Waktu terus berjalan, dan Esa sekarang sudah diperbolehkan pulang. Anna dan Jesfer sudah merapihkan semua barang-barang Esa, namun Esa justru terlihat tidak bersemangat. Sejak pagi dia hanya memandang datar tanpa minat.
"Sa, apa ada masalah nak? " Tanya Anna lembut dan menyentuh kepala Esa.
Esa menggeleng pelan. "Tidak apa-apa ma, aku hanya merasa sedikit aneh. "
"Kenapa prince? Mau bercerita? " Tanya Jesfer yang sekarang ikut duduk di samping Esa bersama Anna. Seperti sebuah keluarga utuh dan bahagia.
Lagi-lagi Esa menggeleng. "Tidak ada paman. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa sedikit bingung. Tapi tidak jelas kenapa. " Jawab Essa disertai dengan kekehan pelan. Jesfer memang selalu bisa membuat Esa mau bercerita. Walaupun apa yang Esa katakan hari ini sangat tidak jelas.
"Bai
Anna kembali memuntahkan makanannya, sudah 1,5 jam Anna bolak-balik kamar mandi karena rasa mual yang terus membuat perutnya tidak nyaman.Tadi pagi Anna kembali berdebat dengan Esa karena putranya tetap memaksa untuk berangkat melanjutkan PKL ke hotel Dareen. Esa bahkan meminta Edo untuk menjemputnya.Namun perdebatan tersebut tidak berlangsung lama. Selain karena Esa berlari ke luar, Anna juga berlari ke toilet karena sudah tidak mampu menahan rasa mualnya.Wajah Anna tampak pucat, tubuhnya juga terasa sangat lemas. Sejak pagi tidak ada makanan yang berhasil masuk ke perutnya. Bahkan setelah memaksa sarapan, makanan yang berhasil dia telan pun selalu berakhir di toilet.
Anna memberanikan diri untuk memasuki sebuah rumah sakit dikawasan tempat tinggalnya. Perasaannya sangat bercampur aduk, di satu sisi Anna merasa lega karena hasil pengecekan mandirinya tadi pagi adalah negatif, namun dirinya tetap ragu dan bergegas pergi ke rumah sakit untuk benar-benar memastikan semuanya.Jantung nya berdegup kencang begitu masuk kedalam ruangan pemeriksaan. Di sana ada seorang dokter ahli kandungan yang tengah tersenyum ramah begitu melihat Anna masuk."Selamat datang." Sapanya dengan senyuman manis yang tidak pernah luntur dari wajah cantiknya. Anna akui dokter dihadapannya memang sangat manis dan tampan secara bersamaan. Rambut hitam dan juga wajah tirusnya membuat siapa saja akan menyukainya baik perempuan maupun laki-laki."Ah, selamat siang dok." Anna me
Seperti yang Anna inginkan, Esa mengantarnya ke rumah milik Wendy, tempat dimana Dareen kini berada. Dengan langkah tergesa, Anna menekan bel rumah tersebut.Wendy yang tengah mengobrol bersama Dareen dan juga seorang tamu lain menolehkan kepalanya kearah pintu."Perlu aku bukakan pintu?" Ucap tamu tersebut."Tidak perlu, biar aku saja. Kalian lanjutkan obrolannya." Wendy segera berdiri menuju pintu.Begitu pintu terbuka, matanya melebar karena terkejut. "Esa, Anna." Ucap Wendy lemah."Maaf mengganggu malam-malam. Bisakah saya bertemu Dareen?" Ucap Anna to the point. Namun tetap mengedepankan sopan santun.
Dareen termenung di balkon kamarnya, tangannya menggenggam sebuah pigura foto miliknya bersama Dara. Sejak kepulangan Anna dan juga Esa, Dareen mengurung dirinya di kamar. Berkali-kali Wendy dan Dona memintanya untuk keluar dan makan, namun Dareen tak memberi jawaban sama sekali.Pandangannya beralih kepada foto tersebut. Sebuah senyuman hangat terukir dari wajah tampannya yang seolah enggan untuk menua. Diusap nya foto tersebut dengan begitu pelan dan lembut. "Ra, daddy rindu." Gumamnya pelan dan ingatannya kembali ke masa lalu.*FlashbackDara memasuki kamar Dareen dengan rusuh. Suara cempreng dan langkah kaki yang di hentak-hentakkan membuat Dareen menatap kearahnya tajam.
