Share

3

Kegalauan berlanjut hingga aku pulang ke rumah. Entah kenapa, aku jadi kepikiran soal keberadaan Berry. Jangan-jangan dia beneran bunuh diri. Ah, nggak. Pikiran dia nggak sedangkal itu. Aku yakin pasti ada alasan yang lebih masuk akal, kenapa dia nggak masuk sekolah hari ini.

"Assalamu'alaikum!" Aku mengucap salam, sembari memasuki pintu utama yang memang sudah terbuka lebar entah sejak kapan.

"Wa'alaikumussalam!" Aku berpapasan dengan Papa dan tamunya, waktu aku berjalan melewati ruang tamu. "Alhamdulillah anak Papa sudah datang. Mitol bisa nggak, Dek? Bikinin minum buat tamu Papa."

"Oke, Pap. Tunggu sebentar, ya. Dedek naruh tas dulu ke kamar." Aku tersenyum sebelum meninggalkan Papa dengan tamunya. Entah siapa itu. Dari bentukannya, usia Papa sama tamunya itu sepantaran.

"Putrimu oke juga ya, Lan. Pantesan istrimu nggak pernah ngomel soal anak-anak. Wong penurut gitu." Samar-samar aku denger tamunya Papa itu berseru takjub akan sikapku. Sontak Papa hanya terkekeh sebagai respon spontan. Sisanya aku nggak denger lagi mereka ngomong apa, karena badanku udah tenggelam di telan pintu kamar.

Setelah menaruh tas dan mengganti alas kaki dengan sendal rumah, dan masih mengenakan baju seragam, aku beranjak menuju dapur. Menyiapkan segelas sirup dingin dan sepiring kue bolu pesenan Mama di kedai kuenya tante Zavina yang memang selalu stand by setiap hari.

Saat semua sudah siap, aku pun langsung membawa jamuan itu ke ruang tamu. Di sana aku lihat Papa dan tamunya tampak asyik ngakak riang. Di sana juga sudah ada Mama dan satu orang lagi wanita sepantaran dengannya. Wah, kayaknya ini acara temu kangen empat sahabat, nih.

"Loh, kok minumannya cuma satu gelas?" Itu suara Mama.

"Maaf, Dedek nggak tahu kalau tamunya nambah satu orang. Dedek bikinin lagi, deh."

"Nggak usah repot-repot, Nak. Tante emang lagi nggak minum minuman yang manis. Takut gula darahnya naik. Kemaren baru periksa, hasilnya lumayan tinggi." Aku mengangguk mengerti saat si Tante bilang begitu.

"Loh, gula darahmu naik lagi, Iz?" Tanya Mama tampak heran.

"Iya, Mbak. Kayaknya mulai sekarang aku musti diet rendah gula. Tadi pagi sarapannya cuma pakai nasi merah." Sahut Tante Iz. Entah Iz apa kepanjangannya. By the way, kayaknya beliau lebih muda dari Mama. Manggil Mama dengan sebutan 'Mbak'.

"Sini, duduk di sebelah Mama." Mama menarik tanganku, menuntunku agar bokongku duduk di sebelah pantat bohainya. Ini nampan masih nempel manis di tangan. Bahkan nemplok di atas paha. Ada apaan nih, Mama mengikutsertakanku untuk bergabung dengan tamunya?

"Kelas berapa sekarang, anak kalian Lan?" Tanya si Om entah siapa namanya.

Papa menoleh ke arahku dengan tatapan "Kamu yang jawab!"

"Kelas dua belas, Om." Jawabku, lalu nyengir semanis gula.

"Wah, sebentar lagi lulus dong. Tinggal enam bulan lagi kan, menuju ujian nasional. Rencananya mau ngelanjutin kuliah di mana?" Tanya Tante Iz.

"Belum tahu, Tante. Ini masih mikir. Tapi, kalau cari yang sesuai passion, saya mau traveling ke berbagai belahan di dunia."

"Pramugari?" Tanya si Om.

"Pilot!" Sontak ke empat manusia lansia itu menatapku dengan sorot yang, entahlah.

"Kamu serius? Alih-alih jadi pramugari, kamu justru mau jadi pilot?" Tanya si Tante.

"Iya, Tante. Itu pun kalau Papa dan Mama ngijinin." Aku melirik ke arah Papa dan Mama bergantian. Mereka kompak tersenyum tanpa ada beban.

"Apapun cita-citamu, kami akan mendukung. Selagi profesi itu sesuai dengan keinginan kamu." Mama mengelus kepalaku lembut, setelah mengucap kalimat penyemangat itu. Demi apa mereka dukung aku?

"Tapi, jangan sampai lupa kewajiban. Kalau suatu saat Papa dan Mama minta kamu pulang, apa pun alasannya, kamu harus pulang." Hadeh! Tetep aja ada udang di balik batu. Aku mengangguk tanpa repot menyanggah.

Obrolan pun terus berlanjut hingga tak terasa waktu sore telah tiba. Aku juga udah ganti baju, setelah percakapan serius beberapa waktu lalu. Hingga ketika seseorang yang pernah dua kali aku temui, muncul dari teras depan. Dia masuk sambil mengucapkan salam sembari tersenyum ke arah kami.

"Barra! Sini, Nak. Kamu baru pulang?" Tante Iz bertanya begitu antusias. Senyum manisnya merekah sejak melihat sosok itu yang dia sebut 'Nak'.

