“Akira ... Can datang menemuimu, Sayang ...”
Akira terkesiap. Bahunya menegak, menatap pantulan dirinya di cermin rias hadapannya dan menghentikan gerakannya merius wajahnya mendengar teriakan dari Nyonya Erdem.
Suara itu masuk karena Akira tidak menutup pintu kamarnya.
“Can?!” pekiknya dengan binaran bahagia.
Tanpa memedulikan dirinya yang masih memakai bathrobe berwarna putih, Akira beranjak dari tempat duduknya dan nyaris berlari menuruni anak tangga.
Can sudah berdiri dengan sangat tampan, berbalut jaket kulitnya, bersama Nyonya Erdem yang menggeleng lemah dengan penampilan Akira. Helaian rambutnya sedikit terayun dengan gerakan cepat.
“Can!”
Pria itu tertawa kecil dan membalas pelukan Akira yang melingkarkan kedua tangannya di leher Can. Ia memeluk pinggang ramping itu dengan sedikit usapan lembut di punggungnya.
Nyonya Erdem menepuk keningnya
Setelah menikmati suasana yang ada dari atas kastil dan mengambil banyak potret. Can dan Akira memutuskan beristirahat sejenak di kedai sambil menikmati teh hangat dan beberapa camilan untuk mereka.“Kau menikmati minumanmu?” tanya pria tampan itu duduk berhadapan dengan Akira.Perempuan itu menatapnya dengan senyum manis. “Aku lebih menikmati di saat kau bisa tersenyum untukku,” balasnya membuat Can terkekeh pelan.Akira menatapnya lekat. “Aku berkata sungguhan. Cobalah kau tersenyum di saat aku sedang menikmati teh hangat ini. Aku sudah menyimpulkan semakin menikmatinya,” sambungnya menghadirkan senyum manis Can.“Ah, kau ini, Can! Seharusnya tunggu aku meminumnya lagi,” ucapnya setengah kesal yang langsung membuat Can tidak bisa menahan tawanya.Perempuan itu dan dirinya sibuk menikmati minuman dan camilan yang mereka beli. Sesekali tatapan Can beralih ke arah pengunjung kedai yang datang.
“Apa kau tau tempat ini, Ayse?”Perempuan itu mengulas senyum manis dengan desiran halus mengalir dalam tubuhnya. Ia memerhatikan Can yang melakukan panggilan video dan menggerakan kamera depan untuk memperlihatkan latar yang ada di belakang tubuh pria tampan itu.‘Yayasan?’Can mengangguk dengan senyum hangatnya. “Benar. Tepatnya di area taman belakang gedung yayasan.”“Tempat di mana aku memberikan kesan terakhir di antara kita dengan penuh mendebarkan.”Ayse mengulum senyum. Ia benar-benar merasakan kedutan di kedua sudut bibirnya. ‘Tempat berkesan di mana kau telah mengambil ciuman pertamaku,’ balasnya menghadirkan tawa kecil bagi Can.“Itu juga yang pertama untukku dan aku sangat menginginkan apa yang aku jaga selama dua puluh lima tahun ini, menjadi milikmu juga nantinya,” ungkapnya menatap lurus Ayse yang kini duduk di atas ranjangnya dengan salah tingkah.
“Bagaimana keadaanmu sekarang, Ayse?”Pria itu tampak duduk di meja kerjanya setelah sampai di rumah. Ia terlalu khawatir dengan keadaan perempuan itu. Ia berusaha menyetir dengan kecepatan normal meskipun dalam hatinya jantung pria itu berdetak kuat.Ia terus terngiang suara rintihan dan sesekali napas tersengal Ayse.Kini, perempuan yang duduk di ruang tengah tampak mengulas senyum manis dan wajahnya tidak menunjukkan raut pucat. Lebih rileks dan mengangguk pada Can. ‘Jemima membantuku. Dia membantuku membelikan obat di apotek sebelum datang ke mari dan membawa makan untukku. Meskipun aku harus menahan rasa sakit sedikit lebih lama,’ jelasnya membuat napas Can terembus lebih lega.“Syukurlah, Sayang ... Kau nyaris membuatku panik dan ingin terbang ke sana detik itu juga.”Ayse tersenyum manis dan merasakan letupan dalam hati mendapati Can yang begitu peduli dan sangat perhatian padanya.
Seluruh media dan stasiun televisi mulai dibuat bertanya oleh pernikahan seorang pengusaha muda itu. Akman memajukan tanggal pernikahan—tiga hari—dari undangan yang telah disebar. Isu merebak dan pria itu tidak memedulikan lagi bagaimana media akan mencetak berita dan stasiun televisi menyiarkan isu pernikahannya.Karena pernikahan itu digelar tertutup dan Akman harus menanggung malu dengan menyuruh Asisten pribadi dan Sekretarisnya, mengabarkan pembatalan undangan pernikahan pada rekan kerjanya di luar kota maupun luar negeri.Ya. Ia meminta Asistennya untuk menghubungi Asisten Keluarga Sener untuk memberitahu berita tersebut. Ia hanya mengundang orang terdekat dan tidak sampai lima puluh orang untuk menyaksikan pernikahannya di area taman rumah yang luas bersama Dariga.Seluruh mata memandang keduanya, terutama tidak hentinya tanda tanya besar, memerhatikan Ayse duduk di antara kedua sahabatnya di deretan kursi depan.