Anna menangis tersedu di kamarnya, pikirannya benar-benar kacau. Semua yang dilakukannya terasa salah. Tak pernah sekalipun dia punya niatan untuk membunuh ataupun membuang anaknya. Meski dia berkata demikian pada Dareen, kenyataannya dia sendiri ragu apakah dia benar-benar bisa meninggalkan anaknya begitu saja, ataukah dia akan menerima dan mencintainya. Semua kejadian ini juga mengingatkannya pada Esa.Dulu, berkali-kali niatan untuk bunuh diri selalu memenuhi pikiran dan juga hatinya. Namun berkali-kali juga janin dalam tubuhnya memberinya kekuatan. Sempat terlintas Anna akan memberikan Esa pada kedua orang tuanya dan pergi jauh untuk memulai hidup baru. Namun semua pemikiran dan niatan tersebut sirna begitu saja seiring dengan pertumbuhan bayi dalam kandungannya. Sampai tiba saatnya Esa dilahirkan, Anna bahkan mengutuk dirinya sendiri karena pernah punya pemikiran seperti itu. Pertama
Seketika hening menyelimuti ruang tunggu mereka begitu ucapan sang dokter yang terlampau pahit keluar begitu saja dari mulutnya.Wenda refleks berjalan mundur dan menutup mulutnya terkejut begitupun dengan Raiden yang tidak kalah terkejut namun tetap sigap mendekap tubuh oleng Wenda.Anna seperti kehilangan nyawanya, sekujur tubuhnya membeku. Tangisnya tiba-tiba diam namun pandangannya begitu kosong. Wendy yang menyadari perubahan ekspresi Anna semakin mendekap tubuh itu dengan begitu erat. "Ibu mohon sayang, tenanglah. Ingat kau tidak boleh sampai stress.""I-ibu, Esa ibu hiks." Anna kembali menangis namun suaranya tidak sekeras tadi. Tangis yang terdengar begitu pilu dan menyakitkan.Anna rasanya ingin menulikan telinganya. Uca
Lagi, Anna terbangun dari tidurnya dengan Dareen yang berada di sebelahnya. Bukan hanya sekali, tapi ini sudah lebih dari tiga kali semenjak Esa di rawat Dareen selalu tidur di kursi samping ranjang yang Anna tempati dengan kepala bertumpu pada ranjang tersebut.Anna meringis, sedikit iba melihat Dareen yang lagi-lagi tertidur dengan posisi tersebut. Sudah dipastikan pinggang, punggung, dan juga lehernya akan sakit ketika bangun.Kali pertama Anna mendapati Dareen seperti ini, saat dirinya pingsan akibat terlalu syok dengan kejadian yang menimpa putranya. Begitu sadar, Anna sangat terkejut dengan kehadiran Dareen, bahkan dirinya sempat berteriak dan memaki pria itu.Kali kedua, Anna terbangun tengah malam karena haus. Saat itu dirinya tertidur di ranjang yang bersebelahan dengan ranjang Esa. Namun lagi-lagi dia terkejut karena ternyata Dareen tidur di sana. Tapi Anna memilih acuh dan tidak memperdulikan kehadiran mantan suaminya.Malam berikutnya, Dareen
Jung Jesfer, seorang anak laki-laki yang teramat tampan, manis dan juga cerdas. Begitu kesan pertama semua orang saat pertama kali bertemu dengan nya, termasuk Wendy. Hampir setiap tahun Wendy berkunjung ke makam suaminya dan sekaligus menjenguk Jesfer serta ibunya.Yoona memperkenalkan Wendy kepada Jesfer sebagai sahabatnya. Dan Jesfer kecilpun percaya itu. Namun seiring berjalannya waktu, Jesfer mulai menyadari jika Wendy bukan hanya sekedar sahabat ibunya.Jesfer menemukan semua biaya sekolahnya dibayar oleh Wendy. Awalnya Jesfer selalu bertanya-tanya kenapa ibunya selalu memasukan dia ke sekolah yang elit dengan biaya pendidikan yang mahal. Karena jika melihat kondisi ekonomi ibunya, Jesfer yakin ibunya akan keteteran. Yoona tidak miskin, hanya saja dia bukan orang kaya yang bisa mengeluarkan uangnya tanpa harus berpikir besok bagai