Kos-kosan berwarna abu-abu ini berlantai dua dengan total ada dua puluh pintu. Kos Stefan berada paling ujung lantai dua sebelah kiri. Baru saja memarkirkan sepeda motornya, Stefan yang baru pulang narik malam ini mendapat singgungan dari dua pria penghuni kos.“Kay, gacor apa hari ini?” tutur Frans dengan nada yang dikena-kenakan, penuh dengan ejekan. “Kau lihat mukaku masam dan badanku bau seperti ini. Artinya, orderan sepi sudah pergi dari pagi pulang malam.”Kay dan Frans merupakan mahasiswa di Universitas Yellow. Kalau malam, mereka selalu duduk-duduk di depan kos sambil merokok dan bercerita.“Kos di sini lumayan elit dan cukup mahal. Kami semua mahasiswa lho. Kau tidak malu apa ojol sendirian yang ngekos di sini?” umpat Frans sambil terkekeh.“Kenapa harus malu? Hm, aku kan tidak punya malu.” Kay tergelak sampai tersipit-sipit matanya.Tahu kalau dirinya sedang ditertawakan, Stefan menahan napas lalu menaiki tangga dan tidak mempedulikan ocehan dua orang itu.Tapi, Kay melolong
Minggu pagi ini Stefan bermaksud berkunjung ke rumah Bobby. Dia sudah membeli buah-buahan seperi jeruk, apel, dan anggur untuk diberikan kepada orang di rumah. Bukannya disambut dengan suka cita, Stefan malah tidak begitu dipedulikan.“Lionny, aku punya sesuatu.” Stefan meletakkan dua kantong berisi buah itu di atas meja makan.Bobby yang baru saja habis dari berolahraga berbicara tepat menghadap wajah Stefan. Kumisnya tebal bergetar-getar mengiringi goyangan mulut dan lidahnya. Ada seringai di wajah kerasnya.“Aku dipaksa oleh ayahku untuk tetap mempekerjakanmu, Menantu Sampah! Ingat! Keputusan ini bukan dari kemauanku pribadi, tapi perintah langsung dari Kakek Sanjaya. Jika sekali lagi kau melakukan kesalahan fatal, habis riwayatmu di perusahaan maupun di rumah ini.”Chyntia Dewi yang juga habis dari berolahraga ikut mencibir, ujung alisnya beradu. “Kau tidak perlu tinggal di sini. Kau bikin malu saja. Sakit kuping kami mendengar cemoohan tetangga tentang dirimu yang menyedihkan itu.
Parahnya, seorang OB pun berani memberikan perintah kepada Stefan.Tok! Tok!“Stefan, rekanku tidak masuk karena sakit. Jadi seluruh ruangan di lantai satu dan dua kau yang handle. Sementara aku akan bersih-bersih di lantai tiga saja,” perintah Purwanto.Stefan yang baru saja tiba di kantor pagi ini terkinjat mendengar perintah tersebut. Dia mendekati si OB lalu berujar, “Kau tahu kalau aku seorang programmer di sini.”“Aku sudah dapat perintah dari bos. Kalau butuh sesuatu, silakan meminta bantuan pada Stefan.”Stefan teringat omongan Bobby bahwa dia tidak boleh ada masalah apapun dengan karyawan kantor. Makanya dia tidak bisa mengelak meskipun hatinya menolak untuk melaksanakan tugas dari si OB. Sangat tidak make sense seorang programmer diperintah oleh OB.Purwanto melempar sapu dan alat mengepel ke ruang kerja Stefan, lalu langsung naik ke atas melalui anak-anak tangga. Stefan tak berkutik, jika dia protes keras, pasti Purwanto akan memberikan laporan kepada Bobby.Stefan pun meny
Dari sore hingga malam ini Stefan stay menunggu orderan di tempat biasa, menemani John yang seperti sudah merasa kehilangan seorang teman, padahal baru ditinggal dua tiga hari.“Aku ingin mengumpulkan uang, terus beli laptop," kata John penuh harap.“Kau sekarang kan sudah cukup tahu soal dunia IT. Manfaatkan ilmu kau itu, John.”“Banyak pekerjaan freelance di internet. Lagipula, aku sudah mulai bosan kerja di atas aspal. Kalau bisa aku ingin kerja di depan laptop saja.”“Semangat, Kawan. Beli laptop yang speknya bagus. Biar tidak gonta-ganti lagi.”“Siap!” Tiba-tiba John mengerutkan kening sembari mengusap dagunya. John melemparkan sebuah pertanyaan yang cukup menarik. “Kau kan pintar IT. Seharusnya kau sudah kaya raya, Stef.”Sebelumnya John sudah pernah melempar pertanyaan seperti itu kepada Stefan, atau mungkin jawaban waktu itu belum memuaskan hati John sehingga harus mengulanginya kembali.“Kau harus ingat, John. Aku tidak ingin mencari uang dengan cara kotor. Jika mau, tentu sek
