Share

Bab 16

"Anisa, beri tahu aku, siapa wanita yang Theo sukai? Kamu tahu dari mana dia menyukai wanita lain?" Clara mulai merasa cemas.

Meskipun yakin kalau tidak ada wanita lain yang dekat dengan Theo, Clara ingin memastikannya sekali lagi.

Anisa menggelengkan kepala. "Aku cuma memberikan pandanganku. Aku nggak tahu apa-apa soal Theo."

Sepertinya kisah percintaan Theo agak rumit, Anisa tidak mau ikut terlibat. Dia hanya mau hidup dengan baik dan melahirkan buah hatinya.

"Aku kira kamu melihat dia sama wanita lain. Bikin kaget saja." Clara pun lega setelah mendengar jawaban Anisa. "Theo bukan pria cocok untukmu. Dia nggak suka wanita dan nggak suka anak kecil."

"Apakah kamu tahu kenapa dia nggak suka anak kecil?" Anisa bertanya dengan hati-hati.

"Sejujurnya aku nggak tahu, tapi aku juga nggak mau tanya. Kalau dia nggak suka, aku nggak akan memberikannya anak." Clara mengerutkan alisnya dan melanjutkan, "Sebenarnya sikap Theo lumayan baik sama aku."

"Yang penting kamu bahagia." Anisa berhenti membujuk Clara.

Cara bahagia setiap orang berbeda-beda, yang penting sanggup bertanggung jawab atas pilihannya.

Anisa merasa Clara sangat bodoh, sedangkan Anisa sendiri juga memilih untuk melahirkan anaknya Theo. Orang lain juga pasti menganggap Anisa bodoh.

Hidangan yang dipesan sudah siap. Anisa sangat kelaparan, dia mengambil alat makan dan langsung menyantapnya.

"Anisa, kamu beneran nggak jatuh cinta sama Theo, 'kan?" Clara tidak nafsu makan.

"Iya." Anisa mengangguk.

Clara tidak percaya. "Kenapa? Dia hebat, tampan, dan kaya raya."

Anisa menatap Clara dan menjawab, "Kalau harus memilih di antara kamu atau dia, aku lebih memilih kamu."

Setidaknya Clara tidak akan memukul Anisa.

Clara terkejut mendengar jawaban Anisa. "An, kamu ...."

Anisa melambaikan tangan. "Aku cuma kasih contoh. Ambil maknanya, bukan objek contohnya."

Setelah mengobrol dengan Anisa, Clara mulai memiliki kesan yang baik terhadapnya. Mengingat ayahnya Anisa yang baru meninggal, perusahaannya yang bangkrut, dan harus berjuang sendirian, Clara ikut berempati atas semua masalah yang menimpanya.

"Anisa, kamu belum lulus kuliah, 'kan?" tanya Clara.

"Tahun depan lulus," jawab Anisa yang baru selesai minum.

"Oh. Aku sudah mendengar masalah yang menimpa keluarga dan perusahaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab melunasi utang perusahaan. Kamu cukup menjaga diri sendiri dan lulus kuliah. Kamu nggak akan bisa menyelamatkan perusahaan keluargamu, jumlah utangnya terlalu besar."

Anisa terdiam mendengar ucapan Clara. Hampir semua orang membujuknya untuk merelakan perusahaan itu, 2 triliun bukanlah nilai yang kecil. Bahkan Maya pun menyerah ....

Namun setiap hari wakil presdir menceritakan betapa bagusnya produk baru. Setelah melewati masa sulit ini, perusahaan pasti akan bangkit kembali.

Sejujurnya ada 2 suara yang berbisik di dalam hati Anisa. Satu suara memintanya menyerah, sedangkan suara lain memintanya berjuang.

Setelah selesai makan, Clara meminta tagihan dan membayarnya. Anisa tidak berebutan bayar karena dia hanya memesan beberapa sayuran sederhana.

"Anisa, minta nomormu dong," kata Clara setelah membayar makan siang mereka.

Anisa menolak dan berkata, "Kayaknya nggak perlu deh? Aku dan Theo bakal bercerai, kita nggak akan ketemu lagi."

Awalnya Clara kesal mendengar penolakan Anisa, tetapi mengingat mereka yang tidak akan berhubungan lagi suasana hati Clara pun terasa lebih baik.

"Em. Orang yang mendampingi Theo adalah aku, hanya aku." Clara melirik Anisa dengan sinis, lalu pergi.

....

Pukul 2 sore, Anisa mengambil hasil pemeriksaan dan kembali menemui dokter.

