan saja," sahut Gilang santai. "Paling diambil gorila yang kemarin."
"Kotak peralatan mandi juga!"
"Lagi kenapa kamu taruh di luar?"
Jarum kompas normal kembali. Tanpa banyak berpikir, Raka simpan di kantong celana. Tapi Inara tidak bisa dikelabui. Gadis itu seolah hapal setiap gerak-geriknya.
"Ada apa sebenarnya?" tatap Inara curiga. "Bukan gorila kan yang mengambil?"
"Tahu dari mana bukan gorila?"
"Jangan membohongi aku."
"Aku itu tanya. Membohongi apanya?"
Melihat Raka seperti tidak ingin membahas kejadian itu, Inara terpaksa diam, padahal hatinya sangat penasaran. Ada sesuatu yang coba disembunyikan oleh pemuda itu. Apa ada hubungannya dengan kejadian semalam? Dia tak mau bercerita karena mereka pasti ketakutan.
Inara sudah selesai dengan tugasnya dan berseru, "Sarapan sudah siap."
Mereka berdatangan dan duduk mengelilingi meja. Raka, Jonan, dan Oldi langsung santap roti bagiannya. Inara dan kedua temannya memotong-motong roti terlebih dahulu menggunakan pisau dan garpu, kemudian menyantapnya.
"Lumayan juga," puji Raka. "Tidak memalukan kalau ingin jualan online."
"Tumben memikirkan peluang bisnis," sindir Kirei. "Biasanya di kepalamu cuma ada gorila."
"Belajar dari orang rumah," kata Inara. "Soalnya tidak ada kafe di hutan."
"Ada kedai di posko," sela Oldi. "Masakannya yummy juga."
"Kamu bandingkan saja dengan masakan aku nanti. Mana yang lebih enak?"
"Mestinya belajar juga dari orang rumah bagaimana cara mengatasi rasa takut," komentar Raka. "Jadi malam nanti tidak heboh karena takutnya."
Inara keki. "Takut apa? Takut jatuh cinta sama kamu atau apa? Kalau ngomong yang jelas!"
"Takut jatuh cinta sama gorila!" sambar Oldi asal.
Raka memandang Jonan dan berkata, "Sementara aku pergi, kamu bisa ajak mereka jalan-jalan, pemandangannya lumayan indah."
"Aku pengen mandi dulu," potong Maysha. "Badanku sudah tidak karuan rasanya."
"Tidak takut gatal-gatal?" sindir Raka. "Salep alergi susah belinya di sini."
"Jangan meledek."
"Modus," kicau Oldi. "Bilang saja ingin mandi bareng sama Jo."
"Kapan kira-kira balik lagi?" tanya Jonan.
"Aku coba cari sinyal di daerah selatan. Kalau aku tidak pulang sore nanti, berarti pergi ke basecamp ambil perahu cadangan. Besok pagi aku tunggu di pohon tumbang."
Inara menatap Raka dengan khawatir. "Kalau tidak sesuai rencana, bagaimana?"
"Maksudnya aku mati di jalan? Tidak kembali?"
"Ada komentar yang lebih enak didengar?" sambar Inara ketus. "Kamu mati, aku mati kelaparan di sini."
"Kirain mati karena cinta," goda Oldi.
"Jo tahu apa yang harus dilakukan," kata Raka. "Kalau aku tidak kembali, dia akan membawa kalian keluar dari hutan ini senyaman naik pesawat kelas VVIP."
"Lebay."
Raka meneguk susu sampai habis, lalu bangkit dan berjalan menuju ke pintu tenda. Inara menyusul dan menyodorkan kantong plastik berisi lunch box.
Raka berhenti melangkah. "Apa ini?"
"Buat makan siang."
"Makan siang banyak di jalan."
"Makan apaan di jalan?"
Inara biasa melihat hidangan yang tersaji di meja makan. Jadi tidak terpikirkan olehnya banyak makanan di hutan yang bisa disantap untuk bertahan hidup.
"Jangan mendadak perhatian. Aku pergi bukan ingin meninggalkan kamu."
"Cape-cape aku bikin jawabannya seperti itu." Inara merengut manja. Tatap matanya perlahan terangkat. Mereka berpandangan. Terpaksa Raka ambil kantong plastik dan membawanya pergi.
Pemuda itu tiba-tiba saja merasa seperti anak TK, pergi bawa bekal. Tapi apa boleh buat. Dia tidak tega mengecewakan perempuan, kecuali satu...cinta.
