Brak!
Seseorang baru saja berbuat keributan di kantin sekolah, kalian salah jika mengira itu Alena, karena faktanya gadis yang dicurigai itu tidak melakukan apa-apa meski masih ada kaitan dengannya. Alena melihat sekilas orang yang menggebrak mejanya lalu membeliak malas dan lanjut menyantap makan siang yang dipesannya beberapa saat lalu.
"Sampai kapan kau mau berlaga seperti orang yang berkuasa di sekolah ini Alena? Kau bukan siapa-siapa tapi selalu bersikap semena-mena!" maki orang yang mengusik ketenangan Alena.
Sontak kejadian itu menarik perhatian banyak orang, dalam sekejap mata mereka menjadi buah bibir dan tontonan menarik yang sangat sayang jika dilewatkan.
"Kau punya telinga tidak?! Jawab aku dan berhenti bersikap pongah!" teriak gadis itu lagi yang diperkirakan seusia Alena.
Alena berusaha mengabaikan pancingan demi pancingan yang sedikit banyak mulai memengaruhi emosinya. Tapi gadis itu sedang tidak minat menghajar siapa pun hari ini jadi dia akan membiarkan teman sekelasnya itu lolos.
"Aku tahu pasti kau yang merusak prakarya buatanku sampai aku mendapat nilai D dari guru kesenian. Kau sengaja melakukan itu karena marah aku melaporkanmu merokok di belakang sekolah tempo hari, iya kan?"
Alena memasang wajah datar dan menganggap orang yang bicara padanya sebagai patung. Sikapnya kentara tenang padahal anak-anak lain sudah menunggu respons Alena. Mereka penasaran, akankah Alena mengulang kembali momen mengubah kantin ini menjadi arena tinju seperti waktu itu.
"Alena jawab aku!" bentak gadis itu lagi sambil mencopot earphone yang baru saja Alena pasang, mau tak mau gadis berwajah ketus itu menatap tajam teman sekelasnya.
Tenang dia menjawab, "Berisik."
Alena lalu memisahkan batang sumpit yang semula menempel kemudian mengaduk mie cup pesanannya. Perutnya mulai keroncongan karena tadi pagi ia tidak sempat sarapan. Tentu alasannya karena ia malas bertemu dengan Allendra di ruang makan. Pria itu akan membuat darah Alena bergejolak jika mereka dipertemukan dalam satu tempat untuk waktu yang lama. Alena baru akan sarapan di rumahnya ketika Allendra sedang dinas di luar negeri atau kapan saja ketika pria itu tidak ada di rumahnya.
Kesal terus diabaikan, gadis bersurai panjang itu pun merebut sumpit Alena lalu melemparnya ke sembarang arah. Hal itu mendapat sahutan heboh dari teman-temannya, satu kosong kata mereka untuk skor pertikaian antara kedua gadis itu. Sebenarnya tidak benar-benar dua gadis saja yang bertikai, seperti biasa Alena seorang diri sedangkan teman sekelasnya itu datang membawa rombongan. Mungkin dia takut atau sekadar ingin memberikan intimidasi untuk Alena, berharap gadis itu akan gentar jika dia dilabrak ramai-ramai.
"Kenapa diam, tidak mau melawanku, hah? Mulai takut karena sebentar lagi kau akan dikeluarkan dari sekolah?"
Alena masih diam, nafsu makannya menguap dan itu membuat dia kesal.
"Kau seharusnya sadar diri sejak awal, Alena, bahwa dirimu itu sama sekali tidak diinginkan di sekolah ini atau mungkin di mana pun kau berada, tidak pernah ada yang benar-benar menginginkanmu. Terbukti bukan, selama ini tidak ada yang mau menjadi temanmu. Mereka tidak sudi berdekatan dengan manusia pembawa sial dan pembuat onar sepertimu. Tidak punya apa-apa saja belagu, dasar yatim piatu!"
Tangan Alena mengepal, dia sudah berbaik hati memutuskan untuk tidak meladeni tapi sepertinya lawannya ini sangat gigih ingin berkelahi dengan Alena. Tangan gadis itu sudah gatal, ingin segera bereaksi namun begitu dia mengingat ancaman Allendra, kepalan tangan itu terurai dengan sendirinya. Alena bangkit dari duduknya, dia mengambil jus jeruk pesanannya lalu disiramkan ke arah teman sekelasnya tadi tanpa banyak bicara. Setelah melakukan perlawanan kecil itu, Alena pun meninggalkan kantin dengan gaya angkuhnya. Gadis yang disiram Alena pun berteriak kesal, memaki Alena dan bersumpah akan membuat gadis sombong itu menyesal karena telah mempermalukannya di depan umum.
