“Apa yang terjadi? Wanita yang bersamaku semalam bukan perawan. Itukah sebabnya dia melawanku mati-matian tadi?” gumam Marco di antara isak tangis Rosetta.
Marco kembali menengok ke arah wanita yang sedang bergelung rapat menutupi tubuh polosnya dengan ujung seprai tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada bercak darah yang mengering di dekat pinggul Rosetta. Tanda yang meninggalkan sisa dari pergumulan panas mereka.“Apa dia orang yang berbeda?”Marco mendengus gusar, lantas menyambar kemeja miliknya di pinggir ranjang dan mengenakan pakaian itu tanpa memedulikan bagian yang kusut di sejumlah area. Dia keluar sambil menenteng gesper—mengedarkan pandang ke sekeliling—mencari para bawahannya yang biasa berjaga di beberapa titik tertentu.“Giuseppe! Matteo!” panggil Marco pada mereka.Seseorang yang bernama Giuseppe itu kemudian menghampiri Marco dengan segera. Dia menjatuhkan puntung yang tinggal separuh tersebut dan menginjaknya hingga remuk, sementara Matteo datang dari sisi yang berlawanan dengan tergesa-gesa. Mereka menghadap pada Marco yang ekspresi wajahnya sontak berubah kaku.“Kalian menangkap target yang salah! Dia bukan wanita yang kucari.”Giuseppe menoleh pada Matteo yang keningnya seketika mengernyit heran. Tatapan pria bergigi jarang itu pun kembali pada Marco dan menyahut, “Dia adalah wanita yang sama dengan yang ada di dalam potret, Tuan Botticelli.”“Mereka hanya mirip!”“Mi-mirip? Bagaimana—”“Mereka jelas berbeda. Dia perawan dan wanita yang menghabiskan waktu bersamaku kemarin telah terlatih untuk melayani pria.”“Apa mereka kembar?” celetuk Matteo yang langsung menyita perhatian Marco dan Giuseppe sepenuhnya.“Kembar?” desis Marco yang sontak menyipitkan mata.“Itu bisa jadi, Tuan Botticelli. Maksud saya, mereka memang persis, tetapi tetap saja berbeda. Apa lagi kemungkinan yang paling cocok untuk itu?”“Aku ingin kalian menyelidikinya sekarang juga.”“Baik,” balas Giuseppe dan Matteo secara serentak.Mereka beranjak dari sana—meninggalkan Marco yang bergeming di posisinya—pikiran pria itu melayang pada momen liar yang dia nikmati bersama Leah. Wanita panggilan yang sengaja dia sewa untuk pelepasan hasratnya itu memang serupa dengan Rosetta. Saudarinya yang masih menangis sesenggukan di kamar.“Kacau!” rutuk Marco sambil menyugar kasar sebagian rambutnya.Siapa sangka masalah mereka akan berubah menjadi serumit itu? Seseorang yang ingin Marco hukum bukan Rosetta. Namun, Leah—si pencuri licik yang telah membawa kalung warisan dari mendiang orang tuanya. Marco salah sasaran. Dia bukan hanya menyakiti Rosetta, tetapi juga menghancurkannya. Sesuatu yang selalu terjadi dalam dunianya yang kotor—melindas siapa saja yang berani menghalangi jalan pria itu—untuk mencapai tujuan.Mengapa sesuatu yang biasa itu justru berganti menjadi sejenis kekhawatiran ganjil di hati Marco? Dia mendadak menaruh simpati pada Rosetta. Ke mana sosok penerus Botticelli yang dikenal kejam dan tanpa belas kasih itu pergi?Marco merasa bersalah, tetapi hanya untuk sekejap. Egonya kembali melesat naik ke puncak—menenggelamkan semua perasaan yang sempat melunak itu di lapisan paling dasar, lantas membiarkan segalanya karam tanpa jejak. Dia akan mengatur siasat lain agar Leah muncul di depannya.Rosetta.Jika mereka memang saudari kandung, maka Leah pasti akan datang menyelamatkannya. Ide cemerlang itu menyesaki kepala Marco dengan sejuta harap agar rencananya dapat berjalan sesuai seperti yang dia inginkan. Rosetta akan menghadapi takdir buruknya sekali lagi dengan status sebagai tawanan.“Bukankah itu sempurna?” bisik Marco pada dirinya sendiri.Marco pun kembali ke dalam kamar dan menemukan Rosetta yang tengah duduk sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Kelopak matanya terpejam rapat—menahan sensasi nyeri di selangkangannya—menunggu rasa perih itu hilang. Bibirnya sesekali merintih mengundang simpati Marco hadir—lagi.