Kara melirik arloji, Akhirnya yang di tunggu tiba. Jam istirahat, gadis itu segera menuju kafetaria. Kali ini dia mempelajari denah kantor tanpa perlu bertanya pada Laura. Kaki jenjangnya berayun Lincah. Kara telah memperhitungkan dengan cermat, uang warisan dari bu Mila cukup bertahan sampai gaji bulan depan.
Leher jenjang Kara menjulur mencari keberadaan Feli. Dia telah berjanji dengan Feli untuk bertemu di kafetaria. Sebagai karyawan baru, mereka belum memiliki teman. Apalagi Kara, tidak mungkin berteman dengan Laura, berat.
"Hei ... lehermu menyaingi jerapah," sapa Feli yang telah berdiri di samping Kara.
"Aku bahkan tidak mendengar kedatanganmu," cibir Kara pura-pura merajuk yang di sambut tawa Feli.
"Kita mengantri di sana, yuk," tanpa menunggu jawaban Kara. Feli menarik tangan Kara, beberapa karyawan pria melirik ke arah mereka berdua dengan minat. Dua karyawan baru yang menawan.
Keduanya telah tiba di meja dengan makan siang yang telah tertata di atasnya. Feli membenarkan cepol rambutnya sambil menatap Kara.
"Kara, apakah kamu telah mendengar gosip?" bisik Feli sambil pura-pura sibuk menyendokkan sup. Dia menghindar terlihat tampak sedang bergosip.
"Tentang apa?" Kara melakukan hal yang sama, Mmreka berusaha terlihat tidak mencolok.
"Customer service lantai 40, tidak pernah bertahan lama. Terakhir hanya bertahan tiga bulan, Itu termasuk rekor terlama," ucap Feli dengan wajah tampak prihatin.
"Tidak mengejutkan bagi ku, tapi aku tertarik memecahkan rekor lebih lama dari itu,"
"Ugghhh, aku suka wanita penuh tekad seperti mu, Kara!" Feli menjetikkan jari kearah Kara menunjukkan dukungan.
Kara menaikkan kedua alisnya dengan tangan bersidekap. Dia menunjukan gestur penuh percaya diri. Pembicaraan mereka terhenti ketika ada beberapa karyawan pria menuju ke meja kosong di sebelah keduanya.
Pukul 14:00 akan ada meeting, perusahaan Global Angkasa Jaya akan mengirimkan perwakilan untuk presentasi. Kara akan menyambut mereka, Menyiapkan keperluan meeting dan selanjutnya tugas sekretaris Laura. Tidak terlalu berat, Dia tidak akan mengalami kesulitan.
Sebelum jam dua siang, perwakilan Perusahaan Global Angkasa Jaya telah tiba. CEO ternyata seorang wanita yang anggun. Dia ramah dengan penampilan menarik, Sejujurnya dia bukan wanita cantik tapi ada aura yang membuat Kara terpana. Aura kecerdasan berbalut ambisi yang kuat.
Kara mengarahkan mereka ke ruangan meeting, Garvin dan sekretaris Laura telah ada dalam ruangan. "Namanya 'Eleanora', aku akan mengingatnya dan menjadikan dia inspirasi dalam hidup," gumam Kara. Untuk pertama kali dia bertemu dengan pribadi yang membuatnya terpesona.
Garvin melirik Kara yang berbincang sebentar dengan Eleanora, Kara tersenyum manis kepada Eleanora. "Ku pikir dia tidak bisa tersenyum dengan manis," gerutu Garvin dalam hati.
Kara meninggalkan ruangan meeting, Bergegas kembali ke mejanya. Ada beberapa pekerjaan yang telah menanti. Dia bisa menarik kesimpulan dari apa yang disampaikan Feli, "Laura akan melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan customer service, Entah untuk apa. Bukankah seharusnya membantu pekerjaannya?"
Trrrtttt... Trttttt
Kara melihat layar handphone, Elang. Bibirnya membentuk senyuman. Sebuah pesan untuk bertemu kembali. Gadis itu lalu mengetikkan nama kafe yang dilihatnya tidak terlalu jauh dari kantor, Dia akan bertemu dengan Elang sepulang kerja disana.
Garvin baru saja menyelesaikan meeting dengan perusahaan Global Angkasa Jaya, Perpanjangan kerjasama kembali. Ketika keluar dari ruangan meeting. Garvin melihat Kara mengangguk hormat. Rambut lurus, manik hitam dengan bibir sensual. Rasanya dia ingin menarik Kara dari meja kerja lalu memeluk erat. Hanya sedikit kewarasan melarang Garvin melakukan itu, "Dia bukan Amara."
Sekretaris Laura yang masuk membuyarkan lamunan tentang Kara, Dia tersenyum manis. Berdiri di samping Garvin dan menyodorkan setumpuk berkas. Garvin mengambilnya dan memberi isyarat tidak ada lagi yang perlu di sampaikan Laura.