"Hati-hati," seru Inara sebelum Raka hilang dari pandangannya.
Inara kembali ke meja lingkar, minum susu seteguk, kemudian melanjutkan sarapan.
"Benar-benar kejadian," kicau Oldi. "Padahal aku cuma bercanda."
"Kejadian apaan?" tanya Inara acuh tak acuh.
"Baru beberapa hari tidak ketemu si Jimy sudah coba-coba."
"Coba-coba apaan?"
"Kalau si Jimy tahu, bisa rame dah."
"Si Jimy percaya pacarnya tidak bakalan selingkuh," kata Jonan.
"Soalnya tahu Raka tidak suka perempuan, kecuali aku." Oldi mengedipkan sebelah mata ke Kirei.
"Jadi lain rasanya sandwich," gumam Kirei.
"Aku tidak percaya Raka tidak suka perempuan," sanggah Maysha. "Belum ada yang cocok saja kali."
Oldi memandang gadis itu dengan penuh cemooh. "Terus cocoknya jadi selingkuhan? Enak saja temanku jadi serep!"
Maysha memasukkan potongan sandwich ke mulutnya. "Aku tidak mengatakan Raka cocok jadi serep. Laki-laki sehebat apapun butuh cinta."
"Cinta Raka tidak dilelang. Kamu sama Jo, nah, baru. Mengobral cinta ke mana-mana ujungnya ketemu juga di pelaminan."
Inara tersenyum. "Tahu sih? Mantan paranormal ya?"
"Jangan asal deh," semprot Maysha.
"Tapi berharap, kan?" Inara menyantap potongan roti dengan santai. "Doa yang terbaik buat kamu."
Maysha diam. Percuma dilayani, Inara malah makin reseh. Dia mencuri pandang ke arah Jonan. Pemuda itu kayaknya tidak peduli dengan obrolan mereka.
Selesai santap pagi, mereka pergi mandi ke air terjun. Oldi kebagian jaga. Keamanan perbekalan adalah yang paling penting saat ini. Mereka bisa mati kelaparan kalau ada yang mencuri.
Jujur Jonan kagum kepada gadis-gadis metropolis itu. Mereka cepat sekali beradaptasi, seolah sudah biasa menginjak daun basah dan melihat binatang kecil yang ditemukan di jalan, tidak merasa jijik atau takut, padahal menginjak tanah saja barangkali belum pernah. Mereka jadi lebih cepat sampai di tujuan.
Pemandangan di sekitar air terjun sangat indah. Sinar matahari yang tersaput mega membuat suasana jadi sendu.
Burung-burung berkicau meramaikan pagi, beterbangan di antara pepohonan sekitar telaga. Air yang jatuh dari puncak tebing terdengar bergemuruh, membentuk sebuah telaga, limpahan air telaga mengalir ke sungai bebatuan.
Sebuah tanaman pemangsa serangga memasang perangkap dengan daun terbuka lebar. Tanaman itu berada di antara bunga-bunga hutan. Seekor serangga datang, mendengung berputar-putar dan hinggap, serta merta daun itu menutup.
Tapi bukan itu yang menarik perhatian Jonan. Ada sesuatu yang cukup aneh di balik tanaman itu. Dia tidak ingin mereka melihatnya, timbul pertanyaan macam-macam jadi repot.
"Kalian duluan," kata Jonan. "Hati-hati turunnya."
Mereka pergi menuju ke turunan tebing yang tidak begitu curam. Turunan itu berupa batu sebesar kepala yang tersusun secara alami.
"Eh, Rei," panggil Jonan tiba-tiba.
Kirei berhenti melangkah dan menoleh. "Apaan?"
"Maaf, pembalutnya jangan buang sembarangan. Lebih baik bawa pulang, bakar."
"Tahu dari mana aku lagi dapet?"
"Kemarin sore kamu buang pembalut ke lembah. Terpaksa aku ambil karena mengotori hutan."
Wajah Kirei meranum. Tanpa berkata apa-apa, gadis itu menyusul temannya menuruni tangga tebing.
Jonan berjalan ke tanaman pemangsa. Di dekatnya tergeletak bangkai seekor serigala. Lehernya tergorok dengan sayatan yang aneh, sama seperti bangkai serigala malam tadi.
Jonan merenung. Ada yang merasa terganggu dengan serigala ini sehingga perlu dilenyapkan. Apa yang terjadi dengan hutan ini? Siapa yang telah melakukan pembantaian secara keji itu?