“Kau harus membersihkan diri.”Rosetta spontan terkesiap dan beringsut mundur ke samping—meringkuk di dekat nakas—dengan sekujur tubuh yang gemetar. Dia kelewat kalut untuk mampu berpikir dengan rasional sekarang. Satu-satunya yang wanita itu inginkan hanya dibebaskan.“Aku akan membantumu.”Suara bariton milik Marco berhasil membuat Rosetta mendongak—mengintip melalui sela-sela rambut yang kusut—dengan gentar yang masih mengendap di dadanya. Dua pasang mata itu pun serta-merta bertemu—biru kelam yang menghanyutkan dan cokelat terang yang redup oleh luka-luka di hatinya. Jenis tatapan yang sanggup meruntuhkan seluruh ambisi dalam diri pria itu.Detik berikutnya, Marco bergerak menghambur langkah dan menggendong Rosetta yang lagi-lagi mengeluarkan kesiap syok. Mereka menuju ke kamar mandi—merawat wanita itu dengan penuh perlindungan—menepikan segenap emosinya ke pinggir. Sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.Marco membiarkan insting kelelakiannya mengambil alih untuk menebus semua kesalahpahaman di antara mereka. Menebarkan sisi barunya yang lembut. Dia mengeringkan rambut panjang Rosetta yang basah dengan handuk, lantas memasangkan kimono yang ukurannya dua kali lebih besar pada wanita itu. “Aku tidak mengerti. Mengapa kau melakukannya?” tanya Rosetta yang berpaling menghindari sorot mata tajam Marco.“Apa itu penting?”“Demi Tuhan, kau baru saja memperkosaku. Lima belas menit lalu kau masih menjadi pria buas yang mengerikan itu dan kini kau menjadi orang yang sangat berbeda dari sebelumnya.”Marco mencengkeram dagu Rosetta—menyejajarkan tatapan mereka dan menjawab, “Aku tahu itu, tetapi bukankah kau juga menikmatinya?”“Berani-beraninya kau! Aku akan menuntutmu.”Kekehan menyebalkan itu kembali mengudara dan membuat Rosetta marah. “Aku akan memenjarakanmu, Tuan Botticelli.”“Memenjarakanku?” seloroh Marco dengan nada yang dibuat-buat.“Jika kau pikir ucapanku hanya lelucon konyol bagimu, maka bersiaplah untuk membusuk lebih lama di dalam sana.”“Namamu Rosetta, bukan? Dengarlah, Rosetta. Kau boleh melaporkanku dengan bukti dan tuduhan apa saja pada polisi, tetapi ada yang harus kau tahu tentang diriku.”Marco membuat jeda—mengunci pandangan mereka satu sama lain, kemudian meneruskan, “Hukum diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kakiku. Tidak ada satu orang pun yang dapat menyentuh Marco Botticelli.”Rosetta lupa bahwa dia tengah berurusan dengan sang mafia. Siapa yang berani mengusik keluarga mereka? Pria itu merupakan sosok yang kebal hukum—menurut selentingan kabar yang beredar, dia juga setuju untuk ikut mendanai beberapa fasilitas pemerintah di Bari dan Napoli dari pendapatan bisnis terlarangnya.“Orang macam apa kau?” geram Rosetta sambil menepis genggaman Marco dari wajahnya.“Aku? Anggap saja setengah iblis.”“I-iblis?”“Aku sudah lupa caranya berbuat baik dan membedakan mana perilaku yang manusiawi atau tidak sejak lama.”Rosetta menelan air ludahnya dengan susah payah. Dia lagi-lagi memandang Marco yang masih menatapnya dan berujar, “Aku bertaruh kau juga sudah tahu bahwa aku bukan wanita yang sedang kau cari. Mengapa kau masih menyanderaku?”“Karena aku Marco dan aku terbiasa mendapatkan sesuatu yang kuinginkan.”***“Apa maksudmu?”“Maksudku adalah aku menginginkanmu.”Rosetta mendadak membeku di bawah tatapan Marco yang memindai wajahnya dengan kerlingan penuh hasrat. Aksi yang sukses membuat punggungnya kembali gemetar tanpa sanggup dia kendalikan lagi. ‘Apa-apaan itu? Menginginkanku?’ batinnya.“Apa kau sadar dengan ucapanmu?”“Tentu saja, Rosetta.”Rosetta. Ada sesuatu yang membuat Marco mendadak menyukai cara lidahnya menggeliat mengeja nama itu di langit-langit mulutnya. Sesuatu yang membuat degup jantung pria itu bekerja lebih cepat. Sesuatu yang menciptakan sensasi asing lain di dadanya.“Menginginkanku sebagai budak seksualmu? Kau orang yang sangat menjijikkan!”“Budak seksual? Aku hanya ingin menyanderamu sampai wanita kurang ajar itu muncul di depanku.”“Apa hubunganku dengan pencuri itu? Mengapa aku harus menjadi tawanan karenanya?”Marco menyipitkan mata—men