Gadis itu sedikit kecewa tapi Garvin menggubrisnya, Laura adalah putri sahabat orangtuanya. Garvin tahu gadis itu tampak tertarik padanya. Apalagi sejak kematian Amara, tapi Garvin tidak memiliki perasaan lebih.
Leonard datang memberikan Garvin laporan, Bibir Garvin tertarik keatas membacanya. Dia tampak puas dengan kerja Leonard yang cepat, "Bukan hal sulit mencari jati diri gadis itu, Apalagi tinggal satu kota," gumam Leonard.
Asisten Garvin tersebut mohon diri setelah memberikan laporan,"Kara, Adalah seorang janda." gumam Leonard. Gadis itu masih menggunakan alamat bu Mila, Leonard dengan mudah melacak keberadaannya. Kemudian menemukan benang dan urutan asal keberadaan Kara. Hanya satu yang belum diketahui alasan mereka cerai, Tak ada yang menceritakan hal itu.
"Gadis itu janda, Berasal dari kota B. Jelas tidak memiliki kaitan dengan Amara," Garvin mengelus dagunya. Terjawab kenapa dia masuk kuliah lebih lama, Sepertinya karena menjalankan pernikahan. Kara baru melanjutkan kuliah ketika bercerai dari suaminya.
Garvin melirik arloji sudah waktunya pulang, Dia tertarik melakukan sesuatu. Langkahnya lebar menuju meja Kara. Melewati sekretaris Laura yang baru saja hendak menyapa. Pria itu meneguk saliva ketika mendapatkan meja kerja Kara kosong. "Apakah 'narcissus' itu bisa menghilang dalam sekejap," bahkan jarum panjang baru berlalu empat langkah dari angka 12.
Kara merapikan rambutnya, Dia tersenyum ke arah Elang sambil menyerahkan menu. Hari ini Elang menggunakan kaos putih, jeans, kets dan topi. Penampilannya menegaskan sekali dia masih mahasiswa.
"Kamu tidak mengatakan kalau sudah kerja, Kara," ucap Elang yang menerbitkan tawa kecil pada Kara.
"Apakah kamu menyesal karena aku ternyata lebih tua?"
"Tidak, Justru aku minder,"
"Aku baru masuk kerja hari ini. Tidak perlu minder," ujar Kara yang di sambut Elang dengan mata berbinar. Dia mengagumi Kara, gadis yang ditemui kemarin, sekarang tampak lebih dewasa dengan pakaian kerja.
"Selamat ya, Kara. Paraduta Group adalah perusahaan besar pasti tidak mudah diterima menjadi karyawan disana,"
"Faktor keberuntungan," jawab Kara singkat. Ya sebuah keberuntungan karena dia tidak perlu melewati banyak tahap untuk memasuki Paraduta Group.
Kafe mulai tampak ramai dengan para pekerja yang baru pulang bekerja. Kara masih menata makanan yang diberikan waitress. Dia membantu Elang membersihkan sendok dan garpu milik pria muda yang tampak menggemaskan bagi Kara.
"Makasih, Kara. Kamu baik sekali,"
Kara baru akan membalas perkataan Elang ketika telinganya mendengar suara familiar yang di dengar hari ini.
"Kami akan menggunakan meja di sana,"
Dua pria menghampiri meja kosong yang dekat dengan Elang dan Kara. Siapa lagi kalau bukan Garvin dan Leonard, pegawai kafe dengan cekatan mempersilakan Garvin dan Leonard. Siapa yang tidak kenal dengan mereka berdua.
Kafe ini berada tidak jauh dari Paraduta Group, selalu ramai dengan para pekerja tapi jarang sekali petinggi perusahaan mampir untuk makan kesini. Kedatangan Garvin dan Leonard jelas disambut mereka. Bahkan manager kafe turut menghampiri keduanya.
"Kara, bukankah mereka dua bapak aneh di restoran kemarin?" tanya Elang dengan nada rendah tapi melihat perubahan wajah Garvin. Jelas dia mendengar perkataan Elang.
"Dia, atasan ku," bisik Kara sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Elang.
"Jadi kamu mengenalnya?"
"Iya..." Kara terdiam sesaat, "Selamat sore, pak Garvin."
Garvin menoleh sesaat lalu mengacuhkan Laura, "Sial, pria aneh," rutuk Laura dalam hati. Dia tidak terlalu memperdulikan Garvin lagi. Melanjutkan berbincang dengan Elang lebih menarik daripada berurusan dengan Garvin.
Tanpa Kara sadar, Garvin memegang kuat daftar menu di tangannya. Dia geram mendengar suara manis Kara kepada pria muda didepannya, Leonard melihat tingkah Garvin. Segera dia menulis pesanan mereka.