"Iya, Mi. Baru habis ngajar mahasiswa semester enam." Oh, jadi Om Barra itu anaknya Tante Iz dan Om entah siapa namanya itu.

Om Barra kemudian berjalan ke arah Papa dan Mama, menjabat tangan keduanya. Lalu yang terakhir aku. Aku langsung menyambut dan mencium punggung tangannya. Dia tampak kaget melihat aksiku. Sedangkan aku acuh aja. Menurutku nggak ada yang salah kok, dari tindakanku barusan. Aku hanya berusaha bersikap sopan pada yang lebih tua.

"Duh Gusti, lihat nih mukamu kusam begini. Kok ngajarnya bisa sampai sesore ini sih? Emangnya nggak ada dosen yang lain?" Tipe ibu-ibu posesif.

"Haha, ada kok Mi. Cuma kan, kami punya porsi waktu ngajarnya masing-masing. Ini juga sudah sesuai dengan standar." Jawab Om Barra tampak agak lesu. Lalu duduk di sebelah Tante Iz.

Bener juga kali ya, dia kecapekan gitu. Ah, kayaknya dia butuh mood booster, nih. Tanpa banyak cingcong aku langsung ngacir ke dapur. Menuang secawan kecil madu, dan segelas air lemon. Salah satu resep bugar dari Mama.

"Ini Om, diminum. Siapa tahu bisa bikin badan Om Barra lebih segar. Itu resep dari Mama, loh." Ujarku, sambil menyodorkan dua benda itu ke depan wajah Om Barra. Sontak hal itu membuat dia tercengang. Memandang ke arahku sejenak, lalu menerima uluranku. Dengan gestur agak kikuk, dia meminum dua jenis cairan itu secara bergantian. Sesuai dengan arahanku. "Minum air jeruknya dulu, baru madunya."

"Makasih!" Ucapnya, setelah dua jenis cairan itu sudah masuk ke lambungnya.

"Air putihnya mana?" Tanya Mama tiba-tiba.

"Eh, iya. Dedek lupa Ma. Tunggu sebentar ya, Om." Aku langsung berlari menuju dapur. Menuang air putih di atas meja makan ke dalam gelas kecil. Lalu membawanya ke ruang tamu.

Langkahku terhenti di sekat antara ruang tamu dan dapur saat mendengar sebuah pernyataan. "Kayaknya putrinya Mas sama Mbak udah cocok jadi istri." Aku tebak itu suara Tante Iz. Aku mematung seketika. Tiba-tiba mukaku jadi panas. Ya Allah, aku masih bocah, masih bau kencur. Masa Tante Iz bilang aku udah cocok jadi istri? Aku nggak berani taruhan kalau lulus SMA nanti Papa dan Mama malah ngawinin aku sama cowok dari negeri antah berantah mana.

Yang pasti, aku musti wujudin dulu cita-cita muliaku. Dan kalau nggak salah, jadi pilot itu kan punya jam terbang yang lumayan padat. Aku nggak yakin bakal bisa menikah di saat-saat seperti itu.

"Hmmm." Aku berdehem, sengaja supaya mereka nggak ngebahas soal pernikahan lagi. Jujur aja, aku geli sendiri.

"Eh, emmm... Qarmita sudah balik. Em, anu. Mas, Mbak, kayaknya kami harus pamit. Sudah sore banget."

Aku mengerutkan dahi setelah mendengar suara Tante Iz yang terkesan nervous gitu. Sebelum menyerahkan gelas air putih ke Om Barra. Ya elah, itu muka ekspresinya jadi ikut aneh gitu sih? Dia bahkan nggak berani menatapku.

"Oh, iya. Haha, lain kali mampir ke sini lagi ya. Jangan kapok loh. Rumah ini akan selalu terbuka lebar untuk kalian sekeluarga." Itu suara Papa. Gesturnya lebih normal. Nggak terkesan 'mau tapi malu'. Alah! Perumpamaanku ambigu.

"Iya, Lan. Pasti! Lain kali, mungkin kami akan berkunjung lagi. Terimakasih atas jamuannya. Kalau begitu, kami permisi dulu. Assalamu'alaikum!" Sahut suaminya Tante Iz. Aduh, siapa sih namanya? Aku bingung mau manggilnya siapa.

"Wa'alaikumussalam!" Balas kami serempak. Kemudian berjalan keluar pintu, sebagai bentuk tindak kesopanan, mengantar kepergian tamu sampai mobil mereka hilang di ujung komplek.\

"Pap, Om itu siapa sih namanya? Dari tadi Dedek bingung mau manggil siapa. Siapa tahu kan, kalau tiba-tiba papasan di jalan, Dedek nggak bingung lagi."

Papa terkekeh sembari menepuk pelan pucuk kepalaku, sebelum berucap, "Namanya Om Rahil Fahad. Biasanya dipanggil Rahil. Tapi kalau buat Dedek, terserah mau manggil apa."

"Om Rahil aja deh. Biar sama kayak yang lain." Aku membalas senyum Papa, sebelum merangkul lengannya agar kami bisa berjalan beriringan saat memasuki rumah. Sedangkan Mama, aku lihat beliau lebih dulu masuk dan membersihkan meja di ruang tamu dari sisa jamuan.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status