Burung-burung berkicau meramaikan hutan. Suara binatang lain sesekali terdengar menyemarakkan suasana. Seekor harimau muncul dari rumpun semak dan mengaum keras. Burung-burung berhenti berkicau. Beberapa kera kecil yang bermain di tanah terkaing-kaing kabur ke atas pohon. Hutan mendadak sepi. Harimau itu berjalan dengan lambat melewati pepohonan. Di suatu tempat, dia mendongak ke sebuah dahan rindang seperti melihat sesuatu. Makhluk misterius bersembunyi di balik rimbunnya daun. Suara tarikan nafasnya yang ganjil dan menyeramkan terdengar sayup-sayup. Harimau itu terpaku diam. Matanya memandang dengan gentar. Makhluk tak kasat mata itu melompat turun dari dahan, berjalan mendekat secara perlahan. Suara tarikan nafasnya terdengar semakin nyaring. Tiba-tiba harimau kabur ketakutan, berlari sekencang-kencangnya menuruni lereng menuju ke lembah. Kejadian itu terlihat oleh Raka di kejauhan. Matanya memicing mencoba melihat lebih
Raka berlari dengan cepat menerabas semak-semak. Dia berharap Jonan menyadari adanya bahaya besar ini sehingga waspada terhadap ancaman yang muncul sewaktu-waktu. Mereka mendirikan tenda di area terbuka. Raka mulanya berpikir lokasi itu aman dari serangan binatang, tapi kemudian menjadi kesalahan besar karena mereka menjadi sasaran empuk orang-orang bersenjata. Makhluk ganas itu adalah ancaman yang paling serius. Dia bisa datang dan membantai mereka kapan saja. Situasi di sekitar tenda terang benderang karena hari ini cuaca sangat cerah, sehingga mereka tidak dapat melihat kemunculan makhluk itu. Hutan jinak ini jadi demikian liar karena kehadiran orang-orang mencurigakan dan makhluk ganjil itu. Mereka membuat wisatawan yang tersesat tidak bisa keluar hidup-hidup dari hutan ini. Raka memilih jalan yang tidak mudah dilewati, daerah yang kemungkinan kecil mereka jelajahi. Dia ingin menghindari kontak senjata dengan orang-orang asing itu sehingga tidak m
Sebuah dahan kering tampak patah menggantung. Dahan itu berpangkal pada pohon tua yang tumbuh menyendiri di tepi jurang. Ada dua dahan lagi di atasnya berdaun jarang. Sayup-sayup terdengar suara tarikan nafas ganjil dan menyeramkan. Makhluk itu berada di dahan kedua. Daun bergerak searah secara halus tertiup hembusan nafasnya. Seekor serigala muncul dari sebuah rumpun semak. Dia menggeram dengan mata mencorong tajam ke dahan itu, lalu kepalanya mendongak ke langit dan melolong panjang. Makhluk tak kasat mata itu merasa terusik. Dia mengerang marah dengan suara yang sangat menyeramkan. Kemudian turun dari atas pohon dengan menggelosorkan tubuh. Kulit batang berkelupasan dan berjatuhan ke jurang. Makhluk itu berkelebat melintasi rerumputan memburu serigala. Rumput hijau itu bergerak searah secara bergelombang terkena sambaran angin pergerakannya. Serigala berlari sekencang-kencangnya berusaha meloloskan diri dari perburuan. Makhluk i
Jonan dan Raka menggenggam senjata siap tembak sambil berjalan agak cepat. Mata kedua pemuda itu mengamati sekeliling dengan waspada. Mereka berada di daerah terbuka, terdapat sedikit semak-semak. Ancaman bisa datang dari berbagai penjuru. Mereka harus melewati wilayah ini secepatnya. Gadis-gadis metropolis itu mulai kelelahan, keringat membasahi wajah, nafas sengal-sengal. Kaki mereka sudah lemas. Kirei kelihatan paling parah. Dia berjalan gontai. "Aku tidak kuat lagi." Kirei duduk di akar pohon yang menonjol panjang di permukaan tanah, Maysha dan Inara juga. Mereka mengatur nafas yang terengah-engah. "Istirahat sesukanya," kata Raka dengan mata mengawasi ke setiap penjuru. "Terima kasih." "Sesukanya pula makhluk itu menyantap kamu kapan saja." "Katanya dia ada di lereng selatan," sahut Maysha. "Sekarang tiba-tiba saja ada di lereng utara, sebenarnya di mana dia tinggal?" "Tanya sendiri sana alamatnya di mana," sambar
