Rebecca dan Glenn bergegas menuju ke kamar inap Elvis sembari berusaha menghubungi Edeline yang tidak merespon panggilan telepon. Mereka berharap Edeline masih berada di sana sehingga kecemasan yang ditakutkan tidak terjadi. Akan tetapi, rasa kecewa menyelimuti perasaan mereka setelah mendapati Edeline tidak ada di sana. Hal yang ada hanya Elvis bersama dengan Alex dan Sarah.“Edeline di mana?” tanya Glenn mendesak panik.“Edeline sudah pulang. Kenapa?” sahut Elvis yang menaruh kecurigaan.“Kapan Edeline pulang? Apa dia pulang sendiri?” Glenn setengah membentak karena diserang cemas. Dia pun tak berhenti berusaha untuk terus menghubungi Edeline.“Kau kenapa, Tuan Glenn?” Elvis beranjak dari duduknya saking penasaran melihat tingkah panik Glenn. “Setelah masuk dengan tergesa-gesa, kau langsung bertanya-tanya mengenai Edeline—”“Edeline dalam bahaya!” Rebecca terpaksa menyela. “Ayah mertuaku baru saja mengabariku mengenai Cadee—ayah tiri Edeline telah bebas dengan jaminan bersyarat oleh
Elvis terpaksa keluar dari kamarnya. Dia mengalah pada Edeline yang meminta waktu sendiri setelah terkejut mendengarkan cerita dari dirinya. Elvis juga tak ingin memaksa Edeline yang masih tersakiti tindakan kejam ibunya di masa lalu. Dia tahu dengan baik bagaimana perasaan Edeline. Disakiti dan dikhianti adalah penyiksaan paling keji yang sulit untuk dilupakan.Pria itu memutusakan untuk sejenak duduk tenang di ruangan santai. Dia ingin mengetahui kabar putri kecilnya pagi itu. Namun, keinginannya itu terhalangi oleh pelayan yang berlari kecil menghampiri.“Ada Tuan Abraham yang mencari Anda, Tuan Elvis,” ucap pelayan itu dengan santun.Elvis mengangguk, lalu kemudian bergegas menghampiri Abraham yang menunggu di ruang tamu.“Apa Anda sudah lama tiba di sini, Tuan Abraham?” seru Elvis mengulurkan tangan ingin berjabat tangan.Abraham menyambut jabatan tangan Elvis. “Bagaimana keadaan Edeline?” dia cemas bertanya.“Sudah jauh lebih baik setelah aku memberikan suntikan pereda nyeri dan
Udara dingin yang semakin terasa menusuk kulit menjadi pertanda musim dingin telah menyapa. Ornamen khas natal mulai terlihat, begitu cantik menghiasi suasana kota sampai masuk ke setiap kediaman. Tak terkecuali kediaman Elvis.Tahun itu kediaman mewah itu lebih hidup dan terasa hangat. Situasi yang bertolak belakang dengan tahun-tahun sebelumnya, selalu suram dan tak pernah ada keceriaan yang menyelimuti.Shopia—yang sudah berminggu-minggu telah pulang dari rumah sakit begitu bersemangat menghiasi pohon natal bersama Elvis dan Edeline. Senyuman manis tak pernah lelah menghiasi wajah cantiknya, seolah-olah kesedihan tidak diizinkan mampir menyapa walaupun itu hanya sesaat.Shopia benar-benar bahagia. Dia merasa Tuhan telah menyalakan lagi warna di hidupnya. Apalagi sejak tahu Edeline tinggal bersama mereka, Shopia tidak ada keinginan lain selain hidup bahagia.Sayangnya, keceriaan di ruangan santai itu tak menular pada Edeline. Gadis cantik itu lebih sering terdiam. Dia juga tidak fok
Edeline tak mau melepaskan genggaman tangannya dari Elvis ketika tiba di ruang tunggu lapas wanita. Gadis cantik itu gugup, tangannya semakin kencang pun sudah basah oleh keringat dalam tautan genggaman tangan itu. Jantung yang lebih dulu berdebar pun semakin tak mengenakkan dan menghantarkan senyar meresahkan bagi Edeline yang sebentar lagi akan bertemu dengan Tina.“Jangan gugup! Relaks saja, oke?” Elvis berbisik lembut menenangkan, sementara tangan yang satunya telah mengusap-usap bahu Edeline.Senyuman tipis dijadikan tanggapan dari Edeline. Namun, senyuman itu tak berlangsung lama karena suara pintu ruangan yang bergerak terbuka lebar. Bukan hanya Elvis, Edeline langsung menoleh ke arah pintu. Matanya terpaku mencermati sipir wanita yang memapah seorang wanita paruh baya bertubuh kurus. Edeline sampai tak mengerjap-ngerjapkan mata untuk memastikan apa yang dipandang oleh mata bukanlah kenyataan.Delusi memilukan di depan mata sungguh mustahil untuk dinyatakan sebagai mimpi. Wanit