Untuk memastikan kebenaran Stefan, Alifha menemui Grace di rumahnya sepulang dari bekerja, menanyakan problem yang sebenarnya. Apa yang disampaikan oleh Grace sama dengan apa yang disampaikan oleh Stefan. Jadi jelas sudah bahwa mereka tidak mungkin berselingkuh.“Bagaimana Stefan di kantor? Silakan diminum” tanya Grace yang barus saja menaruh dua cangkir teh hangat di atas meja.“Terima kasih, Grace,” tutur Alifha sambil memperbaiki posisi duduknya. Setelah mengeluarkan napas kasar, barulah Alifha menjawab, “Dia diperlakukan tidak pantas oleh banyak karyawan di sana. Aku dengar, Pak Bobby sengaja menyuruh karyawan agar berlaku demikian terhadap Stefan.”“Daripada dijadikan pesuruh dan diejek, mending dia keluar saja dari sana.”“Aku dengar, dia ingin buktikan kepada Pak Bobby kalau dia itu bisa bekerja dengan baik.”“Itu menurut pola pikir dia pribadi, tapi coba lihat keadaan yang sebenarnya. Jujur aku kasihan sama dia. Aku sudah bilang pada ayahku supaya mengusahakan Stefan bisa dite
Belum berhenti sampai di sana. Sore harinya, Stefan dipaksa menjadi sopirnya Erick dalam perjalanan menuju kediaman Bobby. Hanya ada mereka berdua di dalam mobil yang telah disiapkan oleh perusahaan. Entah settingan dari Bobby Sanjaya atau memang kebetulan.“Otakmu rupanya belum sembuh seratus persen, Stefan. Kenapa kau seperti orang bisu? Bagaimana mungkin kau akan menjadi salah satu penerus yang yang bisa diandalkan di Keluarga Sanjaya?”Sambil menyetir dan mengawasi jalanan di depan sana Stefan menjawab. “Kau benar, Erick, seharusnya aku kabur atau mati saja. Apapun yang aku katakan dan aku lakukan sama sekali tidak berguna.”“Sekarang otakmu sudah agak berfungsi dengan baik kalau kau sepakat dengan pendapatku. Lantas, apa tindakanmu sekarang?”Stefan bergeming dan hanya berkutat dengan pikirannya sendiri. Meskipun diam, dia tahu kalau Erick sedang memberikan provokasi.Erick dengan nada sinis melanjutkan, “Sepulang dari sini aku akan menghubungi Kakek Sanjaya perihal apa saja yang
“Hei sini dulu!” pekik Erick yang sedang duduk di lobi bersama Bobby.Stefan membalik badannya, lalu mendekati Erick. “Ada apa, Pak Erick? Ada yang bisa saya bantu?”“Kau main nyelonong saja.”Stefan agak kaget rupanya ada mereka di lobi. “Maaf tadi saya agak buru-buru soalnya ada pekerjaan penting.”“Bersih-bersih atau buat kopi untuk manajer? Santai dulu.”“Bukan. Database server bermasalah. Saya ingin membantu IT yang lain.”Erick bangkit, lalu memberikan tatapan remeh kepada Stefan. “Ingat omongan aku kemarin ya! Camkan itu baik-baik. Sekarang, kau bersihkan dan semir sepatuku! Cepat!”Bobby berdeham, sebuah isyarat agar Stefan segera melakukannya. Seorang OB sudah menyiapkan alat semir dari tadi rupanya, kemudian diberikannya kepada Stefan.Dengan congkaknya Ercik meletakkan kaki kanannya di atas meja. Stefan berjongkok, lalu mengelap debu-debu di pantofel hitam itu. Dilekatkannya sebuah sikat di sebuah wadah bermerek Kiwi, dicocol-cocolkannya.Kemudian Stefan menyikat setiap sis
“Di sini, Mas?” telunjuk driver terlempar ke arah kos-kosan dua tingkat.“Betul, Mas di sini,” jawab Stefan, setelah membayar ongkosnya, dia pun turun. Istrinya juga ikut turun.Dep!Dep!“Terima kasih, Mas,” tukas Stefan sambil melambaikan tangan.Stefan dan Lionny melewati pagar kos, sebelum naik tangga, tiba-tiba Kay dan Frans berjalan agak tergesa-gesa sambil berujar, “Stefan, kami berdua ingin meminta bantuan kepadamu. Ada beberapa tugas kuliah yang sulit.”“Untuk saat ini sepertinya aku tidak bisa membantu kalian berdua. Moho maaf sekali.”“Kami ingin belajar banyak darimu. Kata Alifha, kau sudah membantu Sanjaya Sawit dalam menemukan pelaku peretasan, kemudian menanamkan sebuah program canggih sehingga perusahaan itu tetap aman,” ungkap Kay.“Ajari kami berdua,” Frans memelas.Stefan kembali meyakinkan kepada mereka berdua kalau saat ini dia tidak bisa membantu. “Mungkin lain kali saja. Istriku ingin beristirahat.”Stefan melenggang lalu menaiki tangga. Dibukanya pintu kosnya.