"Wah, keren sekali," puji Sera yang menyaksikan kejadian tadi dari awal sampai akhir.
Saat ini dia sedang makan siang bersama Liam dan teman-temannya. Sera memang sudah memiliki teman baru tapi tadi kebetulan Liam mengajaknya makan bersama jadi ya dia ikut saja mumpung gratis pikirnya.
"Apanya yang keren, barbar begitu," komentar Beni menyanggah pujian Sera.
"Kak Alena itu sebenarnya baik tahu Kak, kalian tidak tahu saja," bela Sera tidak mau kalah.
"Sera, Kakak sudah bilang jangan dekat-dekat dengannya. Kau lihat sendiri bukan sikapnya bagaimana kalau di sekolah?"
"Aku tidak dekat-dekat dengannya Kak, hanya memuji. Kak Alena itu sungguh unik, cantik, dan pemberani. Jarang sekali ada perempuan tangguh seperti dia."
"Psiko tepatnya," cibir teman Liam yang lain.
"Jangan begitu, Kak, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja."
"Memang begitu kenyataannya, Sera, kau harus mengerti kalau Alena itu bukan orang yang pantas untuk dikasihani apalagi dikagumi. Dia tidak punya perasaan dan akan membantai siapa saja yang berani cari masalah dengannya. Jadi sebaiknya kau dengarkan kata-kata Liam, jangan pernah berurusan lagi dengan gadis itu," jelas Sunny memperingatkan.
Sunny adalah ketua tim cheerleader sekaligus kekasih sang kapten basket SMA Sevit—William. Liam tidak lagi menanggapi ucapan sang kekasih tentang Alena, topik pembicaraan itu tidak menarik dan tidak ada gunanya juga jika mereka terus membahas masalah gadis itu. Liam memilih fokus pada kegiatan makannya dan sesekali diusik oleh Sunny yang ingin menyuapi kekasihnya itu.
***
"Kakak minum dulu," tawar Sera yang ikut berlari mengikuti Alena yang sedang menjalani masa hukuman atas laporan insiden di kantin tadi.
Teman sekelas yang tadi bertengkar dengan Alena mengadu bahwa gadis itu telah merundungnya dan sengaja menyiram wajahnya dengan es jeruk. Pihak kesiswaan yang memang sudah khatam dengan tabiat Alena langsung percaya saja pada cerita bohong itu dan langsung mendakwa Alena lantas menghukumnya lari keliling lapangan sepuluh kali. Sebenarnya ini masih jam pelajaran tapi karena di kelas Sera sedang tidak ada guru dan kebetulan dia melihat Alena sedang berlari sendirian jadi gadis itu memutuskan untuk menghampiri Alena dan membawakannya minuman.
"Kakak dihukum karena masalah di kantin tadi, ya? Kok pak guru tidak adil sih, jelas-jelas bukan Kakak yang salah tapi malah Kakak yang kena hukum."
"Kakak tidak lelah? Aku yang baru ikut lari satu keliling saja sudah kehabisan napas begini. Kakak biasa olahraga ya? Olahraga apa?"
"Kau bisa diam tidak?"
Bukannya marah Sera malah tersenyum lebar karena akhirnya Alena mau bicara dengannya.
"Suara Kakak manis didengar, yang sering ya Kak bicaranya biar semua orang tahu kalau suara Kakak itu indah. Kakak bisa nyanyi tidak?"
"Daripada terus gangguin gue mending lo balik ke kelas. Jangan cari perkara di sini!”
"Ahh, senangnya Kakak bicara panjang padaku, aku jadi terharu."
"Terserah!"
"Eh, Kakak ... tunggu!" teriak Sera ketika Alena mempercepat larinya dan meninggalkan gadis itu yang mulai melambat larinya karena lelah.
"Dasar keras kepala," komentar Liam ketika menyaksikan tingkah adik sepupunya dari lantai tiga.
Lelaki itu baru kembali dari ruang guru setelah mengantar buku tugas teman-teman sekelasnya, dia tidak sengaja melihat Alena lari di lapangan dan yang membuatnya semakin terkejut adalah ketika dia menemukan adik sepupunya sedang berusaha mendekati Alena sambil memberikan minuman dingin. Mata Liam terbelalak ketika dia melihat seseorang baru saja menjegal kaki Sera sampai gadis itu tersungkur dan menyentuh bata lapang. Liam berputar arah, tidak jadi kembali ke kelas kemudian berlari secepat mungkin agar bisa segera tiba di lapangan.