“Aku harus pergi dari Puglia secepatnya sebelum orang-orang Tuan Botticelli menangkapku,” gumam Caritta sambil mengemasi barang-barangnya ke dalam koper.“Aku akan menjual kalung curiannya ke Tuan Salvoni nanti malam. Uang itu akan kupakai untuk pulang ke Magnolia Springs,” celotehnya lagi.Telepon seluler milik Caritta yang ada di atas ranjang mendadak berdering dan membuat pekerjaannya terhenti untuk sementara. Dia meraup benda elektronik keluaran terbaru itu dengan penuh semangat. Bukti bahwa suasana hatinya sedang baik.“Nyonya Carfagna?”“Leah? Sayang? Di mana kau?” sapa sang wanita dengan dialek selatannya itu. “Aku ada di Hotel Firenze. Aku akan kembali ke kota kelahiranku lusa. Ada apa?” sahut Caritta yang kemudian mengempaskan pantatnya ke kursi lincak—bangku panjang yang terbuat dari bahan bambu dengan susunan bilah berongga pada bagian sandaran—di dekat jendela.“Aku membawa berita yang
“Terima kasih,” ucap Rosetta pada seorang pelayan yang baru saja mengantarkan senampan penuh sajian khas kawasan utara tersebut untuknya.Remaja tanggung itu langsung meletakkan semuanya di atas meja yang ada di samping ranjang. Dia bekerja dengan cekatan, tetapi hati-hati. Rambut pendeknya disisir rapi—memakai bando warna abu-abu yang selaras dengan corak pada seragam ala maid yang sedang dia kenakan—dalam potongan sebahu.Kepala pelayan muda itu hanya mengangguk pada Rosetta tanpa menyahut atau terlihat ingin mengucapkan basa-basi pagi pada majikan barunya. Dia mundur beberapa langkah sebelum Rosetta sempat mengintip menu yang tersedia di sana. Senyumnya yang samar terbit dan lagi-lagi mengangguk dengan sopan.“Tung-tunggu, Nona—um, Nona Sanzio?” tahan Rosetta sambil membaca tanda pengenal yang tersemat di dada sebelah kiri si pelayan. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”“Tinggallah sebentar,” pintanya lagi.
“Masuklah. Tuan Pacciardi sedang menunggu Anda,” sapa seorang penjaga yang baru saja mempersilakan Caritta masuk ke dalam kawasan megah hunian milik keluarga politisi itu.“Terima kasih,” sahut Caritta sambil menganggukkan kepala, lantas melenggang dengan rasa gugup hebat yang memadati dadanya.Area itu sangat luas dan dilengkapi dengan material elite yang fantastis di setiap sudutnya. Sesuatu yang akan membuat siapa saja berdecak kagum pada pencapaian luar biasa yang sang senator hasilkan hanya dalam kurun waktu yang singkat. Sesuatu yang juga mampu membuat Caritta terperangah takjub dengan keadaan di sekelilingnya.“Apa Anda yang bernama Leah?” tegur seseorang yang lain. “Eh? Aku—um, ya, aku Leah.”Pelayan wanita yang berkucir kuda itu melemparkan senyum sesaat sebelum melanjutkan, “Mari, saya antarkan ke sana.”Caritta lagi-lagi mengangguk tanpa mengedipkan mata—memandang lekat-lekat pada penampi
“Maaf tentang tadi. Aku memang suka bercanda.”Pria misterius itu kemudian menyunggingkan senyumnya yang menawan dan menuangkan teh bunga krisan lewat teko jenis kaca tersebut ke dalam cawan milik Rosetta. Aroma khusus seketika menguar mengundang rasa ingin tahunya terbit untuk mencicipi minuman. Dia pun mengintip di antara kepulan asap yang meliuk tanpa henti.“Apa kau pernah mencoba teh khas Cina sebelumnya?” sambungnya lagi.“Belum,” gumam Rosetta yang balas memandang ke arah pria di hadapannya dengan sorot mata kagum.“Cobalah sekarang. Kau akan terkejut dengan cita rasanya yang sangat lain.”Rosetta menurut—mengangkat wadah yang terbuat dari bahan keramik tersebut ke mulutnya, lantas menyesap dengan hati-hati. Sensasi baru itu serta-merta melapisi seluruh indra pengecapnya dan membuat dia takjub pada sensasi yang ditawarkan. Ringan, tetapi manis.“Bagaimana menurutmu?”“Enak.”