Perjalanan ini jadi lambat karena gadis-gadis metropolis itu. Raka tidak bisa memaksa mereka untuk berjalan lebih cepat. Mereka belum terbiasa menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Biasa naik-turun mobil. Perjalanan semakin lambat karena medan yang dilalui cukup sulit. Padahal bahaya tidak bisa menunggu. Raka terpaksa harus berani mengambil risiko memilih jalur yang tidak banyak rintangan, berjalan di area terbuka. Dia memasang kelima inderanya baik-baik untuk menghadapi ancaman yang sewaktu-waktu datang dari segala arah. Sungguh situasi yang tidak menyenangkan. Mereka berada di bawah perlindungannya, tapi tidak dapat melaksanakan strategi yang diterapkan karena keterbatasan fisik. Dia berharap keberuntungan menaungi mereka. Inara dapat memahami situasi pelik ini. "Aku tidak ingin jadi beban. Kamu lakukan apa yang kamu bisa. Seandainya aku harus kehilangan nyawa di hutan ini, jangan jadi penyesalan di kemudian hari." "Aku tidak akan membiarkan itu
Daerah ini merupakan kawasan pepohonan dengan akar bersembulan di permukaan tanah dan tidak banyak ditumbuhi semak. Malam sudah mulai turun. Tapi masih kelihatan jalan yang dilalui. Raka berjalan sambil mencari lokasi yang cukup aman untuk bermalam. Mereka tidak mungkin melakukan perjalanan di malam hari, risikonya terlalu besar. Lagi pula mereka butuh istirahat. Inara sekali-sekali melihat kompas yang tergantung di leher. Jarum kompas bergerak normal mencari arah kutub. Manusia plasma berarti tidak berada di sekitar mereka. Tapi bukan berarti mengurangi kewaspadaan. Kompas itu akan menjadi kenangan terindah yang mengisi lemari koleksi seandainya mereka diberi kesempatan untuk pulang ke rumah dengan nyawa melekat di badan. Inara selalu menyimpan pemberian Raka sekecil apapun. Dia yang membeli kompas itu, tapi menjadi kenangan manis karena pemuda itu yang mengalungkan ke lehernya. Dia tidak akan mengganti tambang kecil dengan kalung berlian karena just
Bulan purnama menerangi sungai yang dipenuhi batu besar. Bayangan bulan terombang-ambing di permukaan air yang mengalir deras lewat sela-sela bebatuan, suaranya bergemuruh. Sungai itu berada di antara dua tebing curam. Di atas tebing, seekor serigala berdiri pada batu karang yang menonjol tinggi dengan pandangan terarah ke hilir sungai. Kemudian binatang itu mendongak ke langit dan melolong panjang dengan suara yang sangat menyeramkan. Sesosok makhluk tinggi besar muncul dari hilir sungai. Sosok itu begitu aneh, terdiri dari sekumpulan cahaya. Bentuknya tidak kelihatan jelas karena bergerak sangat cepat, sehingga yang terlihat hanya silhouette yang melompat dari satu batu ke batu lain seperti belalang. Serigala di atas batu karang sekali lagi melolong panjang meningkahi gemuruhnya air sungai. Suara lolongan itu pertanda adanya bahaya bagi kawanan binatang itu, dan terdengar jauh sehingga mendapat sambutan dari beberapa tempat yang berbeda. Inara dan M
Permukaan tanah di kawasan ini tertutup daun mati yang tebal dan lembab, sedikit sekali rumpun tanaman perdu dan semak. Kaki Inara menginjak daun itu dengan hati-hati sambil menjinjing dua tas daypack, berjalan mengendap-endap mendekati tempat manusia plasma berada. Karena cintanya, Inara rela jadi umpan dan timbul keberanian untuk mengarungi jalan yang gelap ini seorang diri. Di rumah listrik padam saja panik, padahal cuma sekian menit karena generator bermasalah, seisi rumah heboh. Inara tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun karena akan berakibat fatal, kematian. Dia sebenarnya takut, kegelapan membuat pikiran berfantasi sehingga langkah sedikit bergetar. Dia belum pernah merasakan situasi yang menegangkan begini di dunia gemerlapnya. Inara berusaha mengendalikan rasa takut. Dia percaya Raka mengawasi setiap langkahnya. Pemuda itu pasti tidak membiarkan kalau terjadi sesuatu dengan dirinya. Ada dorongan kuat datang dari cinta untuk membukti