"Aww," ringis Sera saat menyadari lutut dan sikutnya berdarah.
"Sakit ya?"
"Kakak kenapa melakukan ini kepadaku?"
"Kau sendiri yang cari gara-gara, buat apa ikut campur urusanku dan berlaga membela gadis tidak tahu diri itu, hah?"
"Apa maksud Kakak membela, aku hanya ingin memberikan minuman dingin pada kak Alena. Apa itu salah?"
"Jelas salah, karena di sini tidak ada satu pun orang yang boleh bersikap baik pada Alena termasuk kau."
"Kenapa? Itu hakku untuk bersikap baik pada siapa pun yang aku mau. Kakak tidak berhak melarangku."
"Ngeyel ya kalau diberi tahu, kubilang tidak boleh artinya tidak boleh! Jangan membantu Alena lagi atau kau berurusan denganku, mengerti?!"
"Tidak! Aku tidak mengerti ucapan Kakak dan aku tidak mau berhenti bersikap baik pada kak Alena. Dia temanku!"
"Bocah kurang ajar, berani ya sama senior!”
Bugh!
Sebuah bola menerpa kepala gadis yang sedang merundung Sera, Alena pelakunya-orang yang baru saja menghantam kepala Ria dengan bola futsal milik anak-anak kelas XI yang sedang olahraga di lapangan sebelah. Bola itu tak sengaja menggelinding ke arah Alena dan langsung saja dimanfaatkan gadis itu untuk memberi pelajaran pada Ria yang sudah berani menyakiti orang yang tak bersalah.
"Sialan, kau lagi!" maki Ria sambil melempar balik ke arah Alena yang spontan menangkap bola lemparan Ria itu.
Tadinya gadis itu ingin membalas perlakuan Alena namun lawannya sangat gesit membaca arah bola itu sehingga dia bisa menangkapnya dengan mudah. Alena melempar bola itu ke arah anak-anak kelas XI yang tampak ragu untuk meminta bola mereka padanya.
"Jangan ganggu anak ini," ucap Alena dingin namun tangannya terulur untuk membantu Sera berdiri.
"Kenapa, kau merasa bangga karena akhirnya ada orang bodoh yang mau berteman dengan gelandangan sepertimu?"
"Urusanmu denganku, tidak usah libatkan dia."
"Dia membelamu jelas aku tidak bisa melepaskannya begitu saja. Siapa pun temanmu berarti dia adalah musuhku."
Ria memang tidak pernah bosan mencari gara-gara dengan Alena, keberanian gadis itu lumayan tinggi karena orang tuanya adalah sosok yang berpengaruh di SMA Sevit. Ayah Ria adalah kepala sekolah di sana dan dia merasa memiliki kuasa yang lebih besar daripada siapa pun. Oleh karena itu, dia benci melihat Alena yang sok berkuasa sampai anak-anak Sevit begitu segan padanya. Padahal secara hierarki jelas-jelas Ria yang lebih pantas disegani dan dihormati oleh penduduk SMA Sevit.
"Ayo pergi," ajak Alena menarik Sera untuk mengabaikan Ria namun gadis yang tengah diliputi emosi itu tidak lantas membiarkan mereka pergi begitu saja.
Ria menjambak rambut Sera dari belakang, gadis berwajah imut itu pun meringis kesakitan dan di saat yang bersamaan emosi Alena memuncak. Gadis itu mencekal tangan Ria yang masih menjambak Sera kemudian meremasnya kuat sampai Ria mulai kehilangan kekuatan tangannya dan serta merta jambakannya pada rambut Sera pun terlepas. Liam datang tepat ketika Sera sudah lolos dari cengkeraman Ria, gadis itu langsung berhambur memeluk kakak sepupunya sambil menangis ketakutan. Sedangkan Alena masih bertahan di posisinya, dia berniat mematahkan tulang lengan Ria. Bunyi retakan tulang sudah terdengar, Ria menangis namun Alena tidak terpengaruh oleh hal itu.
"Sakit Alena, kau gila, hah?! Arghhh."
Ria memukul-mukul tubuh Alena namun rasa sakit di tangannya yang nyaris patah sudah menguras seluruh tenaganya sampai akhirnya tubuhnya lunglai dan berakhir berlutut di depan Alena, memohon ampunan.
"Cukup," titah seseorang yang kini telah memegang tangan Alena.
