Langkah Binar terhenti. Tubuhnya mau tak mau merasa menegang karena ucapan orang itu. Terlebih lagi, di sana ada Kalandara yang notabennya adalah sang bos. Lelaki itu yang tadinya tidak pernah tahu seluk beluk masalahnya dengan Rasya, pada akhirnya pasti akan tahu. “Binar, kenapa kamu tidak berani menatap kami? Kamu malu?” Nada cemoohan itu terdengar menyakitkan di telinga Binar. “Tidak perlu malu, semua orang pasti akan tahu siapa kamu sebenarnya. Kamu, si perempuan mandul yang tidak bisa menghasilkan keturunan.” Di tempat umum, mantan mertuanya itu dengan gamblang mencercanya dengan hinaan yang menyakitkan. Ada sebuah tangan yang memegang pundaknya. Binar mendongak dan tatapan matanya bersibobrok dengan mata Kala. Tatapan lelaki itu seolah mengatakan, ‘hadapi sekarang, aku di sini buat kamu’ kepada Binar. Membuat Binar akhirnya harus meneguhkan hatinya dan berbalik menatap gerombolan manusia-manusia tak berguna tersebut. Binar tersenyum. “Oh, ternyata mantan ibu mertua.” Meskipun
Jika Binar tidak mengingat lelaki yang ada di depannya itu adalah bosnya, dia pasti sudah meneriaki Kala tepat di wajahnya dengan suara lantang. Sayangnya, Binar masih waras dan menggunakan sopan santunnya untuk menahan diri. Ini bahkan bukan di kantor, untuk apa Kala memberikan perintah yang tidak masuk akal seperti itu. “Tapi, ini bukan di kantor, Pak. Saya tidak perlu melakukan ‘perintah’ yang Bapak berikan kepada saya saat ini.” Binar menjawab sopan. Tapi dia juga memberikan penekanan pada kata ‘perintah’ yang dikatakan. Menatap berani pada Kala yang juga tengah menatapnya. Kala berdiri. Menjejalkan kedua tangannya di dalam saku celananya dan mengeluarkan aura dominan yang dimilikinya. “Saya, menawarkan kamu tumpangan, Binar.” Kala ikut menekankan setiap kata yang dikeluarkan. “Bukan memerintah kamu untuk maju di medan pertempuran.” Kala menggeleng pelan. “Tidak perlu berdebat lagi. Ayo pergi, saya akan mengantarkan kamu sampai rumah dengan selamat. Tenang saja, saya tidak akan
Kala menatap Rasya dengan tatapan datarnya. Di tangan kanannya terdapat satu kantong putih berisi buku Binar yang ketinggalan di mobilnya. Dia rela putar balik dan kembali ke rumah Binar hanya untuk mengembalikan buku tersebut. Tapi, tidak menyangka akan bertemu dengan Rasya di sana. Di dalam kepalanya membentuk sebuah kesimpulan, mungkin saja Binar dan Rasya baru saja membicarakan tentang urusan mereka. “Sepertinya hubungan kalian sudah sangat dekat.” Rasya bersuara lebih dulu. Menatap Kala yang tengah menyandarkan tubuhnya di mobil. Rasya tampaknya bukan hanya menatap lelaki itu, tapi juga menilainya. Mungkin saja dia tengah membandingkan dirinya dengan ‘kekasih baru’ istrinya tersebut. Namun Kala sama sekali tak terpengaruh. Lelaki itu hanya menatap Rasya dengan mata elangnya. “Kenapa balik?” Suara Binar memecahkan keheningan yang tercipta. Tatapan Kala dan Rasya segera beralih pada satu titik yang sama; sosok Binar berdiri di halaman rumah di balik pagar. Namun Binar menatap K
“Melibatkan diri sampai akhir? Apa maksud Bapak dengan itu?” Binar mengulangi ucapan Kala. Menatap lelaki itu dengan serius menuntut penjelasan. Binar tidak ingin salah menafsirkan sehingga membuatnya salah paham. Kala bukanlah lelaki yang mudah dipahami. Jadi dia tak ingin menarik kesimpulan yang membuatnya tersesat semakin jauh. “Kamu bisa menjadikan saya senjata untuk menghadapi suamimu dan keluarganya. Karena yang sekarang mereka tahu, saya adalah orang yang sedang dekat dengan kamu.” “Jadi, apa yang sebenarnya Bapak dan Rasya bicarakan semalam?” Seolah mendapatkan kesempatan untuk mengungkit jawaban yang dibutuhkan, Binar kembali bertanya. Mengabaikan ucapan yang baru saja dilontarkan Kala kepadanya. Kala menatap Binar tanpa ekspresi, sebelum menjawab seadanya. “Intinya dia tidak suka saya dekat dengan kamu. Dan meminta agar saya menjauhi kamu.” Binar mendengus kecil. “Apa dia nggak tahu malu dengan mengatakan itu? Dia bahkan sudah melakukan sesuatu yang tak bermoral.” S
