“Laki lo di mana? Kok sepi?” Tanya Salma yang baru saja duduk di sofa ruang tengah. “Lagi pergi sama temen-temennya.” Jawabku sambil berjalan ke arah dapur. “Ngurus masalah yang gue ceritain ke lo kemaren…” “Ohh…” Ketika aku kembali ke sofa ruang tengah dengan membawa segelas jus jeruk, Salma sudah tidak ada di tempat semula lagi. “Sal?” Panggilku sambil memandangi sekeliling. Aku meletakkan dua gelas di atas meja terlebih dahulu, lalu berjalan ke arah kamar mandi untuk tamu. “Sal?” Panggilku sambil mengetuk pintu kamar mandi tersebut. “Lo di dalem?” “Iya, bentar…” “Ohh, oke. Gue tunggu di sofa…” Kataku yang kemudian berjalan kembali ke sofa ruang tengah. Beberapa menit kemudian, Salma kembali menghampiriku yang sedang sibuk membaca buku melalui tablet. “Sakit perut lo? Lama bener di kamar mandi…” Tanyaku sambil meletakkan tabletku ke atas meja. “Nggak. Gue lagi ngecek ini.” Jawab Salma sambil mengangkat alat pengecek kehamilan. “Lo hamil?” Tanyaku dengan intonasi suara yang s
Aku tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mempengaruhi Kevin dan Gagas supaya mereka berdua mau membuat laporan ke pihak yang berwajib. Dan sesuai dengan permintaan Dinda, aku merahasiakan keterlibatannya untuk membantu Kevin dan Gagas. Setelah mengurus semuanya, baru lah aku kembali pulang untuk makan siang bersama dengan Dinda. “Sayang?” Panggilku lagi setengah berteriak sambil berjalan masuk ke kamar tidur. “Sebentar…” Terdengar suara Dinda dari dalam kamar mandi. Aku berjalan kembali ke sofa tengah untuk menunggu Dinda, sambil membawa pizza dan es krim rasa durian yang Dinda minta ketika aku sedang dalam perjalanan pulang tadi. + Lah, penuh bener ini meja… + Aku berjalan kembali ke arah dapur untuk meletakkan empat kotak pizza di atas kitchen island, dan memasukkan kotak es krim ke dalam freezer terlebih dahulu. Meja yang ada di dekat sofa ruang tengah aku rapikan terlebih dahulu. Tablet dan beberapa buku yang berserakkan langsung aku tata supaya tidak memakan tempat. Kota
“Ya kan karena kena AC, makanya dingin. Aku nggak sakit kok. Tapi, memangnya aku keliatan pucet ya?” “Iya, lumayan. Kamu beneran nggak sakit? Atau lemes mungkin?” “Lemes doang sih ini.” + Bener kan dia hamil… Ini gue mesti to the point sih, nggak bisa gue pancing-pancing doang… + Aku menghela nafas pelan sekali lalu menatap kedua mata Dinda. “Sayang, kamu jujur sekarang sama aku. Kamu hamil ya?” “Hah? Kamu mau ngatain aku gendutan?” Tanya Dinda yang kemudian memegang perutnya sendiri. “Nggak gitu, sayang. Aku nggak ngomentarin berat badan kamu. Kamu jujur sama aku, kamu hamil kan?” Tanyaku sekali lagi. “Nggak kok. Aku nggak hamil. Perut aku agak buncit dikit lagi kalo duduk karena minggu ini aku nggak ada workout, bukan karena aku lagi hamil.” “Jangan bohong sama aku. Ini apa?” Tanyaku sambil menyodorkan test pack yang tadi aku temukan secara tidak sengaja. “Ini mah bukan punya aku.” Kata Dinda sambil mengamati test pack yang dia pegang. “Trus punya siapa lagi kalo bukan
“Sayang, kamu masih nyeri nggak?” Tanyaku pada Dinda yang sedang membaca buku. “Nggak kok. Udah mendingan. Ada apa?” “Sini deh, ikut aku sebentar. Bawa hape kamu juga. Aku mau tunjukin kamu sesuatu.” “Hmm? Oke…” Kata Dinda yang kemudian beranjak dari tempat tidur dan berjalan menghampiriku. “Tunjukin apa?” Tanyanya sambil memeluk dan menatap wajahku. “Ikut ke ruang kerjaku dulu yuk!” Demi mendukung rencana Dinda untuk tetap bertanggung jawab menyelesaikan tugasnya sebelum dia mengundurkan diri dari pekerjaannya, aku sengaja menyiapkan salah satu solusi yang menurutku akan memudahkan Dinda untuk bisa bertemu dengan Bu Jenny dan segera membicarakan permasalahan mereka. “Kamu duduk di sini dulu…” Pintaku sambil menggeser kursi di sebelah kursi yang biasa aku duduki ketika bekerja. “Sebentar, aku siapin dulu…” Kataku sambil kembali duduk di kursiku. “Oke…” Dinda duduk dan diam sambil mengamati sekeliling meja kerjaku, sementara aku menjalankan salah satu program yang sebelumnya sud
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe