Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu
“Eleanore, bangun.”
Sebuah tangan menggoyang-goyangkan badan Ele perlahan. Orang itu memanggil nama Ele selama berkali-kali tepat di telinganya. Sementara itu, sosok yang dipanggil memilih menarik selimut untuk menutupi kepala. Tubuhnya menggigil kedinginan kala selimut itu kembali disibak untuk membuatnya bangun.
“Bangun, ayo. Kakak sudah membuatkan sarapan untukmu.”
Ele mengumpulkan kesadarannya kala menangkap suara itu. Meski nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, Ele seketika terlonjak bangun dan mendapati Reynold sedang tersenyum cerah di tepi kasurnya.
Sejak kapan kakaknya ada di rumah?
“Kak, kau sudah pulang!” teriak Ele. Sesegera mungkin Ele mengalungkan lengannya ke tubuh kakak satu-satunya itu. Kerinduannya membuncah karena sudah berbulan-bulan ini kakaknya tidak pulang ke rumah. Sang Kakak selalu bepergian ke luar kota bahkan ke luar negeri
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Aku mau ke pantai.” Ele memakan potongan bacon dan omelet ke mulutnya secara bersamaan. Mulut penuhnya ia paksakan untuk berbicara sementara Sang Kakak menyodorkan segelas air putih untuknya. “Pelan-pelan, Ele,” tegur Reynold. Di sebuah pagi yang tenang, Eleanore dan Reynold menghabiskan sarapan bersamanya di kamar ibu. Sosok ibundanya terlihat memakan masakan Reynold dengan lahap. Ele melirik ke arah ibunya yang tertawa saat anak sulungnya menegur yang bungsu. Seingat Ele, Sang Ibu jarang sekali terseyum akhir-akhir ini. Nafsu makannya juga turun derastis. Biasanya ibunya hanya makan satu dua sendok. Itu pun dengan paksaan darinya dan perawatnya. Akan tetapi, kali ini ibundanya dengan senang hati makan dengan wajah berbinar. Ini berarti ibunya sangat senang dengan kedatangan Reynold. “Sepertinya dia pemuda yang baik ya?” tanya ibu. Ele tersenyum men
Eleanore dan tongkatnya berjalan di antara pasir putih pantai yang terhampar luas. Van mengekorinya dari jarak lima meter di belakangnya. Meski khawatir jika salah melangkah, tapi seperti biasa, gadis itu dengan keras kepala menolak bantuan perawatnya. Dari pada ia meledak lagi, Van memilih menuruti saja kemauan Ele dan berjalan di belakangnya sambil mengawasi. Kendati Ele menolak bantuan Van, namun diam-diam ia menuruti perawat tersebut saat Sang Perawat memberikan aba-aba kepadanya. Netra pria itu terpusat gadis yang berjalan tertatih dengan rambut yang tertiup angin laut. Van memandang tubuh kurus Ele yang tertutupi sweater putih oversize. Sweater kebesaran itu membuat tangan Ele menghilang di baliknya. Membuatnya terlihat menggemaskan. Van merasakan dorongan untuk memeluknya dari belakang. “Ele, ada seekor anjing di depanmu,” ujar Van memperingatkan. Kaki Eleanore menabrak tubuh anjing kecil itu. Anjing itu menggonggong dan menji
“Tora?” Sosok yang dipanggil seketika menolehkan kepalanya ke sumber suara. Tora atau Van terkejut dengan keberadaan sobat karibnya yang tengah berdiri di belakangnya. Mata sipit sahabatnya beradu pandang dengannya yang menatapnya kaget. Sedetik kemudian sahabatnya itu terlonjak dan merangkul pundak Tora dengan tangan kanannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Van. Ia balas merangkulnya sejenak kemudian melepaskannya. “Aku sedang menginap di penginapan dekat pantai ini. Sudah 3 hari aku di sini. Ada dance battle yang diadakan besok. Kau harus datang dan melihatku membawa pulang pialanya.” Ghani mengatakannya dengan sumringah. “Omong-omong, untuk siapa es krim itu?” Ghani menatap dua buah es krim di masing-masing tangan Van. Van tersenyum simpul membayangkan ekspresi seperti apa yang akan ditunjukkan Ele nanti saat memakan makanan manis ini. Ia harap Ele mau tersenyum lagi setelah ini. “Ini untuk Eleanore,” jawab Van. “Kami sedang
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Samar-samar Ele merasakan udara dingin menerpa bahu telanjangnya. Kesadaran lambat laut membangunkannya ketika ia merasakan sesuatu yang basah dan hangat menyapu bahu kirinya. Ele mencoba menajamkan fokus, perlahan-lahan membuka kelopak mata dan menyadari apa yang sedang terjadi. Tora mengecup dan pelan bahunya yang sudah tak tertutupi selimut. Ele memandang wajah ngantuk kekasihnya yang saat ini menurutnya terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dari sebelumnya. “Tora,” gumam Ele. Sosok yang dipanggil itu terkekeh di belakang Ele. Tawanya terdengar serak. Menandakan jika dirinya juga baru saja bangun. Sama seperti Ele. “Aku bertanya-tanya...” Kecupan putus-putus yang Tora bubuhkan menjalar dari bahu menuju tulang selangka gadisnya. Pemuda itu perlahan memutar tubuh Ele sehingga menghadapnya. “Berapa lama aku harus mencium kelinci manis ini agar ia mau bangun,” ucap
