"Kak Raka ke mana, Pak? Ini sudah malam, kenapa kakak belum juga pulang?" tanya Riko, khawatir.
"Coba telfon ke nomornya," saran Reno.
Tut-tut.
"Gimana? Ngga diangkat ya?" tanya Reno.
"Nomornya ngga aktif," jawab Riko.
Mereka semua mengkhawatirkan Raka yang tak kunjung pulang sejak pergi tadi pagi. Raka pamit untuk mencari pekerjaan dengan melamar ke berbagai perusahaan. Namun, hari sudah gelap, tapi tidak ada kabar apa pun darinya.
"Bapak akan mencarinya, kalian di rumah saja," tuturnya.
"Tapi, Pak. Ini sudah malam, Bapak mau nyari Kak Raka di mana?" cegah Reno.
"Di mana saja, kalau perlu pergi ke semua kantor yang kakak kalian datangi," jawabnya.
Setelah perdebatan, Riko dan Reno akhirnya menemani sang ayah mencari Raka bersama-sama. Malam sudah sangat larut, jam tangan Riko yang melingkar di tangan kiri menunjukkan pukul 12.30 malam.
"Uhuk-uhuk"
"Bapak kenapa, Pak? Kita pulang saja ya, bapak pasti lelah jalan terus dari tadi," ajak Reno.
"Bapak ngga apa-apa kok, kita harus mencari kakak kalian sampai ketemu." Beliau tetap bersikeras mencari Raka, tidak peduli gelap dan dinginnya udara malam.
Raka adalah harapan keluarga satu-satunya. Masih ada dua adik yang harus dia biayai pendidikannya. Bagaimanapun, malam ini juga mereka harus menemukan keberadaan Raka.
"Bapak kenapa, Pak?" tanya Riko. Sang ayah memegangi dada, seperti merasakan perasaan yang tidak enak.
"Raka, kamu di mana, Nak? Kenapa perasaan bapak jadi ngga enak, semoga kamu baik-baik saja," batin Pak Nando.
Pak Nando mengajak Riko dan Reno pulang ke rumah. Hari sudah sangat malam, kedua putranya harus bangun pagi untuk bersekolah.
.
Suara kicauan burung terdengar sangat merdu. Dinginnya udara pagi membuat Riko dan Reno enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Andai tidak dibangunkan oleh Pak Nando, mereka pasti sudah terlambat ke sekolah.
"Cepat-cepat, 15 menit lagi bel masuk bakal bunyi. Gerbang sekolah pasti ditutup," seru Riko, mengajak Reno untuk mempercepat kegiatannya memakai sepatu.
"Iya, sebentar lagi," jawab Reno.
Pak Nando hanya bisa melihat tingkah kedua anaknya yang berjalan mondar-mandir mencari sesuatu. Biasanya Raka yang selalu membangunkan dan membantu mereka menyiapkan semuanya. Hari ini, Riko dan Reno sangat kesusahan karena tidak adanya Raka di rumah.
"Makan dulu sarapannya," ucap Pak Nando. Namun, Riko dan Reno sudah berjalan cepat meninggalkan rumah setelah mencium punggung tangan sang ayah.
Yang tadinya suasana rumah begitu ramai, kini menjadi sunyi. Pak Nando masih memikirkan Raka yang belum bisa dihubungi sejak semalam.
Melangkah pergi meninggalkan rumah menuju kantor polisi terdekat. Dalam perjalanannya, beliau berharap bisa bertemu dengan Raka. Namun, tidak pada kenyataan. Kini Pak Nando benar-benar telah berdiri di depan kantor polisi, untuk melaporkan anak sulungnya yang hilang sejak kemarin.
"Selamat siang, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" sapa petugas polisi yang melihat Pak Nando tampak kebingungan.
"Siang, Pak. Saya mau melaporkan kehilangan," jawab Pak Nando. Tangannya gemetar kala membayangkan Raka, takut terjadi sesuatu padanya.
"Iya, silahkan duduk," ucap petugas mempersilahkan.
"Terima kasih," balas Pak Nando, duduk di kursi yang berhadapan dengan petugas tersebut.
"Bapak mau melaporkan tentang kehilangan ya, apa saja yang hilang dan di mana kejadiannya?" tanya petugas. Dia salah tangkap, mengira Pak Nando telah kehilangam barangnya di suatu tempat.
"Bukan saya, Pak, tapi anak saya." Ralat Pak Nando.
"Baik. Jadi, apa saja yang hilang?" ulang petugas.
"Anak saya," jawab Pak Nando. Matanya mulai berkaca-kaca, selama 22 tahun Raka tidak pernah meninggalkan beliau tanpa berpamitan.
"Maksud bapak?"
"Anak saya hilang sejak kemarin," terang Pak Nando.
"Baik, anak bapak laki-laki atau perempuan? Berapa usianya?" tanya petugas mulai menginterogasi, tangannya dengan cepat mengetikkan sesuatu ke dalam komputer.
"Laki-laki, usianya 22 tahun." Pak Nando menjawab semua yang ditanyakan oleh petugas.
"Baik, kami akan memproses dan mencari anak bapak. Setelah menemukannya, kami akan langsung menghubungi nomor bapak," ucap petugas polisi.
Selesai memberikan laporan, Pak Nando kembali berjalan mencari Raka. Tidak peduli terik matahari akan membakar tubuhnya, beliau hanya ingin segera bertemu dengan putra sulungnya itu.
Hari sangat cerah, langit biru menunjukkan keindahan warnanya. Perlahan, rasa sakit membakar tubuh Pak Nando. Sinar mentari yang cerah dan indah itu sangat tidak bersahabat dengan dirinya, hingga membuat Pak Nando jatuh tersungkur di pinggir jalan.
Setengah jam kemudian.
"Bapak harus kuat ya, bapak pasti bisa bertahan. Kita masih belum menemukan Kak Raka," seru Riko.
Riko dihubungi pihak polisi, memberitahukan bahwa Pak Nando pingsan dan akan dibawa ke rumah sakit. Tidak jauh dari kantor polisi terdekat, petugas yang baru saja menginterogasi Pak Nando menemukan beliau tergeletak di pinggir jalan.
Bersama Reno, Riko segera menuju rumah sakit tempat Pak Nando dirawat. Mereka harus meminta izin karena ada hal mendesak yang terjadi di rumahnya. Hampir saja pihak sekolah tidak mengizinkan mereka, tapi donatur sekolah mendengar hal tersebut dan langsung mengizinkan mereka saat itu juga.
"Riko, Reno. Kalian harus menemukan Raka, bapak sudah melapor ke polisi. Maafkan bapak karena tidak bisa menjaga kalian dengan baik, sampaikan maaf dan terima kasih bapak untuk kakak kalian. Dengarkan kata-katanya, jangan terus menyusahkan kakak kalian," lirih Pak Nando.
"Enggak, Pak. Bapak harus ngomong sendiri, bapak pasti baik-baik saja. Kita juga akan segera bertemu dengan Kak Raka," ucap Reno.
Pak Nando menggelengkan kepala, bulir air mulai membasahi pipi. Rasa penyesalan semasa hidup terus membayanginya.
"Bapak takut ngga bisa bertemu kakak kalian, dia ngga pernah seperti ini. Satu pesan bapak, jangan pernah membantah apa pun yang Raka katakan." Itulah permintaan terakhir Pak Nando sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya.
Tiiiiiiiittt.
Mesin detak jantung tidak lagi memperlihatkan grafik indahnya. Hanya garis lurus yang tersisa. Riko segera berlari memanggil dokter, sedangkan Reno terus memanggil Pak Nando dengan menggerakkan badannya.
"Permisi sebentar," ucap dokter.
"Silahkan menunggu di luar ya, Pak," pinta suster.
Cukup lama menunggu, akhirnya dokter dan suster yang menangani Pak Nando keluar ruangan.
"Dokter, bagaimana keadaan bapak saya?" tanya Riko.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi pasien tidak bisa diselamatkan. Pemyakitnya sudah sangat parah karena tidak pernah menjalani pengobatan apa pun," jelas dokter.
"Apa, Dok? Jadi, bapak ... "
Riko segera membuka pintu dan menghampiri Pak Nando. Beliau terlihat pucat dan lemah, Riko memeluk tubuh sang ayah.
"Terima kasih, Dok, karena sudah membantu bapak saya. Kalau begitu saya masuk dulu," ucap Reno.
Saat masuk ruangan di mana Pak Nando dirawat, Reno melihat Riko menangis sambil memeluk tubuh ayah mereka. Reno tidak percaya, kalau orang yang berbaring di hadapannya kini telah tiada.
"Bapak, kita harus jawab apa kalau Kak Raka tanya? Kenapa bapak ninggalin Reno sama Riko?" lirih Reno.
"Kak Raka belum ditemuin, sekarang bapak juga pergi ninggalin kita. Apa yang harus aku sama Reno lakuin, Pak?" isak Riko.
Drrrtt.
Ponsel Pak Nando bergetar di atas nakas. Nomor tidak dikenal tertera di layar. Reno segera menangkat panggilan tersebut.
"Halo, iya, ini nomor Pak Nando. Maaf, ini siapa ya?" tanya Reno saat menjawab panggilan yang terhubung ke ponsel sang ayah.
"Apa? Kak Raka?"
next...
Dua orang pasien dilarikan ke rumah sakit kota. Namun, satu diantaranya telah meninggal dunia. Menurut pemeriksaan rumah sakit, pasien sudah meninggal sejak semalam dan baru ditemukan siang hari oleh warga sekitar. Masih belum diketahui apa penyebab meninggalnya korban, karena tidak adanya bekas tindak kejahatan ataupun kekerasan fisik."Kak Raka, kenapa jadi begini?" isak Riko. Belum hilang rasa sedih, belum kering airmata, kini harus mengetahui kenyataan pahitnya kehidupan."Gimana nasib kita, Kak? Apa yang harus Reno lakuin?" Reno memeluk tubuh sang kakak yang sudah terbujur kaku. Semalaman tubuh Raka kedinginan di luar sana. Siapa yang tega melakukan hal itu padanya?Pergi dengan niat baik, dengan harapan besar pulang membawa kabar baik. Memang benar, diterimanya Raka di Yasashi merupakan keberuntungan yang sangat besar. Namun, Raka harus pulang tanpa nyawa sebelum memberitahukan kabar baik itu kepada keluarganya.Kini tinggal Riko dan Reno, kehilanga
Riko dan Reno memakamkan ayah dan kakaknya di TPU (Tempat Pemakaman Umum) tak jauh dari rumah. Sekarang hanya tinggal mereka berdua, mau tidak mau mereka harus mencari pekerjaan untuk biaya hidup sehari-hari. Riko dan Reno terpaksa putus kuliah. Menyesal, mengapa tidak sejak lama mereka bekerja sambilan, meski dengan cara sembunyi-sembunyi. Setidaknya, Riko dan Reno tidak akan kesulitan seperti sekarang."Bapak, Kak Rama, istirahat yang tenang di sana. Jangan khawatirkan aku sama Reno, kami sudah besar, bisa jaga diri." Riko menaburkan bunga-bunga indah di atas makam ayah dan kakaknya.Meski sakit, mereka harus kuat dan bersabar. Riko yakin, di atas sana ayah dan kakaknya selalu melindungi dan mendoakan yang terbaik untuk mereka."Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Reno pada kakaknya, Riko. Selisih usia mereka hanya satu tahun dan Reno adalah yang paling kecil di antara mereka bertiga."Mungkin aku akan mencari kerja, kuliah tidak bisa dilanjutk
Rama pulih lebih cepat dari dugaan dokter. Maka, dia pun keluar dari rumah sakit lebih cepat. Hanya satu hari setelah dia sadar dari koma dan bangun dari maut. Setelah itu, semuanya seakan menjadi keanehan tersendiri. Bukan hanya orang yang melihat, Rama sendiri pun merasa sangat aneh dengan dirinya. Baik dari segi wajah, penampilan, sikap, semuanya aneh. Seperti bukan dirinya, meski dia sedang kehilangan ingatan. Rama yang awalnya hampir tidak pernah bercermin, entah kenapa sekarang menjadi sering sekali. Bukan karena wajahnya jelek. Wajah tampan Rama bahkan mengalahkan artis papan atas di negaranya. Rasa tidak percaya diri dan ketakutan yang menjadi penyebabnya. Siang itu, saat Rama pulang dijemput Zoe dan Kakek Seno, semua orang menatapnya. Bukan tatapan hinaan dan ejekan yang selama ini dia terima, melainkan tatapan kekaguman seorang fans kepada idolanya. "Wah, coba lihat pria itu!" "Aku baru melihat ada pasien sepertinya. Gagah, berwibawa
Sore hari, di kediaman Kakek Seno.Rama keluar kamar setelah selesai mandi. Suasana rumah tampak sepi, tak satu pun penghuni yang menunjukkan sosoknya. Rama berjalan menuruni tangga, menyusuri area rumah keluarga besar itu.Berkeliling di lantai satu, tidak terasa Rama telah sampai di depan kamar yang memiliki nama. Ruang kerja Haris, begitulah yang tertulis. Karena kamar tersebut adalah ruang kerja ayahnya, Rama memberanikan diri memegang gagang pintu hendak membukanya. Namun, pintunya terkunci. Apa mungkin disimpan kakek?Deru suara mobil terdengar sampai ke dalam. Siapakah gerangan penghuni rumah yang pulang? Clif berjalan mendekat ke arah jendela, untuk melihat si pemiliki mobil tersebut."Paman Joseph," lirihnya.Sepertinya Paman Joseph baru saja pulang dari restoran. Dia memiliki 3 restoran yang tersebar di beberapa tempat. Ketiga anak Kakek Seno memiliki pekerjaan yang cukup memuaskan. Namun, perusahaan yang dirintis oleh orang tua Rama meru