"Konyol, Seorang Garvin harus bersikap seperti ini," cibir Leonard dalam benaknya. "Kehilangan Amara selain mengambil hati dan separuh jiwanya, Juga menghilangkan seprauh logika dan kewarasannya sepertinya," pikir Leonard dalam benaknya.
Dia harus bersyukur, Garvin tidak tahu apa yang ada di benak Leonard. Dia bukan orang yang baik ketika marah.
"Mengapa aku harus kehilangan sesuatu, saat aku berpikir sudah berada di genggaman," dengus Kara kesal. "Kehilangan? suatu hal yang harus mengajarkan arti menghargai," sahut Feli dengan bijak seakan menceramahi remaja yang baru putus cinta. "Huh... aku kesal sekali," sungut Kara, dia mengaduk-ngaduk spagheti tanpa minat. "Aku berani taruhan, kamu pasti segera mendapat ganti dengan mudah," "Hmmm..." Sejak pertemuan terakhir di kafe sore hari, Elang tidak pernah menghubungi Kara. Berapa kali Kara menghubungi Elang tapi tidak mendapatkan respon. Dia dan Feli juga mendatangi coffe shop Elang di mall 'Paradita' tetapi sudah tutup. Kara mendengus, Dia kehilangan kesenangan. Elang tampan, muda dan aromanya wangi. Jauh sekali dengan aroma Bastian. Seringkali bau keringat dan alkohol, Menyebalkan. "Mengapa. dia tidak pernah menghubungi ku lagi?" tanya Kara kembali. Feli memandang sesaat temannya lalu mengaduk teh di depannya.
"Pria itu seperti devil bertopeng angel. Mereka mengangkatmu tinggi ke angkasa lalu menghempasmu ke bumi, bahkan tanpa rasa ampun," kata Kara sinis. Di sebelahnya Feli menyimak sambil menikmati makan siang. Kafetaria ramai seperti biasa, Kara tak memperdulikan suaranya akan terdengar oleh pengunjung lain. "Jadi kamu keluar dari apartemen itu tadi malam?" tanya Feli dengan nada rendah. Dia mengamati wajah Kara yang tampak kesal. "Ya ... security apartemen mengatakan aku diminta keluar oleh penyewa, Arjuna bahkan memutuskan hubungan kami begitu saja. Apakah ciuman ku begitu buruk sampai dia mengambil keputusan ketika kami selesai berciuman?" "Menyedihkan," kata Feli mencoba bersimpati walau dia merasa geli. "mungkin Kara lupa menggosok gigi ketika mereka berciuman," batinnya dalam hati. "Padahal dia begitu tampan." ujar Kara sambil memegang kedua pipinya membuat Feli menggelengkan kepala melihat temannya. Feli memutar bola mata. "Kamu memang tak
"Dia terluka?" "Sedikit...." "Sedikit, katamu? dia sampai pingsan... bahkan siput pun bisa lebih lincah darimu, Leonard! sampai hal seperti ini harus terjadi," hardik Garvin membuat Leonard tertunduk. Tak ada kalimat pembelaan yang sudi di dengar Garvin dari mulutnya. "Maaf, Pak," mohonnya sekedar menyudahi kemarahan Garvin. "Cari rumah mantan suaminya, berikan pelajaran!" "Baik, Pak." Leonard bergegas keluar dari apartemen mewah tersebut, Dia menggerutu sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Dia berhasil menghajar suami Kara tapi justru di hajar Garvin, Hanya karena menggendong Kara yang pingsan masuk ke apartemen. "Aku memerintahmu menjemput Kara bukan menyentuhnya, Tolol!" maki Garvin. Garvin menatap cermat wajah rupawan yang terbaring tak berdaya. Edward, dokter pribadi Garvin baru saja memeriksa Amara dan tidak menemukan hal yang mengkhawatirkan. Garvin bernapas lega, dia tidak mau Kara terluka. Kara
Keesokan harinya Kara berangkat ke kantor lebih awal, dia memilih menggunakan ojek online. Pemandangan yang tidak biasa untuk penghuni Paradise Place menggunakan ojek online, Terlebih dalam balutan pakaian kerja. Tentu saja Kara harus berhemat karena jarak Paradise Place cukup lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. "Shit, dia memiliki pria lain lagi Leonard!" Leonard mengusap wajahnya ingin memaki, "Dia menggunakan ojek online, pak. Perhatikan jaket dan tulisan besar di jaket tersebut!" sebuah makian yang hanya sanggup keluar dalam benak. "Itu... ojek online, Pak," sahut Leonard sebelum Garvin menyuruhnya memberi perintah untuk menjauhkan pria tersebut dari Kara. "Atur penjemputan untuk Kara, besok!" "Maaf... apakah tidak terlalu mencolok bagi seorang karyawan baru, pak?" Garvin menatap sangar Leonard, membuat pria berkulit putih itu harus memutar otak mencari alasan, "lebih baik menggunakan jemputan komersil yang bisa di bay
