Share

Siapa Raya Sebenarnya?

"Dian apa yang terjadi?" 

Meskipun bisa menginap di hotel, tetapi Dian lebih memilih pergi ke rumah Damar sebab masih ada hubungan kekerabatan dari jalur nenek. 

"Aku diusir Mas Radit, ternyata dia sudah menikah sama Raya, Om."

Dian menangis, sementara Nurul memeluknya erat dengan air mata mengalir. Istrinya Damar itu tak tega melihat Dian terluka. 

"Om gak ngerti, tolong ceritakan semuanya pelan-pelan, ya," titah Damar kemudian dijawab dengan anggukan oleh Dian. 

Beberapa bulan sebelumnya.... 

"Dian, tolong Tante sama Raya ya, kami sudah tidak punya tempat tinggal lagi," rengek Indira dengan wajah memelas pada keponakannya. Pasalnya, rumah yang mereka tempati terbakar, entah apa penyebabnya. 

Indira dan suaminya yang bernama Adi juga sudah bercerai, ia tak kuat hidup susah karena menurut wanita itu tak ada kemajuan dalam bidang ekonomi. 

Pekerjaan Adi berjualan ketoprak, menurut Dian warung ketoprak mereka sering terlihat ramai, tetapi Indira seringkali merasa kekurangan karena gaya hidupnya terlalu tinggi, terobsesi menjadi ibu-ibu sosialita membuatnya kufur nikmat pada suami.

"Gimana ya Tan, bukannya Dian gak mau nolong Tante, tapi Dian gak bisa kalau Tante sama Raya tinggal di rumah ini, " jawab Dian sopan.

Setelah belasan tahun terlewati, wanita itu berusaha memaafkan kesalahan Indira. Namun, sebagai manusia biasa, Dian yang pernah sakit hati atas perbuatan Indira dan Raya merasa puas karena akhirnya mereka berdua membutuhkan pertolongannya. Dian yang sejak dulu selalu dihina oleh mereka, Dian yang katanya si anak haram dan tak berguna akhirnya menjadi tempat mengadu kala susah. 

"Di mana saja Dian, yang penting Tante sama Raya bisa berteduh," paksa Indira dengan wajah sedih.

Jauh dalam hati Dian ingin tak peduli pada mereka, tetapi walau bagaimanapun Indira adalah Tante kandungnya. Wanita itu juga pernah merawatnya meski dengan keterpaksaan atas wasiat Neneknya dulu. 

"Ya sudah Tan, aku cari kontrakan yang layak buat Tante sama Raya aja, gimana?" Dian memberi solusi.

"Kok kontrakan sih Dian? Kenapa gak tinggal di rumah kamu saja, kan rumah kamu besar, luas, mewah lagi."

Raya menimpali, wajahnya menampakkan raut kecewa. 

"Kamu mau aku tolong enggak?" tanya Dian sinis.

Kalau bukan karena menghormati Indira, Dian tak ingin membantu Raya yang di matanya tak tahu diri.

Hati Dian kesal, bukannya berterima kasih karena telah ditolong, Raya justru meminta tinggal di rumahnya. Bukannya apa-apa, hanya saja ia risih jika membawa Raya ke rumah, karena Dian dan Radit hanya tinggal berdua di sana, asisten rumah tangga hanya datang pagi dan pulang sore hari saja. 

"Gak apa-apa Dian, yang penting kami punya tempat tinggal, terima kasih sudah menolong kami ya." Indira melotot ke arah Raya, sepupu Dian itu menciut seketika. 

Satu bulan setelah menyewa kontrakan untuk Tante dan sepupunya, Dian berniat membawakan makanan untuk Indira, tetapi di perjalan terjadi insiden mengerikan.

Sebuah motor dengan kecepatan tinggi menabrak tubuh Dian yang hendak menyebrang, akibat kecelakaan itu ia mengalami patah tulang di tangan dan kedua kaki, untung saja kehamilannya yang baru berusia tiga Minggu bisa diselamatkan.

Sejak kecelakaan itu, Dian dirawat dengan cekatan oleh Indira dan Raya, karena kasihan jika sepupu dan Tantenya harus pulang pergi untuk merawatnya, maka Dian meminta mereka untuk tinggal di rumahnya saja, terlebih sikap keduanya sangat manis dan membuat hati Dian terharu. 

Indira juga membantu membersihkan kotoran Dian yang kesulitan jika ingin buang air besar, wanita itu juga membantu merawat Dian yang tengah mabuk karena hamil muda. Patah kaki benar-benar membuatnya sulit beraktivitas.

Hati Dian luluh, dia menganggap mereka sudah berubah dan menolongnya dengan sangat tulus.

Tujuh bulan sudah masa-masa sulit terlewati, hanya saja kini Dian merasa Radit mulai berubah, lelaki itu sudah tak sehangat dulu, suaminya pun sudah jarang menemuinya di kamar meski hanya sekadar menanyakan kabar.