Hari pertama Rama menginjakkan kaki di Yasashi, membuat gempar seisi perusahaan.Ketegasannya dalam mengambil keputusan, membuat para karyawan Yasashi berpikir dua kali mengenai rumor yang beredar tentangnya.Para karyawan senang akan kedatangan Rama di perusahaan, tapi tidak dengan para petinggi. Mereka mulai merasa cemas, rumor yang mereka dengar ternyata salah besar.Rama sama sekali tidak terlihat seperti orang yang memiliki IQ di bawah rata-rata. Sungguh di luar dugaan.Mereka takut, jika kinerga selama bekerja di Yasahi, akan diragukan oleh Direktur mereka yang baru.Namun, bukan hanya orang-orang perusahaan yang dibuat heran. Jauh sebelum mereka, keluarga Rama juga dikejutkan oleh sikapnya yang berbanding 180 derajat dari Rama yang dulu.Meski telah divonis hilang ingatan, Rama sama sekali tidak seperti orang yang kehilangan ingatannya.Sikap tegas, berani juga kepercayaan dirinya jelas bukan Rama Adiyasa yang dikenal selama 26
Kosongnya kursi wakil direktur, membuat Arka terus mendesak Rama. Meski dia memiliki kriteria akan kursi tersebut, Rama tidak akan memilihnya.Masih banyak di luar sana yang mempunyai kriteria layak sebagai wakil direktur Yasashi.Namun, untuk saat ini, Rama belum memprioritaskan hal tersebut.Tok-tok-tok."Masuk""Mona, ada apa?" tanya Rama."Maaf, Pak Direktur. Di bawah ada tamu yang mencari bapak," ucap Mona."Siapa? Sudah ada janji?" tanya Rama lagi."Belum, Pak, tapi dia ngotot katanya temen bapak. Bahkan mau menerobos masuk kalau Pak Direktur tidak segera turun," terang Mona.Rama berfikir sejenak. Bisa saja orang itu adalah teman, yang mungkin bisa membantunya untuk mengembalikan ingatan."Oke, saya turun sekarang." Rama membereskan beberapa berkas yang baru saja diselesaikannya dengan rapih."Tapi, Pak. Bukannya bapak tidak pernah mengizinkan orang yang tidak dikenal masuk ke perusahaan?" tanya Mona
"Siapa, Kak? Kanaya?" Untuk seketika, atmosfer di kediaman Kakek Seno berubah drastis. Panas. Seperti bumi berada dekat dengan sumber panas. "Zoe. Belum tidur?" tanya Rama basa-basi, melihat adik sepupunya ternyata ada di sana. "Belum. Kakak abis dari mana?" tanya Zoe. "Habis bertemu teman - Kak Roy namanya. Kamu tau dia tidak?" Rama masih berusaha mencari informasi tentang Roy dari berbagai sumber. "Oh, Kak Roy? Tau dong, Kak. Dia kan satu-satunya temen Kak Rama, dulu sering kok main ke sini," jelas Zoe. "Seberapa dekat aku sama dia?" Selidik Rama. "Kalau dibilang deket banget sih enggak, tapi Kak Roy orangnya baik. Dia selalu bantuin kakak kalo Kak Arka sama Kak Willy ngerjain Kak Rama," terang Zoe. "Begitu ya? Baik, terima kasih Zoe. Aku pergi ke kamar dulu," pamit Rama. Baru menginjak beberapa anak tangga, Rama berhenti. "Zoe, tunggu." Cegahnya, lalu berbalik melihat ke arah sang adik sepupu. "Iya, K
Peramal itu mengatakan jika keturunan Haris akan mengalami insiden, hingga meninggal dunia. Sedangkan untuk mencegah hal itu, Haris harus mengorbankan dirinya juga sang istri untuk keselamatan keturunan yang dimaksud.Keturunan yang dimaksud adalah Rama. Karena hanya dia satu-satunya putra Haris Adiyasa."Jadi, kecelakaan itu karena-""Ya, dugaanmu benar. Haris memang sengaja melakukannya," balas sang kakek."Siapa peramal itu, Kek?" telisik Rama."Kakek tidak tau. Haris pergi begitu saja tanpa memberitahu kakek lebih dulu," balas Kakek Seno."Lalu, peramalnya? Di mana orang itu?""Kakek juga tidak tau, cuma Haris seorang yang tau keberadaan peramal tersebut. Terakhir mereka bertemu, bukan di rumah ini, tapi di Yasashi," jelasnya.Rama berfikir sejenak. Dia merasa ada bagian yang janggal di sini. Haris mendapat sebuah ramalan, hanya dia dan Kakek Seno yang tau mengenai ramalan tersebut. Sedangkan keberadaan peramal itu sendiri,