Akhirnya, dengan segala macam mainan yang dibeli, si kembar tiga mau pulang bersama dengan Sebastian di rumah mereka.Sungguh kali ini mereka merontokkan semua isi dompet Papanya. Namun hal itu bukan masalah untuk Sebastian, toh kerja kerasnya juga ia berikan untuk anak dan istrinya. "Sudah tidak marah lagi sama Papi?" tanya Shela mendekati anak-anak yang membuka beberapa kotak mainannya."Masih lah, Mam!" jawab Tino. "Tiana sudah tidak," jawab anak perempuan itu tersenyum manis. Shela menoleh pada Tiano. "Tiano?" "Marahnya tinggal seperempat, Mam." "Haaahhh..." Shela mengembuskan napasnya kasar. Sedangkan Sebastian berdiri bersedekap di depan sofa menatap tiga anaknya yang asik sendiri. Setidaknya mereka mau pulang, itu sudah lebih dari cukup. Shela menatap seisi rumah, Bibi libur selama dia pergi hingga beberapa meja kayu di sana nampak berdebu. Bunga-bunga hias juga layu dan kering. "Mau ke mana?" Sebastian menarik lengan Shela. "Mau mengganti bunga-bunga ini. Aku carikan
Beberapa hari kemudian...Malam datang dengan cepat, Sebastian baru saja pulang pukul dua dini hari. Laki-laki itu masuk ke dalam rumah menenteng tuxedo hitamnya dengan wajah lelah. Begitu pintu terbuka, dia melihat Shela yang berdiri di ujung atas lantai dua. Wanita itu menunjukkan wajah cemas seperti hari-hari kemarin menunggunya. "Sayang, kenapa belum tidur?" Sebastian mendekati Shela. Wanita itu mendongak untuk menjangkau tatapan sang suami. "Kenapa pulang selarut ini?" tanya Shela menatap Sebastian. "Sebenarnya sudah selesai pukul sepuluh tadi, tapi yang lainnya masih ada di sana." Sebastian menjawab dengan mudah. "Anak-anak menunggumu, mereka tidur pukul sebelas. Kau lupa ingin tidur bersama mereka, jadi mereka terus menunggumu." Shela berjalan di belakang suaminya. "Oh... Ya ampun," ucap Sebastian baru teringat. Rasa kesal menjalar di hati Shela, ia tidak tahu apa yang ada dalam otak suaminya ini. Shela merasa amat kecewa dengan tindakan Sebastian. Dan laki-laki itu ki
"Pekerjaan tidak pernah beres! Bisa-bisanya kalian kehilangan beberapa laporan penting bulan ini!" Suara amarah menggelegar di dalam ruangan meeting. Sebastian melemparkan sebuah berkas ke atas meja dengan wajah lelah dan kesal. Kecerobohan seorang karyawannya yang kehilangan beberapa rangkaian file penting untuk meeting penting beberapa waktu ke depan. "Aku tidak mau tahu, dalam waktu dua hari, file itu sudah kembali dirangkai dan aku tidak mau mendengar alasan kalian semua!" amuk laki-laki itu dengan napas terengah. "Baik Pak..." Semua karyawannya mengangguk dengan kepala tertunduk. Tatapan Sebastian tertuju pada Gavin. "Tolong kau atasi mereka, aku sudah pusing!" seru Sebastian. Laki-laki itu langsung melenggang keluar dari dalam ruangan meeting. Sebastian berulang kali mengumpat kesal. Sampai akhirnya Vir yang baru saja datang dari luar kota, laki-laki itu mendapati sahabatnya dengan muka stress. "Wahh, kenapa Boss?!" Vir terkekeh mengejek dan menepuk pundak Sebastian. "
Saat pagi tiba, Sebastian bangun dari tidurnya dengan kepala yang terasa pening. Di sampingnya Shela meringkuk menjadikan lengannya sebagai bantal. Sebastian pun kembali memeluknya, mengecup pundak Shela yang terekspos. "Sayang, kau tidak bangun?" bisik Sebastian mengusap pipi Shela dan mengecupnya. "Aku masih ngantuk," jawab Shela membalikkan badannya. Sebastian terkekeh pelan, dia kembali memeluk lagi tubuh istrinya dan mendusal seperti anak kecil. Shela lantas membuka mata. Sifat manja seorang Sebastian Morgan hanya dirinya lah yang tahu, selebihnya laki-laki ini memang mudah emosi dan sosok yang keras kepala tanpa ada yang berani menentangnya. "Aku merindukanmu," bisik Sebastian mengecupi pipi kiri Shela terus menerus. Shela tahu, dia merayunya. "Dan aku tidak," jawab Shala menatap sang suami. Laki-laki itu tersenyum, dia mengusap kening Shela dan mendekatkan wajahnya. Kedua telapak tangan Shela membelai pipi Sebastian. "Aku sedang tidak ingin bercinta, jangan merayuku,"