“Proses perceraian?” Bu Yuni tidak mampu menutupi keterkejutannya. “Bi, jangan bercanda dengan hal-hal seperti ini.” Ibu Binar masih tidak percaya dengan informasi yang didengar. “Ibu lihat kalian baik-baik saja selama ini. Dia juga sayang sama kamu, mertuamu juga baik. Lalu apa alasannya? Apa karena lelaki tadi?” Binar seketika menatap ibunya dengan kening berkerut. Laki-laki tadi? Kala maksudnya? Oh, tentu saja ibunya akan berpikir sampai sejauh itu, karena memang dia tadi bersama dengan Kala dengan posisi berpegangan tangan. Hal itu cukup membuat ibu Binar curiga. Inilah yang tidak disukai ketika ada salah satu keluarganya tahu tentang masalahnya. Mereka tidak akan membuat masalahnya selesai, tapi justru bertambah. Akan ada banyak pertanyaan dan dugaan yang ditujukan kepadanya. “Jadi benar, karena lelaki tadi?” Karena Binar tidak kunjung menjawab pertanyaan ibunya, maka dugaan itu menjadi-jadi. “Bukan!” Binar menjawab tegas. “Lelaki tadi bosku dan dia nggak ada sangkut paut
Binar masih belajar berdamai dengan masa lalu menyakitkan terkait orang tuanya. Masih berusaha untuk melupakan segala hal buruk yang pernah ditorehkan oleh mereka. Keinginan terbesarnya dulu setelah menikah adalah tidak ada perceraian, tapi nyatanya dia mengikuti jejak orang tuanya. Binar tersenyum miris. Mengutuk dirinya sendiri karena tidak mampu mempertahankan rumah tangganya bersama dengan Rasya. Tapi, siapa yang akan bersedia tetap bersama dengan orang yang tidak setia? Tentu saja tidak ada. Pun, dengan Binar. Deringan ponselnya membuat Binar membuyarkan lamunannya. Nama kepala bengkel muncul dan Binar segera menerimanya. Kepala bengkel mengatakan jika dia harus melakukan pelunasan karena mobil Kala sudah selesai diperbaiki. Tentu saja itu kabar yang baik. Dengan begitu dia sudah bebas masalah tentang mobil Kala. “Kamu mau ke bengkel ‘kan?” Binar menoleh ke arah sumber suara ketika mendengar orang yang berbicara dengannya. Binar mengangguk. “Iya, Pak.” “Kita ke sana sama-sam
“Apa yang Bapak lakukan di sini?” Binar baru saja keluar dari rumah dan hendak pergi ke kantor ketika dikejutkan oleh keberadaan Kala di depan rumahnya. Lelaki itu berdiri sambil menyandarkan tubuhnya di mobil miliknya. Mobil yang baru selesai diperbaiki itu sudah dipakai kembali. Kala pun tidak sendirian, ada dua lelaki lain yang menggunakan seragam montir berdiri tak jauh darinya. Langkah Binar sempat memelan saat melihat sosok Kala. Dalam kepalanya bertanya apa yang tengah dilakukan oleh Kala di rumahnya. Dan saat dia sudah membuka pagarnya, Kala dengan seenaknya bersuara. “Itu mobilnya.” Begitu katanya tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan Binar, Kala menunjuk salah satu mobil Binar yang terparkir di garasi. Dua montir itu mengucap permisi kepada Binar sebelum melewati perempuan itu dan berjalan mendekati mobil yang Kala tunjuk. Melihat dengan seksama mobil tersebut dan sedikit pengecekan. Jika dilihat dari belakang, mobil itu tampak baik-baik saja. Tapi saat dilihat dari d
“Lo gila, Kal!” Ramon sedikit memekik ketika mendengar tujuan Kala akan menikahi Binar. Lelaki itu tidak akan pernah setuju dengan rencana Kala. Binar adalah sahabat Ramon yang paling disayangi. Dia tak ingin perempuan itu akan mengalami kegagalan untuk kedua kalinya. “Bukannya untuk melupakan seseorang kita perlu orang baru untuk membantu?” Kala menatap Ramon seolah tanpa dosa. “Jadi gue pikir ini cara yang baik. Gue dan Binar bisa sama-sama saling menguntungkan.” “Lo bisa cari orang lain, Kal. Bukan Binar.” “Kenapa harus orang lain kalau ada orang yang gue rasa cocok untuk gue.” “Lo gila. Binar sahabat gue, lo juga sahabat gue. Tapi gue nggak setuju dengan ide lo yang di luar nalar.” Ramon melotot marah mendengar penuturan Kala yang terdengar menyebalkan di telinganya. Yang membuat Ramon tampak uring-uringan adalah ketika Kala memiliki rencana, maka dia tidak akan mundur sampai dia mendapatkannya. Kekhawatiran di dalam hati Ramon tentu saja melambung begitu tinggi. Dia m