"Mendiang istrimu?" Kara menatap Garvin, dia menuntut lebih dari sekedar jawaban kali ini. Garvin pernah bersumpah di depan makam Amara untuk menutup rapat hatinya, namun ketika melihat Kara. Dorongan untuk memilikinya merenggut setiap waktu dalam kesehariannya, dia tersiksa ketika gadis itu bersama pria lain. Keinginan itu semakin mencuat ketika Kara berada dalam apartemen bersama Arjuna. Kini dia harus mengambil keputusan, Garvin akan menikahi Kara. Dalam hatinya dia tidak melanggar sumpah tapi 'membangkitkan' Amara dalam diri Kara. Cintanya yang tak pernah pergi dalam hidup Prabu Garvin. "Ya, dia mirip sekali denganmu Kara," tangan Garvin terulur memegang dagu Kara, membelai dengan punggung tangan. Refleks Kara mundur, instingnya merasakan ada sesuatu berbeda yang di rasakan Garvin. Ruangan tempat Kara berada saat ini dalam suhu normal, tapi gadis itu bergidik merasakan ketakutan samar yang belum mampu dijelaskan. Bagaimana pun melihat orang lain y
"I won the jackpot." teriak Kara sekuat tenaga. Lamaran atau tawaran yang sebenarnya disampaikan Garvin tak menjadi soal bagi Kara. Bahkan tanpa cincin pengikat, Kara tak perduli. Detik berikutnya, dia melompat kegirangan di atas ranjang dalam kamarnya yang bernuansa modern di apartemen Paradise Place. Seperti menemukan Oase bagi pengembara yang telah di dera haus berjam-jam, perasaan Kara saat ini. 26 tahun hidup dalam serba kekurangan, hari ini deretan nol di belakang angka tertera di saldo rekening Kara. Tubuhnya bergetar karena serangan bahagia, perasaan ini tak pernah hadir sebelumnya. Aroma uang terasa menggelitik hidungnya, aku rasa sekarang terkena serangan panik. Aku tak sabar, tak sabar ingin menghamburkan uang. Berbelanja tanpa melihat price tag, selamat tinggal flash sale, diskon, apalah itu. Sekarang dia merasa asing dengan kata-kata yang dulu bagai kata keramat bagi dirinya. Selanjutnya Kara menyambar pouch makeupnya, "apakah Garv
"Apa? bertemu dengan orangtuamu?" mata Kara membulat. Detak jantungnya berpacu secepat kuda balapan. aduh, aku harus bersikap seperti apa? ah sudahlah, pernikahan selain mendatangkan suami maka sepaket dengan mertuanya. Semoga kali ini dia normal tidak sama dengan mertua Bastian. "Malam ini, aku akan menjemputmu pukul tujuh malam" bisik mesra Garvin di telinga Kara. Hembusan hangat dan wangi aroma Garvin membuat gadis itu merinding, dia menjulurkan kepala melihat meja Laura tapi si belut listrik tidak ada. Kara khawatir ada Laura atau Leonard yang mempergoki mereka berdua di kantor "Iya, pak," "Jangan panggil 'pak' jika kita hanya berdua, Amara biasa memanggil sayang atau honey," "Baik, sayang," jawab Kara. Panggilan sayang tanpa makna, dia tidak merasakan apapun selain suara yang berputar di kepalanya.Aku akan melakukan apa pun yang kamu minta, Jika itu syarat menjadi kaya. Selamat tinggal hidup serba kekurangan yang
Sore hari di kafe Black and White, kafe kasual dengan nuansa hitam putih laksana bidak catur. Membuat pengunjung serupa pion yang siap digerakkan oleh pemainnya. Di sanalah selepas pulang kantor, Kara dan Feli duduk berhadapan dengan secangkir kopi dalam genggaman jari-jari lentik mereka. "Jadi kamu akan resign?" tanya Feli, dia mendekatkan wajahnya ke arah Kara. Seakan ada yang akan menguping pembicaraan mereka, "apakah kamu menemukan tempat menarik dibandingkan Paraduta Group?" "Bisa dikatakan ya tapi bisa juga tidak, aku ha-nya. Ada hal yang menarik membuat ku memutuskan mengajukan resign," Kara teringat ucapan Garvin, dia tidak boleh menceritakan pada siapapun. "Kamu tidak mempercayai ku?" Feli menyesap kopi perlahan, menikmati setiap tegukan yang mengalir di tenggorokan. Intuisi dirinya mengatakan Kara menyimpan rahasia, rasa penasaran dalam dirinya meluap menginginkan sebuah jawaban. Di sisi lain dia sadar Kara mempunyai hak untuk tidak berbagi.