Can menutup pintu mobil dengan pandangan kosong. Kakinya lemas dan ia terlalu sulit untuk menapaki kaki, menaiki tangga untuk sampai di pintu utama rumahnya.Pria itu nyaris jatuh jika saja tidak menahan telapak tangan kanannya pada body mobil.“Tuan Can? Anda tidak apa-apa?” tanya pengawal berbalut mantelnya, mendekati Can dengan panik.Can menggeleng lemah tanpa memandangnya. “Tidak, Tuan. Kau bisa kembali bekerja,” cetusnya pelan dan membiarkan lelaki itu berlalu, kembali ke area depan.Tangan Can keringat dingin. Begitupula keningnya dan ia terus merasakan denyutan di kepalanya mendapatkan fakta jika ia telah melepas apa yang dirinya jaga selama dua puluh lima tahun dalam hidupnya untuk Akira.Napas Can sesak. “Ayse ...” lirihnya dengan air mata membumbung tinggi di pelupuk matanya.Can tahu jika ia telah mengkhianati perempuan yang sangat dicintainya. Sakit hatinya tidak akan s
BUGH!“BERENGEK!”Iskander terjatuh saat Can sudah lebih dulu melayangkan pukulannya. Pria itu dengan emosi yang sudah ditahannya sejak kemarin, lalu datang ke kediaman Iskander untuk mengambil ponselnya dan juga mengutuk pria itu.Pria itu menyeka sudut bibirnya yang berdarah dan terkekeh pelan. Ia menatap Can yang berdiri dengan napas tersengal. “Jadi, kau sudah tau apa yang kulakukan kemarin?” tanyanya menantang, tidak menutupi hal tersebut.Ia bisa melihat rahang Can yang mengetat. Sebisa mungkin dirinya langsung berdiri dengan berpegangan pada kepala sofa. Dirinya duduk tenang di ruang keluarga dan mendapati Can sudah lebih dulu memukulnya.Ternyata, Can sangat berbahaya jika sedang marah. Ia bahkan tidak mengenal seorang Yavuz Can Sener yang begitu tenang.“Bagaimana dengan obat perangsang itu? Kau ketagihan untuk memakainya lagi?”“Berengsek!” teriak Can dan
Ayse merentangkan kedua tangan, menghirup udara segar di Kota Ankara dari atas balkon unit apartemennya. Ia tersenyum manis, memejamkan sejenak kelopak matanya untuk merasakan kebebasan dalam dirinya.“Setelah dua minggu aku pergi dari kota ini, akhirnya aku bisa kembali,” cetusnya menatap keindahan kota dari ketinggian unit.Bibirnya sedikit menipis mengetahui jika sejak ia menghubungi Can dan tidak mengangkatnya. Saat itupula ia sadar jika Can tidak bisa dihubungi. Ia mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri.“Kau harus berpikir positif, Ayse. Can akan tetap menunggumu dan kau hanya perlu mengunjunginya lebih dulu. Mungkin, dia pun sibuk mengurusi pekerjaannya,” ucapnya meyakinkan diri dan berbalik badan, memasuki unit di mana kedua sahabatnya tengah membereskan pakaian di kamar.Mereka baru tiga jam lalu datang ke mari. Sampai di unit untuk istirahat sejenak lalu berbenah sebelum akhirnya
Perempuan itu menggigit bibir bawahnya dengan terus memandang keluar jalan bersama pilu dan rasa perih dalam hati. Ia menahan isak tangis supaya sopir di depannya tidak mengetahui kerapuhannya.Ayse menahan sikunya di pinggir kaca mobil, memegang sisi kepalanya dan sedikit mencengkeram rambutnya, merasa hentakan kuat rasa pusing di kepalanya.Ia menitikan bulir air mata.Kenapa Tuhan tidak membuatnya bisa merasakan kebahagiaan yang utuh? Sekarang, Ayse semakin hancur. Perasaannya tidak bisa kembali utuh bersama kepingan rasa sakit oleh cintanya yang kandas.Can ... Kenapa sejak dulu aku dipertemukan olehmu, jika pada akhirnya kau akan bersama perempuan lain?Ayse menunduk, membungkam mulutnya meredam isak tangis. Ia memegang tepat di bagian jantung, sakit.Ia benar-benar terluka dengan segala hal yang terjadi hari ini.Aku datang untuk memberikan kejutan atas kehadi