“Tt… Ttor… Tora…” Sosok yang merasa nadinya nyaris diputus menjadi dua itu menyambar jemari gadis yang tengah terpejam matanya. Ia tidak bohong. Rasanya nyawanya seolah terlepas dari raga kala bibir Eleanore menggumamkan namanya dengan terbata. Ia masih tak menyangka bagaimana bisa namanya lah yang keluar saat gadis itu sedang berada pada alam bawah sadarnya. Dari sekian banyak orang di hidupnya, mengapa Ele memanggilnya? Apakah sedalam itu luka yang ia torehkan sehingga mantan kekasihnya itu tak bisa melupakannya bahkan setelah sepuluh tahun berlalu? Van meremas dan mengusap jemari kurus Ele secara perlahan. Pria itu menatap penuh harap padanya. Berharap Ele lekas membuka matanya secepat mungkin. “Eleanore, bangun lah,” bisiknya tepat di telinga. Ia memandang tubuh Ele yang bergerak gelisah dalam tidurnya. Pria itu kemudin membelai surai hitam pekat milik gadisnya yang berkeringat. Tanpa ragu ia menghapus peluh di dahi Ele. Mengikuti pergerak
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Kak, antarkan aku. Aku terlambat!” Ele berbicara dengan Reynold dalam telepon. Semalam Sang Kakak kembali ke kantor tempatnya bekerja karena masih ada sisa pekerjaan yang perlu dibereskan. Sang Kakak memang sering menginap di kantor karena lembur, meninggalkannya dan Sang Ibunda sendirian di rumah. Ayahnya juga sama saja. Ayahnya biasanya hanya pulang tiga hingga lima kali dalam sebulan. Membuat Ele semakin muak padanya. “Iya. Cepat lah! Tora tidak bisa menjemputku.” Ele mendengar ungkapan kekesalan kakaknya karena Tora tak dapat meluangkan waktu untuk menjemput Ele, padahal pemuda itu sudah berjanji sebelumnya. Ele kemudian mendengus mendengar ucapan Reynold dalam sambungan telepon. Sudah seminggu ini kakaknya membujuknya untuk memutuskan hubungannya dengan Tora. Meski menurut Ele saran Sang Kakak sungguh konyol, namun ia mencoba memahami karena mungkin kakaknya ha
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Cari lah kamar, Love Bird! Banyak jomblo di sini!” Ghani memukul kepala Tora dengan buku menu. Sosok yang dipukul membalasnya dengan geraman dan umpatan yang fasih terlontar dari mulutnya. Ghani yang diumpati hanya terkikik begitu saja. “Mau, Babe?” tawar Claudia. Tangan kekasihnya itu meraba paha Tora. Ia mengusapnya berulang-ulang menggoda. Sayangnya, entah mengapa Tora tidak terpengaruh sama sekali. “Lain kali saja,” gumam Tora malas. Pemuda itu mengecup pipi kekasihnya pelan sembari menarik tangan Claudia dan menjauhkannya pelan-pelan. “Terserah kau saja lah,” balas Claudia. Claudia menyalakkan sebatang rokok dan menyesapnya. Asap mengepul keluar dari belah bibir dan hidungnya. Ia menyerahkan batang rokok itu pada Tora sembari mengedikkan kepalanya. Kode itu ditangkap oleh Tora. Ia mengambil alih dan menyesap rokok itu dengan kuat. “Okay,
“Aku pergi dulu, Eleanore. Jaga dirimu baik-baik.” Yuna mengacak-acak rambut Ele dengan jemari lentiknya. Sudah hampir seminggu wanita itu selalu datang ke rumah Ele. Sejak kejadian percobaan bunuh diri sepekan lalu, Yuna jauh lebih protektif dari sebelumnya. Ia selalu datang di pagi hari dan pulang sore hari. Semuanya ia lakukan demi menemani Ele yang menurutnya, mentalnya tengah terguncang. Lain dengan Yuna yang kerap menampakkan rasa pedulinya secara terang-terangan, Ele malah cenderung berhati-hati dengan sikap ramah yang ditunjukkan sahabatnya itu. Memang Yuna mungkin jadi satu-satunya orang yang mau berbaik hati menjadi teman dekatnya, namun Ele masih sulit untuk terlewat percaya dengan kebaikan yang ditunjukkan Yuna. Seperti halnya kali ini di mana Ele mendengus dan menjauhkan tangan Yuna sejauh mungkin dari rambutnya. Ia bahkan masih risih jika seseorang menyentuh rambutnya terlalu lama. “Van, jaga Ele dengan benar. I’m watching you.” Van terk