Tidak akan pernah ada kata cerai dan berpisah dari Sebastian untuk Shela. Dia mengakui kalau dirinya yang mencintai Shela lebih dari apapun. Sebastian menjelaskan mati-matian pada Mamanya dengan penuh ketegasan kalau dia tidak akan menceraikan Shela apapun masalahnya. Bahkan Monica langsung pulang setelah Sebastian menegaskan tidak akan meninggalkan Shela. "Sayang..." Suara Shela membuat Sebastian menoleh. Laki-laki itu tersenyum melihatnya. Dia melambaikan tangan meminta Shela masuk ke dalam kamar. "Aku pikir kau sedang melanjutkan pekerjaanmu di bawah," ujar Shela, dia naik ke atas ranjang dan tersenyum manis. "Tidak. Aku kan sudah bilang, nanti saja." Sebastian menarik pinggang Shela hingga wanita itu duduk di sampingnya. Shela menjadikan pangkuan Sebastian sebagai bantalnya, wanita itu asik membaca buku yang baru saja dia beli. Menatap wajah ayu istrinya, entah kenapa sahabatnya di kantor, Vir dan Gavin sering kali menakut-nakuti Sebastian kalau Shela yang usianya terpaut h
Kejadian pagi tadi membuat Shela tidak betah di rumah. Wanita itu kini pergi dengan nekat tanpa pamit pada Sebastian. Shela datang ke toko rotinya, dia ingin bertemu dengan Morsil dan menangis kepadanya, di antara semua orang, hanya Morsil lah orang yang paling tahu kondisi Shela. "Ada apa Shel, kenapa datang-datang menangis seperti ini?" Morsil menatap Shela yang kini duduk di sofa belakang. "Kau bertengkar ya, dengan Sebastian?" "Iya. Aku beberapa hari ini memang bertengkar terus dengannya, Morsil," ujar Shela dengan nada sedih. Wanita itu mengembuskan napasnya pelan, tatapannya menjadi sendu. Morsil mengusap pundak Shela dengan lembut. "Shela... Cerita saja padaku. Ada apa, hem?" "Aku kesal dengan Sebastian, Morsil. Dia tidak pernah mengerti perasaanku, dia tidak seperti dulu lagi." Morsil melotot mendengarnya. "Ma-maksudmu, dia selingkuh?!" pekik wanita itu dengan nada meninggi. Shela pun cepat menggeleng. "Tidak, Sebastian laki-laki yang sangat mencintaiku. Tapi dia sala
Shela turun dari dalam sebuah bus kota, dia membawa tas punggungnya dan berjalan membawa selembar kertas. Gadis itu kini menginjakkan kakinya di London, dia pulang ke rumah milik Morsil yang berada di tengah-tengah kota London. "Wahh, Morsil punya rumah sebagus ini," gumam Shela tersenyum tipis. Shela mengetuk pintu rumah itu, dan pintunya terbuka. Nampak seorang wanita tua yang membuka pintu tersebut. "Shela, temannya Morsil ya?" tanya wanita itu. Shela mengangguk dan tersenyum manis. "Iya Nek, Morsil sudah menghubungi Nenek kalau Shela akan menginap di sini sampai beberapa hari?" tanya Shela. Wanita tua bernama Clair itu mengangguk. "Ya, dia menghubungiku, dia bilang aku akan punya teman baru selama beberapa hari. Ternyata Shela yang cantik ini yang menemaniku..." Shela tersenyum manis, untuk ketiga kalinya Shela bertemu dengan wanita tua ini. Dan dia tetap masih sama, perhatian dan sayang pada Shela. "Mari nak masuk, biar pembantu Nenek yang membawakan tasmu. Kau pasti cape
"Mami... Mami di sana sudah makan, kan? Sudah mandi belum? Kita kangen Mami..." Suara si kembar membuat Shela tersenyum, ia menatap layar ponsel milik Morsil yang sengaja diberikan pada Shela untuk beberapa hari ini berkomunikasi dengan anak dan Mamanya."Sudah dong Sayang, ini Mami sedang duduk di teras," ujar Shela tersenyum manis. "Tiana mau peluk Mami," ujar Tiana di balik gambar itu. "Iya, nanti Mami pulang kok." Shela merasa merindukan anaknya. "Jangan Mi! Jangan pulang, biar saja Papi nangis-nangis dulu. Biar tahu rasa seperti apa jauh dari Mami!" seru Tino dengan alis bertaut. Ekspresi wajah si kembar laki-laki itu memang tidak berbeda jauh dengan Papanya. Tapi mereka lucu, dan Shela rindu dengan kelucuan anak-anak itu. "Kalian jangan nakal ya, Sayang. Jangan bilang siapa-siapa meskipun tahu di mana Mami berada," ujar Shela pada mereka. "Mami jangan khawatir. Kita paham kok... Kita berdua aja, Tiana tidak. Dia rewel, nangis terus dan tidak dewasa," ujar Tiano. "Iya, ja