Selama tujuh bulan Dian tak pernah ke manapun dan hanya berdiam diri di dalam kamar. Beberapa bulan pertama Radit begitu perhatian, bahkan ia mendatangkan dokter untuk membantunya terapi, tetapi dua bulan belakangan ini Radit  jarang sekali ada waktu untuk Dian.

Sikap Radit berubah dingin, Dian berpikir apakah mungkin karena dirinya tak lagi mampu memberi nafkah batin? Radit seorang laki-laki, Dian sadar kalau lelaki memiliki kebutuhan yang harus disalurkan. Seketika hatinya tersayat ngilu membayangkan sesuatu hal buruk yang mungkin saja terjadi. 

Indira pun kini sudah tak perhatian seperti dulu dengan alasan mulai sibuk, bahkan yang mengurus Dian beberapa bulan terakhir adalah Bi Imah, pembantu baru yang dibayar oleh Radit untuk mengurusnya.

"Hati-hati Bu, pelan-pelan takut jatuh."

Bi Imah selalu membantunya untuk berjalan hingga kini mampu berdiri meski dengan tongkat penyangga di ketiak.

"Gak apa-apa Bi, aku sudah bisa jalan kok, aku kangen sama Mas Radit, aku mau ke bawah dulu ya, sudah lama sekali gak pernah ke bawah," ucap Dian dengan mata berbinar.

Dian bahagia kakinya sudah bisa digerakkan dan berjalan perlahan meski menggunakan tongkat penyangga. Wanita itu tak sabar ingin kembali menikmati udara segar setelah sekian lama terkurung di kamar, kamarnya berada di lantai atas dan selama sakit Dian tak pernah turun ke lantai bawah. Bahkan untuk sekadar duduk di kursi roda pun wanita itu tak kuat.

"Jangan Bu, jangan ke bawah," cegah Bi Imah, sorot matanya menyiratkan kekhawatiran. Wanita itu juga menautkan jemarinya penuh kegelisahan. 

"Kenapa Bi? Aku mau nyiapin sarapan buat Mas Radit, tolong bantu ya."

Dian berusaha berjalan mendekati anak tangga. 

"Tapi Bu...," sergah Bi Imah dengan wajah pucat.

Belum sempat Bi Imah melanjutkan perkataannya, Dian melihat sebuah adegan yang membuat dadanya kian terbakar di lantai bawah, Raya merapikan kerah baju Radit kemudian lelaki itu mencium kening sepupunya dengan lembut, sungguh pemandangan yang membuat hati Dian mendidih. 

"Apa-apaan mereka?"

Hati Dian dipenuh amarah. Sesak memenuhi rongga dada, jiwanya runtuh seketika, hatinya hancur lebur bagai dipukul palu godam.

Ingin rasanya wanita itu turun dan menghardik keduanya, tetapi sayang ia tak mampu, saat ini dirinya tak berdaya. Tak ingin dimarahi, Bi Imah segera membawa Dian ke dalam kamar. 

"Bi, kenapa mereka begitu dekat?" tanya Dian pada Bi Imah. Netra Dian memanas, tak terasa butiran kristal itu menitik di pelupuk mata lentiknya.

"Maafkan Bibi Bu, Bibi gak berani bilang sama ibu, sebenarnya Bu Raya dan Pak Radit sudah menikah dua bulan yang lalu," jelas Bi Imah sambil menunduk, raut wajahnya menyiratkan penyesalan.

Bagai tersambar petir di siang bolong, hati Dian  terasa ngilu, tubuhnya limbung seketika, tak percaya jika lelaki yang selama ini begitu perhatian padanya dengan mudah meninggalkannya di saat terpuruk seperti ini. 

Baru saja kebahagiaan itu seperti membentang, kini kesedihan kembali menghalang. 

"Menikah?" tanya Dian lirih.

Pantas saja Indira sudah tidak mengurusnya lagi, atau jangan-jangan sedari awal ini memang rencana Indira dan Raya untuk merebut Radit darinya, pikir Dian.

Dian masih pura-pura sakit, hati wanita itu kian perih saat tiba-tiba saja Radit membuka pintu lalu mencium keningnya yang tengah berbaring. Dadanya bergemuruh hebat atas pengkhianatan yang dilakukan suaminya. 

"Mas, ke mana aja?" tanya Dian pura-pura tak tahu apapun.

"Aku sibuk sayang, maaf ya."

Radit mengecup jemari tangan Dian lalu mengusapnya, jika dulu Dian selalu bahagia diperlakukan seperti itu, tetapi kali ini perlakuan Radit laksana sembilu yang terus menguliti hatinya.

***

Hari terus berlalu, kini Dian sudah benar-benar sembuh. Pukul sepuluh pagi ia duduk di sofa, rumahnya nampak sepi karena Radit tengah keluar kota. Hari ini dirinya akan menunjukan bahwa ia sudah kembali sehat seperti semula.

Di waktu yang bersamaan, Raya dan Indira baru saja pulang joging sambil tertawa bahagia, di tangan keduanya penuh dengan barang belanjaan yang dibeli di taman.