“Bukankah aku baru saja mengatakannya padamu? Dia milikku. Aku tidak terbiasa untuk membagi sesuatu yang kupunya dengan orang lain,” desis Marco yang kemudian menggertakkan giginya.Seringai yang sarat akan ejekan itu seketika muncul di sudut bibir Ludovic. Dia menelengkan kepalanya sedikit, lantas menyipitkan mata. Pandangan pria tersebut terkunci hanya pada Marco yang sedang menyembunyikan sepasang kepalan tangannya di dalam saku mantel kardigan polosnya.“Tidak ada yang terjadi. Kami hanya mengobrol. Kau boleh membawa Rosetta pergi,” balas Ludovic yang justru memilih untuk mengalah.“Aku tidak ingin ikut dengannya,” tolak Rosetta yang serta-merta membangkitkan emosi Marco.“Kau harus kembali ke dalam kamarmu sekarang,” perintah Marco yang membuat nada penekanan di bagian akhir kalimat.“Aku belum menghabiskan minumanku,” kilah Rosetta yang mencari alasan agar tetap tinggal.“Don’t cross my line or
“Bagaimana kabar wanita kurang ajar itu? Di mana dia sekarang?”Giuseppe pun menoleh pada rekannya sesaat sebelum menjawab sang pemimpin. Dia menelan air ludahnya dengan susah payah, lantas menyahut, “Er—kami kehilangan jejaknya, Tuan Botticelli.”“Kehilangan jejak?” desis Marco yang siap untuk meluapkan emosinya di hadapan mereka.“Kami hanya mampu melacaknya hingga ke daerah timur. Dia terlihat sedang memasuki Hotel Firenze lusa kemarin, tetapi kami tidak menemukan keberadaannya lagi sejak sore.”“Sial!” maki Marco yang kemudian menendang salah satu kaki meja dan membuat benda itu terbalik dengan keadaan patah.“Apa kalian tidak mampu melakukan sesuatu dengan benar? Apa kalian tidak malu menyebut diri kalian mafia?” jeritnya lagi sambil menudingkan jari telunjuknya pada wajah mereka.“Maafkan kami, Tuan Botticelli. Kami mengaku salah,” balas sepuluh orang itu dengan serentak. “Maaf?
“Tamu Tuan Salvoni?” tanya salah satu penjaga yang memegang senjata api berlaras panjang itu dengan tatapan penuh selidik.“Aku Caritta. Dia mengenalku. Aku punya janji temu untuk sebuah bisnis kecil bersamanya.”“Baiklah. Berdiri dengan tegap dan angkat kedua tanganmu ke atas. Kami akan memeriksa tubuhmu sebelum masuk,” pinta pria berhidung besar itu.Dua orang penjaga lain pun mengulum senyum mereka sesaat setelah menonton jemari rekannya menggerayangi punggung Caritta. Sentuhan itu kemudian merendah menuruni bagian pinggul dan membuatnya terkesiap oleh rasa syok. Menerbitkan ambisinya untuk menampar wajah pria kurang ajar tersebut dengan keras.“Percayalah padaku. Aku tidak membawa benda apa pun yang berbahaya,” desis Caritta sambil mengetatkan rahangnya.“Kita tidak pernah tahu barang-barang yang mampu disembunyikan di balik rok rimpelmu, bukan? Jadi, biarkan aku mengintipnya sedikit agar—”“Dasa