Gadis itu menoleh dan melihat lelaki paling diminati di SMA Sevit sedang berusaha menghentikan aksinya menyiksa Ria.
"Dia yang memintanya," kata Alena dingin sambil menatap dingin Liam.
"Kubilang cukup!" tekan Liam menyentak kemudian menarik tangan Alena sampai terlepas dari lengan Ria, gadis itu meringkuk sambil memegangi lengannya yang terasa ngilu sekali.
Bersambung
“Bisa bicara dengan tuan Allendra?” tanya Zeeya setelah dia menentukan pilihan. “Saya sendiri, siapa ini?” “Saya wali kelas Alena, Azeeya.” “Ahh, hai, apa kabar?” “Bisakah Anda datang ke sekolah sekarang?” “Kenapa, kau merindukanku?”***“Mohon maafkan Alena sekali ini saja Pak, saya janji akan membimbingnya menjadi lebih baik lagi. “Pihak sekolah sudah terlalu sering memberiny
"Saya benci pria yang tidak bertanggung jawab. Jadi berhentilah bermimpi, karena sampai kapan pun tujuan Anda tidak akan tercapai."Allendra memejam sedetik masih dengan senyum lebar di bibirnya. Gemas mendengar jawaban Zeeya yang benar-benar memacu adrenalin hatinya. Ia senang menemukan tantangan yang menyenangkan. Ia akan berterima kasih pada adiknya karena berkat Alena, Allendra menemukan Zeeya."Mau bertaruh denganku?"***"Aku tahu aku tampan, tidak perlu menatapku setajam itu. Kau membuatku semakin menyukaimu."Zeeya mendengus, seolah tidak cukup membuatnya mangkir dari jam kerja, pria itu kini membuat jantungnya ingin meledakkan amarah besar. Masa bodoh jika memang pria ini adalah orang berpengaruh dan sangat berbahaya seperti kata Alena, Zeeya tetap tidak bisa menerima tindakan semena-menanya. Tidak tahu aturan, tidak disiplin, arogan, dan sombong. Semua sifat yang dimiliki iblis ada padanya.
Alena berbaring dan menatap lurus langit-langit kamarnya yang bertabur bintang. Interior ruangan di kamar gadis itu memang lebih futuristik dibanding ruangan lain yang ada di istana megah keluarganya. Jika kamar Allendra didominasi warna hitam dan abu, maka berbeda dengan kamar Alena meski kesan yang didapat sama-sama gelap. Di kamar gadis itu warna putih dan biru lebih dominan. Lampu yang berpijar di bawah tempat tidurnya yang berbentuk bundar menyala terang sejak tadi.Tepatnya, sejak sang pemilik berbaring di atas kasur itu sambil merenungi kejadian demi kejadian yang telah terjadi hari ini. Sebelum benar-benar memeluk geming, Alena sempat memukul-mukul kasur dan meluapkan emosinya pada barang-barang di atas meja riasnya. Meja yang sama sekali tak menampung peralatan tempur perempuan ketika merias diri. Di sana hanya ada pelembap, bedak bayi, dan parfum kesukaan Alena. Selebihnya, tidak ada apa-apa lagi. Ah, mungkin di laci mejanya ada sisir dan hair dryer, itu pun jarang
"Ck, ck, ternyata kutukan Spancer itu benar adanya," gumam Vincent sambil geleng-geleng tak menyangka."Maksudmu?""Kau tidak tahu?""Tahu apa?"***"Selamat pagi," sapa seorang pria, menyapa Zeeya ketika gadis itu baru keluar dari rumahnya."Pagi, kau baru mau berangkat, Mark?""Iya, mobilmu mana?""Di bengkel.""Ada masalah apa memangnya?""Entah, aku tidak mengerti. Hanya saja kemarin keluar asap dari bagian kap depan. Maklum, mobil tua.""Mm, bagaimana kalau hari ini kau berangkat bersamaku?"Zeeya tersenyum sopan pada tetangga sekaligus teman kuliahnya ini. Dia bekerja di salah satu bank swasta sebagai manajer. Tubuhnya tinggi, memiliki tahi lalat di dagu, dan berkaca mata. Meski begitu, pria yang selalu tampak formal sepanjang Zeeya mengenalnya tetap terlihat ideal untuk dijadikan kriteria para gadis. Dia baik, ramah, dan sangat perhatian, dan cukup menyenang