Prok ... prok ... prok.... 

Dian bertepuk tangan lalu kembali menyilangkan tangan di dada saat mereka menyadari keberadaannya.

"Rupanya memang ini akal-akalan kalian untuk merebut hartaku?" tanya Dian sambil berdiri, kini dirinya sudah sehat sempurna dan tampil anggun.

"Dian?" gumam Indira dan anaknya berbarengan. Wajah mereka terlihat syok. 

"Kenapa Tante, kaget lihat aku sudah sehat?" tanya Dian dengan senyum menyeringai, wanita itu berpikir hari ini adalah mimpi buruk untuk manusia iblis itu, tanpa dia tahu hal buruk pun akan terjadi padanya.

"Bagus lah kalau kamu sudah sembuh, berarti kamu tinggal pergi dari rumah ini."

Bukannya malu, justru Raya bersikap sombong dan arogan. 

"Rumah ini milikku, jadi harusnya kamu yang pergi dari sini, benalu!"

Dian menatap nyalang dua wanita di hadapannya. 

"Kamu salah Dian, kamu sedang berhadapan dengan Raya, kamu yang akan keluar dari rumah ini, sebentar lagi Mas Radit akan usir kamu."

Bukannya takut dan merasa bersalah, wanita itu justru berbalik mengancam Dian.

"Mana mungkin Mas Radit usir aku?"

Dian melengos dan penuh percaya diri.

Raya dan Indira hanya tersenyum sinis, keduanya saling berpandangan setelah melihat roti dan susu yang tergeletak di meja makan sudah kosong. Entah kejahatan apa yang sedang mereka rencanakan.

Seketika kepala Dian terasa sangat berat, seingatnya tak salah makan apapun. Sejak sarapan tadi ia hanya minum susu dan roti saja. Atau jangan-jangan sebenarnya mereka tahu Dian sudah sehat dan merencanakan sesuatu? Ah, dasar licik. Sedetik kemudian tubuh Dian limbung dan tak sadar apapun. 

Dian terbangun dan mengerjap-ngerjapkan mata agar pandangan terlihat jelas, namun betapa terkejutnya saat ada seorang laki-laki asing yang tidur di sebelahnya dengan hanya bertelanjang dada.

"Apa-apaan ini Dian."

Saat tersadar suara Radit mengejutkannya yang masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, mata Radit memerah dengan tangan mengepal. 

"Jadi begitu ceritanya, Om benar-benar gak nyangka Indira segitu tega sama kamu Dian, kamu yang sabar ya," ucap istrinya Damar setelah mendengar semua cerita Dian. 

"Sebaiknya kamu tinggal saja di sini Dian, Om gak keberatan kok, sekalian nemenin Tante Nurul, kasihan sendirian terus karena Riri di luar kota," usul Damar.

"Andai saja dulu Dian gak nolong Tante Indira sama Raya, mungkin rumah tangga Dian masih baik-baik saja Om." Dian berkata lirih sembari menatap langit-langit.

"Iya Dian, yang berlalu biarlah berlalu, Gusti Allah enggak tidur, orang jahat mah insyaallah nanti juga dapat balasannya, dapat karma-nya," timpal Nurul sambil mengelus Dian.

***

Pagi sekali Dian pergi ke rumah Radit, ada barang berharga yang tertinggal di sana, kebetulan hanya tinggal mengambil saja karena sudah disiapkan oleh Bi Imah.

Bi Imah lebih memihak pada Dian, ia juga dengan suka rela membantunya mengumpulkan bukti kejahatan Indira dan Raya tanpa sepengetahuan mereka. Karena benar saja, fitnah terhadap Dian sudah mereka siapkan dengan sempurna waktu itu dengan cara menaruh obat di sarapannya.

Bi Imah juga bilang, kemarin ada tamu mencurigakan bertemu dengan Raya, Dian harus buktikan bahwa anak yang dikandung Raya bukanlah anak Radit karena ia sangat yakin Raya hanya menjebaknya. 

Sesampainya di rumah Radit, Dian melihat Raya sedang berbincang dengan seorang laki-laki, nampaknya mereka membicarakan sesuatu yang sangat serius.

Dian berusaha mendekati dan mendengar pembicaraan mereka dengan bersembunyi di bawah pohon rimbun yang menjadi pagar taman, namun pembicaraan mereka masih sulit untuk didengar dengan jelas sehingga Dian harus benar-benar fokus.

"Tenang Bu, kasus ini aman selagi ibu masih menuruti kemauan saya, saya sudah mahir menutupi kasus pembunuhan," ucap lelaki itu, ia mencium amplop coklat tebal yang diberikan Raya sambil berlalu.

"Apa pembunuhan? Astaghfirullah jadi Raya terlibat kasus pembunuhan? Siapa yang Raya bunuh?"

Mata Dian melebar, tangannya refleks menutup mulut lantaran tak habis pikir dengan apa yang barusan didengar, hatinya semakin tak karuan. Sebegitu jahat kah Raya sehingga terlibat sebuah kasus kriminal? 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status