Jiwa Dev memasuki portal gaib, mengarungi dimensi lain. Sepasang gendang telinga melanglang buana dalam ceruk suara aneh. Tengkuk pemuda itu meremang merasakan energi negatif sedang mengelilinginya. Sebuah kabut tebal menerjang mata. Dev hanya bisa melihat sekumpulan pohon aneh yang seolah memiliki roh. Ia menjatuhkan pandangan ke sepatunya yang bergetar. Sebuah kejanggalan terlihat, getaran itu bukan bersumber dari efek hatinya yang gelisah, tetapi berasal dari tanah gembur yang menjadi pijakannya.
Bergerak-gerak, tanah yang ditumbuhi rumput belukar tersebut memperlihatkan retakan di sepanjang penglihatan. Belahan mengerikan yang hampir menelan tubuhnya itu menganga mengeluarkan asap panas, lalu menyempit kembali dalam durasi yang cepat. Mengerang, Dev merasakan seperti terpanggang di atas tungku sekaligus terhimpit.
“Argh!” Bola mata Dev berkilat-kilat, pemuda itu dapat mendengar tulang belulangnya berbunyi serupa instrumen musik.
Sebuah tawa mengg
“Kau apakan wajahku?” Dev meraba wajah dengan keterkejutan yang bergelimang. Merasa sangat asing dengan sosok yang memantul di cermin. Tidak pernah terlintas bahwa ia akan mengalami hal sepahit ini.“Jangan terkejut! Patutnya kau bersyukur karena kerusakan itu masih bisa diperbaiki,” ujar Joana.“Hah!”“Duduklah aku akan mengobati telingamu!” Joana sedikit memaksa menggunakan dorongan kecilnya, lalu dengan sigap mengurus semuanya.“Aku akan memesan makanan untukmu, setelah itu kau harus beristirahat. Besok pagi perban ditubuhmu harus dibuka.” Dev hanya melirik sekilas perempuan yang berada di sampingnya. Tak berselera untuk berbicara walau hanya sepatah kata.Beberapa saat jarum jam berputar, dokter cantik itu keluar setelah memeriksa keadaan Dev yang mulai membaik, dan meninggalkan makanan yang baru saja datang. Dev menatap penuh arti makanan yang terhidang. Entah apa lagi yang mengganggu
Musik rock menyala di ponsel Devada. Perempuan transgender tersebut menilik sebuah nama pada layar panggilan. Mark Paulus—polisi yang membuat janji temu tak henti-hentinya membuat gangguan. Me-reject adalah pilihan yang tepat, sebagai ganti untuk membungkam ponselnya yang berisik, chat pribadi dipilih sebagai alternativ.“Jangan takut aku tidak akan datang, sebentar lagi kau boleh menjemputku! Saat ini aku sedang bersiap-siap.” Klik send, centang dua berubah biru dengan cepat.“Baiklah gadis cantik. Aku harap kau tidak macam-macam denganku.” Sebuah kalimat bernada ancaman, Devada membalasnya dengan senyuman miring tanpa berniat melanjutkan obrolan.Jam sembilan malam, Joana belum juga datang. Ia memeriksa ponsel, sebuah chat masuk tiga menit yang lalu. Nomor asing yang mengakui dirinya sebagai Teresia—asisten pribadi Joana mengabarkan bahwa dokter berwajah Timur Tengah itu belum bisa datang karena sedang melakuka
Di Paranoa Lake, Nick dan Jess mencumbu indahnya sunset di tepian. Mengulang masa indah yang pernah mereka lakukan. Di sinilah Nick, kembali menuai keyakinan terhadap cinta Jess yang sejatinya tidak pernah mati. Rasa cinta wanita itu hanya tertidur selama beberapa waktu, di sepanjang gelora panasnya sebuah angkara yang tidak sengaja lahir dari keteledoran.Sudut kecil hati Nick bermekaran menyaksikan sinar tawa sang istri menyatu dengan ranumnya langit. Tawa kecil serupa aurora yang mampu membuat lelaki itu merasa bahwa dialah suami terbaik. Walaupun pada kenyataannya, sayatan elegi yang sempat meraja mungkin tidak akan pernah hilang, dan bekasnya akan terus terpatri dalam sebuah memori.“Nick!” Sebuah suara memalingkan mereka.“Hai, Michele!” Jess tersenyum melihat sosok penuh jasa berdiri di belakang mereka.“Halo, Jeselyn! Em … maksudku Jessy!”“Apa aku menganggu kalian?” Miche
“Putri Tuan, terakhir kali bekerja di Jeda. Hanya satu hari, kemudian perusahaan kehilangan kabar.” Casio berujar. Tanpa memberikan respon, Nick menyalakan Combat Motor meninggalkan Casio sendiri di halaman. Wraith yang ditunggangi meraung di sepanjang legamnya aspal. Nick tahu ke mana dia akan pergi saat ini.Tiba di gedung green brown, Asa Sul, Nick menghentikan motor kesayangannya. Di sana tampak seorang wanita yang melihat Nick seperti hantu. Bahkan, perempuan yang masih mengenakan pakaian tidur itu menggosok mata berkali-kali. Meyakinkan diri bahwa apa yang dilihat tidaklah salah.“Nick! Apa aku tidak salah lihat?” Wanita bergelung tersebut tergopoh-gopoh hanya untuk menepuk kedua pipi Nick.“Ya, seperti yang kau lihat, Joan!” tekan Nick seraya menurunkan tangan kecil yang menyentuh pipinya. Lelaki itu tidak menyukai ada tangan wanita lain yang menyentuhnya.“Masuklah!” ajak Joan. Sementara Nick duduk d
“Jess!” Nick tercengang melihat istrinya yang tiba-tiba muncul. Akan tetapi, ekspresi wajah Devada mungkin lebih menegangkan.“Mommy!” Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut Devada. Pasangan suami istri tersebut tidak mengerti dengan sikap gadis itu, terlebih dia tiba-tiba memeluk Jess. Menyadari situasi tidak lagi sama, Devada menarik tubuhnya dari Jess.“Maaf, Nyonya Jess, aku tidak bermaksud lancang. Aku hanya teringat dengan mommy-ku,” terang gadis itu menyesal. Jess yang semula ingin marah, kemudian melebarkan senyum.“Kau mengenalku? Siapa namamu, Sayang?” tanya Jess dengan penuh kelembutan. Bergeming, wajah Devada semakin mendung. Gadis itu merasa cemburu mengingat perlakuan Jess yang tidak manusiawi kepadanya, bahkan kepada Elfara. Jika tidak mengingat apa tujuannya, ia akan memilih pergi saat ini juga.“Aku Devada!” ucap gadis itu, kemudian Jess menghampiri Nick, dan membisikkan sesuat
“Callin!” Terlihat Joana sedang menghampiri dengan tubuh terbalut selendang, sedangkan pemuda itu menoleh dan mengurungkan niatnya.“Suara apa tadi?”“Aku tidak tahu! Mungkin kucingmu!” Lelaki itu beralih pandang ke kucing abu-abu yang tengah bermain benang.“Oh!” Dengan gaya wanita penggoda, dokter cantik itu memeluk penuh gairah.“Kau ingin kita meneruskannya di sini?”“No! Di tempat yang tadi saja!” Dia berkata seraya mengulum bibir Joana. Setelah itu mereka lenyap dari pandangan. Melanjutkan jerat gairah yang terjeda.Devada membuang napas berkali-kali, merasa aneh dengan hubungan mereka berdua. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, dia bergegas mengambil ponselnya setelah itu kembali ke kamar. Semua tempat tak luput dari pemeriksaan, tetapi tidak menemukan apa-apa. Ada satu tempat yang terbesit di pikiran. Apartemen ini memiliki banyak ruang, tujuannya saat ini adalah gud
Nick mengalihkan pandangannya pada Devada, dan mendapati mata gadis itu memerah menahan tangis. Sebuah kondisi yang menjerumuskan Nick ke dalam tanda tanya yang besar. Pria itu ingin mengetahui kelanjutan kata-kata yang terpenggal, tetapi gadis itu meneruskannya tanpa diminta. Devada berkata, “Dialah yang sudah membunuh Dev!” Mata Nick membulat dengan sempurna mendengar pernyataan yang serupa sengatan petir. Luruh sudah pertahanan Nick sebagai laki-laki yang perkasa.“Apa yang kau katakan?” Nick mengguncang bahu Devada, sedangkan perempuan itu hanya bergeming. Tak menampik perlakuan yang terbilang kasar.“Dia yang sudah menculik Dev, bahkan memperkosanya. Dia Callin, anak kandungmu sendiri dengan wanita lain!” Lutut Nick tersimpuh mencium lantai. Kenyataan yang terbongkar ternyata tak cukup untuk menusuk-nusuk gendang telinganya. Nick harus mendapati kenyataan yang lebih menyakitkan daripada dicambuk seribu kali di tiang gantungan.
Sosok laki-laki berkulit gelap muncul dari ambang pintu. Aura bengis seketika menyeruak, membangkitkan suhu ruang yang panasnya sedikit mereda. Dialah Ezhar, ahli kejahatan yang pandai berkamuflase dalam jubah kebaikan. Dialah yang memiliki andil besar terhadap rusaknya keluarga Erhan, dan pembunuh komunitas Kingdom. Devada menatap nyalang manik legam yang mengintainya. Pasti dialah yang sempat dihubungi oleh Joana sebelum wanita itu tergeletak membawa beban dosa. “Wow, kelinci tak bertaring sepertimu ternyata pandai membunuh!” sarkasnya. Bibir Devada masih mengatup, sengaja menunggu apa lagi yang akan dikatakan oleh polisi bermuka dua tersebut. “Kau boleh menang melawan mereka. Akan tetapi, jangan lupa kalau kau hanya remah-remah racun berkualitas rendah yang hidup di bawah payung hukum!” Ezhar mengikis jarak yang terbentang, lalu sebuah borgol dia pasang pada tangan Devada. Gadis tersebut tidak berupaya untuk mengelak, justru senyum penuh ejek tersungging di bibirn