Tiba dimana hari Dareen mengantarkan Esa ke sekolah. Meski dengan berat hati, namun demi memenuhi keinginan sang anak akhirnya Dareen rela mengalah.
Begitu mereka sampai, Dareen tidak lantas membiarkan Esa pergi begitu saja, namun dia memberikan sejumlah aturan yang harus dan tidak boleh Esa lakukan. Bukan bermaksud mengekang kebebasan anaknya, hal ini Dareen lakukan justru untuk melindungi sang putra.
"Dengarkan papa baik-baik. Semua yang papa katakan tadi demi kebaikanmu." Dareen memegang kedua sisi lengan Esa.
"Aku tahu papa. Tapi bukankah itu berlebihan? Aku bukan Dara, setidaknya aku sehat dan baik-baik saja."
Dareen menghela nafas, sepertinya Esa belum paham situasinya. Dia melarang putranya jelas karena Dareen tahu kon
Esa memang sudah mulai kembali sekolah seperti biasa, namun semua tidak lagi sama untuknya. Terlalu banyak perubahan, baik dari teman-teman nya maupun lingkungan sekolahnya.Tidak ada Edo dan Minie yang selalu bertengkar dimana pun mereka bertemu. Semua teman-teman sekelasnya tampak menjauhi Esa, karena sekarang bukan hanya Jenny yang diawasi oleh Bodyguard tapi juga dirinya.Esa mendesah pelan saat pandangannya bersama Jenny tidak sengaja bertemu satu sama lain. Esa segera memutus kontak mata tersebut, sementara Jenny justru menatapnya semakin intens seolah ada yang sedang coba dia sampaikan melalui pandangan tersebut.Terhitung tiga hari semenjak Esa kembali ke sekolah, dan selama itu juga mereka berdua belum sempat terlibat dalam sebuah pembicaraan. Bahkan bertegur sapa pun tidak. E
Dareen tengah sibuk membolak-balik kertas yang berada di ruang kerjanya. Sudah beberapa hari ini, dia kembali pindah membawa pekerjaannya ke rumah, tetapi bukan rumahnya bersama Anna, melainkan rumah yang dulu dia tempati bersama Dara dan tanpa sepengetahuan siapapun kecuali Edwin.Bukan tanpa alasan mengapa Dareen melakukan semua ini, karena yang dia lakukan disini bukan bekerja melainkan sibuk mempelajari semua berkas riwayat hidup milik anaknya. Jika Dareen melakukannya di kantor atau di rumah, kemungkinan besar orang-orang di sekitarnya akan tahu dan Dareen belum siap untuk itu karena bagaimanapun Esa sendiri belum terbuka padanya, terutama jika semua itu diketahui oleh Anna.Anna sedang dalam kondisi lemah, baik secara fisik maupun mental. Beberapa hari y
Anna tengah menikmati usapan tangan Dareen di perutnya. Sudah hampir tengah malam, namun dia justru kesulitan untuk tidur sehingga Dareen terus mengelus perutnya agar segera terlelap."By, tidurlah. Kau pasti lelah setelah bekerja seharian," Anna menatap suaminya yang tampak mengantuk tapi masih bersedia menemaninya."Tidak apa sayang. Aku akan tidur saat kau sudah tidur," Dareen tersenyum dan mencium kening istrinya."Aku banyak tidur selama seharian ini, makanya sekarang aku tidak mengantuk. Sementara kau banyak bekerja jadi sekarang waktunya untuk istirahat.""Tidak apa-apa.""By," panggil Anna pelan."Hm, kenapa sayang? Kau ingin sesuatu?" tanya Dareen."Tadi siang ibu dan Dona menemaniku disini."
Sesuai dengan yang sudah direncanakan, Dareen dan Esa hari ini pergi ke rumah sakit tanpa sepengetahuan Anna. Mereka pamit untuk berangkat ke sekolah dan bekerja, tapi kenyataan di tengah jalan mereka mengubah tujuan dan pergi ke rumah sakit.Dareen tidak ingin menyia-nyiakan waktu dengan membiarkan penyakit Esa semakin bertambah parah. Dia tahu, penyakit putranya hanya soal waktu. Dan selagi masih ada yang bisa diusahakan, maka Dareen akan melakukan segala upaya untuk kesembuhan putranya itu. Dareen tidak akan membiarkan dirinya kehilangan seorang anak lagi.Begitu sampai di rumah sakit, Esa langsung melakukan serangkaian pemeriksaan bersama Henry untuk mengetahui kondisi perkembangan anak itu.
PLAKSebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Wenda hingga membuatnya sedikit tersungkur."BODOH!" teriak Richard dengan wajah merah akibat menahan marah.Wenda hanya diam, dia tidak merespon apapun yang dikatakan dan diperbuat oleh kakaknya terhadap dirinya."Kenapa kau selalu bertindak bodoh?!" tangan Richard semakin terkepal kuat. Jika saja Wenda bukan perempuan, mungkin saat ini Richard sudah mematahkan semua tulang perempuan itu. "Aku sudah mengatakan padamu biarkan Jane menjadi urusanku, dan sekarang apa? Kau bertindak tanpa persetujuan ku lagi.""Aku tidak tahan melihatnya terus bertingkah," akhirnya Wenda buka suara."Cih," Richard tersenyum sarkas. "Bukan dia yang bertingkah, tapi kau yang tidak bisa mengendalikan perasaanmu."Wenda mendelik tidak suka. "Wajar saja jika aku marah, dia berusaha mengambil suami dan juga anakku!" kali ini Wenda lebih berani untuk meninggikan suaranya. Sepertinya dia melupakan rasa takutnya k
"Jeno," panggil Ten dengan suara lembut sambil mengelus kepala anak itu.Merasa namanya si panggil, anak yang bernama Jeno itu pun membuka matanya. "Mommy," panggilnya dengan senyuman lembut."Maaf mommy mengganggu tidurmu dear," sesal Ten.Jeno menggeleng cepat. "Tidak, Jeno senang mom datang." Jeno tidak berbohong, terlihat dari wajahnya yang seketika menjadi cerah begitu membuka mata dan yang dia lihat adalah Ten, ibunya. "Bagaimana kabarmu sayang?""Sudah lebih baik.""Mommy senang mendengarnya. Maaf mom baru bisa menjenguk mu sekarang, karena tidak ada yang menjaga Hila." Ten mencium jari-jari tangan Jeno."Tidak apa-apa mom, kan ada papa disini. Jeno tahu mommy pasti sibuk karena Hila masih bayi dan Mark juga harus sekolah," jawab Jeno dengan senyuman tulus membuat Ten merasa semakin bersalah.Bukan niat Ten mengabaikan Jeno, tapi b
Jenny membantu memapah Esa berjalan dari atap menuju ruang kesehatan. Dengan panik dan tergesa-gesa, Jenny memapah Esa di bantu oleh Minie dan Edo yang juga tidak kalah panik."Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa setiap kali berhadapan denganmu Esa selalu berakhir dengan pingsan?" ucap Minie begitu mereka tiba di ruang kesehatan."Kau pasti memukul Esa lagi!" bentak Edo."Bisakah kalian diam!" Jenny meninggikan suaranya. "Daripada kalian ribut disini, sebaiknya bantu aku memanggil dokter Sunu untuk memeriksa kondisinya," titah Jenny dengan nada suara dingin namun jelas terdengar khawatir.Jenny awalnya tidak percaya jika Esa benar-benar pingsan. Bagi Jenny, Esa adalah ahlinya dalam berakting tapi semua itu terbantahkan saat Jenny mendapati Esa yang tidak bergerak sama sekali bahkan ketika dirinya menggoyang-goyangkan tubuh lela
Jesfer menatap lawan bicaranya dengan tatapan mengejek. Bukan bermaksud tidak sopan, tapi pria di hadapannya datang tanpa diundang dan menawarkan kesepakatan yang membuatnya ingin tertawa.Mereka sebenarnya sudah beberapa kali bertemu, tapi belum mencapai kesepakatan. Jesfer tetap dengan keinginannya, begitupun dengan pria yang menawarkan kesepakatan tersebut."Aku rasa tidak seharusnya kita membuang-buang waktu lagi. Jika kau tidak memenuhi persyaratan yang kuberikan, sebaiknya kita hentikan pertemuan ini sekarang, aku tidak mau ada yang salah paham," ucap Jesfer tenang."Kenapa harus dia? Kau bisa mendapatkan sesuatu yang lebih daripada sekedar anak itu.""Aku tidak menginginkan apapun, cukup dia." Jesfer berkata dengan tegas."Tapi putriku juga menginginkannya.""Kurasa tidak lagi. Mereka sudah lama tidak terlihat bersama, dan putrimu sendiri bukankah sudah bertunangan?" tatapan Jesfer berubah memicing. "Jangan bilang kalau sekarang kau b