"Kandunganmu sehat, tidak ada masalah. Kamu mengandung anak kembar yang berbeda jenis kelamin," kata dokter setelah melihat hasil pemeriksaan Anisa.

Anisa tertegun mendengarnya.

"Kamu masih mau menggugurkannya?" tanya dokter sambil tersenyum. "Kemungkinan mengandung anak kembar sangat kecil, seperti memenangkan undian. Bisa dibilang kamu lagi memenangkan undian!"

Perasaan Anisa terasa berkecamuk, dia merasa senang sekaligus khawatir.

Ternyata kembar yang berbeda kelamin!

"Kalau kamu mau menggugurkan kandungan, aku sarankan lakukan sebelum usianya mencapai 3 bulan. Semakin besar usia kandungan, semakin besar pula risikonya. Tidak baik bagi kamu maupun calon bayi." Dokter mengingatkan Anisa agar tidak gegabah membuat keputusan.

"Dok, aku nggak akan menggugurkannya." Kali ini Anisa telah membulatkan tekad.

"Baik. Tolong isi formulir ini," pinta dokter.

....

Setelah semuanya selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore.

Hari ini Anisa bangun lebih awal dan tidak tidur siang, kepalanya terasa agak pusing.

Semua pemandangan, orang, maupun benda di depan Anisa terlihat buram. Dia bergegas masuk ke dalam taksi dan pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Anisa masuk ke kamar dan tidur sampai malam.

Ketika terbangun, Anisa merasa kelaparan. Di saat bersamaan, tiba-tiba ponselnya berdering.

"Anisa, kamu sudah menghubungi kontak-kontak yang aku berikan?" Suara wakil presdir terdengar di ujung telepon.

"Belum, aku hubungi besok." Anisa menghela napas.

"Besok akhir pekan, tidak enak mengganggu mereka. Sebaiknya kamu hubungi malam ini," jawab wakil presdir.

"Oh." Anisa mengangguk.

"Perlu aku kirim lagi daftar namanya?"

"Tidak perlu, aku masih ada," jawab Anisa.

"Kalau begitu kamu hubungi malam ini. Ingat, kamu harus sopan, harus ...."

"Aku tahu, aku tahu. Sudah, aku makan dulu." Anisa tidak tahan mendengar desakan wakil presdir.

"Oh iya, kamu tinggal di mana sekarang? Rumahmu sedang dilelang, 'kan?"

Anisa memandang kamarnya dan menjawab, "Aku sewa rumah. Tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja."

"Baiklah, aku tunggu kabar baikmu." Wakil presdir pun menutup teleponnya.

Setelah makan malam, Anisa kembali ke kamarnya dan mulai menghubungi daftar yang diberikan.

Begitu mendengar namanya Anisa Kintara, semua orang yang dihubungi langsung mematikan teleponnya tanpa menunggu Anisa selesai berbicara.

Dalam waktu 20 menit, Anisa sudah selesai menghubungi semua nomor yang diberikan. Tak ada satu pun yang memberikan respons positif.

Sebelum berjuang, Anisa sudah merasa gagal duluan. Apakah dia benar-benar harus menyerah?

Jika Anisa menyerah, Kintara Group akan lenyap selamanya. Namun kalau tidak menyerah, bagaimana dia harus menyelamatkannya?

Seketika Anisa merasa sangat pengap dan tertekan. Dia mengambil sebuah jaket, lalu keluar dari kamar.

Tak ada seorang pun di ruang tamu. Suasana terasa sunyi dan tenang ....

Anisa membuka pintu rumah, lalu keluar dan menatap ke sekeliling.

Dingin .... Angin malam yang sejuk berembus meniup kulitnya.

Anisa berjalan tanpa arah tujuan. Seketika berbagai kenangan pun muncul di dalam benaknya.

Di mata orang luar, dia adalah putri sulung Keluarga Kintara yang tak perlu mengkhawatirkan masalah uang.

Namun tidak ada yang mengetahui segala kepahitan yang dialaminya. Anisa teringat saat dia kehujanan, harus makan nasi basi, dan tidak ada seorang pun yang memedulikannya saat sakit.

Tak lama sebuah mobil mewah melaju memasuki gerbang vila.

Dari jendela mobil, Theo melihat sebuah sosok kecil dan kurus yang sedang berjongkok sambil memeluk kedua kakinya di bawah lampu taman.

Anisa sedang menangis sampai sekujur tubuhnya gemetaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status