"Jangan macam-macam, ini di sekolah.""Berarti kalau di luar sekolah boleh?"***Kehidupan itu tentang pusaran waktu, menyeretmu ke setiap sudut situasi tanpa ingin bertanya apakah kau siap atau tidak untuk menghadapinya. Seperti aliran sungai yang tidak akan berhenti berjalan sampai ia bermuara di titik yang semestinya. Sekali pun kau memaksa, agar apa yang tak diinginkan menghilang dari pandangan namun waktu tahu kapan dia harus memanjakanmu. Waktu tahu kapan ia harus mengabaikanmu. Waktu tahu, kapan ia harus berada di sisimu atau menjauh darimu sampai batas yang dia inginkan. Kau harus bahagia hari ini, maka itu adalah waktumu. Dia akan sukses esok hari, maka itu adalah waktunya. Kau yang belum mencapai titik membanggakan dalam hidup bukanlah pecundang yang tak dibutuhkan. Waktumu belum tiba namun bukan berarti kau harus meregang asa. Bukan berarti kau harus menyurutkan usaha. Selagi menanti waktu, mari bekerja
"Pulanglah tuan Allendra, saya yakin kekasih Anda sedang menunggu di rumah.""Kekasihku sedang menunggu di sini."***Dua orang itu saling melempar tatap, bingung mau mulai dari mana dan dengan cara apa. Tepatnya, Liam yang merasakan hal itu sementara Alena hanya duduk tenang sambil memperhatikan sang kapten basket yang entah mengapa bisa duduk berhadapan dengannya di perpustakaan hari ini."Bisa kita mulai?" tanya Liam, Alena diam saja."Mohon kerja samanya karena ini juga bukan kemauanku.""Siapa yang menyuruhmu?""Ketua Yayasan."“Lo tahu gue enggak suka belajar, kan?""Tahu."Alena mengangguk kemudian bersiap pergi."Duduk," kata Liam penuh tuntutan.Gadis itu menoleh sambil mengernyitkan kening."Aku tahu kau benci belajar dan tugasku sekarang adalah membuatmu melakukan apa yang kau benci.""Dibayar berapa lo sama si Pak tua itu?""Bicara yang sopan,
"Kenapa diam saja, makan, aku sengaja memesan menu termahal untukmu.""Saya mau pulang, bukan mau makan di restoran!" protes Zeeya, enggan menyentuh satu pun sajian makan malam lezat yang sengaja dipesan Allendra.Pria itu memesan beberapa menu makanan western dengan porsi yang tidak manusiawi. Setiap sudut meja dipenuhi dengan makanan. Sebenarnya, jauh di lubuk hati, gadis itu mulai tergoda dengan lambaian asap beraroma sedap yang menguar dari hidangan itu. Kalau saja bukan Allendra yang menyajikan semua ini, pasti setengahnya sudah habis Zeeya lahap. Jangan salah, walau berbadan kecil tapi nafsu makannya luar biasa rakus. Kebiasaan itu didukung oleh satu fakta melegakan, sebanyak apapun makanan yang masuk ke usus Zeeya, tidak akan berpengaruh sama sekali pada bobot tubuhnya. Tanpa perlu diet dia bisa makan banyak sesuka hati. Keuntungan yang menjadi impian sebagian besar perempuan di muka bumi."Makan dulu baru pulang. Kau pasti lapar, kan, dari tadi belum mak
Hujan turun kian deras, membasahi bumi sambil membawa serta siur angin kencang. Kaki dan tangan Zeeya mulai terasa kebas, bibirnya menggigil hampir dibekukan rasa dingin. Zeeya mengutuk Allendra dan semesta yang sengaja berkonspirasi membuatnya tersiksa. Kesialan demi kesialan berdatangan, sudah dibuat kesal seharian, di sekolah pekerjaannya menekan tidak tertahan, makan malam diusik, menyaksikan adegan tidak pantas di depan matanya, sampai gagal mendapatkan taksi meski sudah berulang kali ia memberi kode berhenti. Setiap taksi yang melintas sudah terisi penumpang, halte bus tidak tahu seberapa jauh lagi.Tiga puluh menit berjalan, gadis itu tak menemukan tanda-tanda halte atau pemberhentian kendaraan lainnya. Ingin meminta bala bantuan, ponselnya mati tak berdaya. Oh, lengkap sudah. Mungkinkah ini bentuk nyata kutukan Spancer? Mengapa tidak ada satu pun yang berjalan lancar sejak tadi. Sekujur tubuh Zeeya mati rasa saking dinginnya. Meneduh pun percuma karena tidak ada lagi