Edeline menangis dalam pelukan Elvis. Gadis itu ditemani sang kekasih berada di rumah sakit. Kondisi Tina sangat buruk, membuat kepolisian mengizinkan Tina untuk diperiksa di rumah sakit. “Tenanglah. Ibumu pasti baik-baik saja,” ucap Elvis lembut seraya membelai punggung Edeline. Dia berusaha menenangkan Edeline, agar tidaklah takut.Edeline mendongakkan kepalanya, menatap Elvis dengan tatapan penuh rapuh. “Bagaimana jika kondisi ibuku memburuk?”“Teruslah berpikir positive.” Elvis mengecup kening Edeline. Ceklek! Pintu ruang pemeriksaan terbuka. Sang dokter berdiri di ambang pintu. Refleks, Edeline dan Elvis mengalihkan pandangan mereka, menatap sang dokter yang berdiri di ambang pintu dengan raut wajah muram. Detik itu juga Edeline yang ditemanin Elvis, menghampiri sang dokter.“Dok, bagaimana keadaan ibuku? Dia baik-baik saja, kan?” tanya Edeline cepat dan panik pada sang dokter yang memeriksa kondisi ibunya.Sang dokter terdiam sejenak dengan raut wajah muram. “Maafkan kami,
Mata cokelat Eva tak bisa menyembunyikan kekecewaan mendalam melihat hanya Elvis dan Shopia saja yang datang ke Edinburgh. Eva begitu tak mempercayai Edeline yang tidak ada, sampai-sampai dia fokus menatap ke arah pintu mobil Elvis demi mengharapkan kehadiran Edeline.“Edeline tidak ikut bersama kami, Mom.” Elvis menyadarkan Eva yang mencari-cari Edeline. “Edeline sedang berada di London. Dia memiliki urusan di sana,” jelas Elvis.“Sebaiknya kita masuk ke dalam jika ingin berbicara serius. Salju semakin turun dengan deras, udara dinginnya tidak baik untuk Shopia.” Peter menginterupsi istrinya yang sudah membuka mulut. Pria itu sudah fokus pada Shopia yang berada di gendongannya.Eva segera menyetujui dan membiarkan semuanya masuk ke dalam mansion mewah itu. Dia mengajak suami, anak beserta cucu kesayangannya untuk menghangatkan tubuh di ruangan santai keluarga.“Apa Edeline masih bersedih?” Eva mencecar Elvis yang baru saja duduk di sofa. Dia mengabaikan putranya yang cukup lelah mene
Cincin berlian yang melingkar cantik di jari manis masih terus Edeline pandangi. Edeline merasa seperti bermimpi. Ah, tidak! Edeline tidak pernah memimpikan akan mendapatkan hal semanis dan mewah seperti yang didapatkan.Namun semuanya terlalu mustahil untuk dinyatakan sebagai mimpi. Pria yang memeluknya dari belakang telah menyadarkan Edeline. Gadis itu tak bisa memberontak pada Elvis menciumi lekukan lehernya. Matanya terpejam, Edeline tak lagi fokus pada cincin berlian. Melainkan pada Elvis yang menghujani lekukan leher Edeline dengan ciuman sensual.“Aku merindukanmu. Jangan takut padaku, Edeline,” Elvis berbisik menggoda di telinga Edeline.Edeline tak takut, karena dia telah percaya pada Elvis. Dia juga sudah menduga akan berakhir seperti itu setelah Elvis mengajak dirinya beristirahat di kamar yang sama.Elvis menuntun Edeline untuk beralih ke ranjang tidur. Dengan cara yang sama pula Edeline didudukkan pada tepian ranjang tidur. Namun anehnya, Elvis memilih berlutut di hadapan
~ Lima bulan kemudian ~Dari duduknya di tepian ranjang tidur, pandangan kedua mata Edeline terlempar ke arah jendela ketika mendengar suara mobil di depan kediaman mewah itu. Kedua kakinya bergegas mendekat ke arah jendela, mengintip dari balik tirai untuk memastikan seseorang yang tiba di bawah sana.Bibir wanita cantik menipis oleh senyuman manis yang terulas, sementara matanya telah berbinar bahagia melihat seseorang yang tiba itu adalah Elvis. Suaminya itu baru saja kembali dari kepentingan bisnis di Amerika. Sudah lima hari mereka terpisah jarak. Selain itu, tepat di tengah malam itu adalah momen hari kelahiran Elvis.Lebih dahulu Edeline menyimpan sebuah benda seperti sebuah stik di laci meja nakas, lalu setelahnya Edeline bergegas keluar kamar untuk menyambut kepulangan suami tercinta.Di depan kamar ternyata Shopia telah menanti kehadiran Edeline. Keduanya telah bekerja sama memberikan kejutan ulang tahun pada Elvis. Beruntung saat itu Liz ikut andil membantu Edeline dan Shop