Share

4. Kamu siapa

"Ke mana?" jawab Rizal, matanya menatap Dimas, tak mengerti.

"Kita nanya langsung aja ke mas Faris," jawab Dimas sambil berdiri dari kursi.

"Tapi mampir dulu ke rumah sebentar, aku mau ngasih pesanan nyokap tadi pagi, gimana?" sambung Dimas, lagi.

"Ayo .... Kamu ikut, nggak? Malah ngelamun," desak Dimas, tak sabar.

"Mmm ... iya deh, aku ikut ...." Rizal berdiri dan melangkah mengikuti arah Dimas berjalan.

Dimas tersenyum mendengar keputusan Rizal, dan terus melangkah tanpa menoleh.

****

"Mau ke mana lagi, Dim? Baru nyampek rumah 'kok sudah mau pergi lagi."

Bundanya Dimas mulai ngomel saat melihat gelagat anaknya yang berkemas hendak pergi lagi.

"Mau ke kantornya mas Faris, Bun." jawab Dimas, sambil terus berkemas.

"Ngapain ke sana, ada perlu apa?" tanya Bunda dengan kening mengernyit.

"Denger dari Naya, katanya Mas Faris baru saja nikah dengan —"

"Terus ... apa hubungannya denganmu?" potong Bunda dengan tatapan tajam ke arah Dimas, sambil duduk di sofa berhadapan dengan posisi duduk Rizal.

"Faris memang sudah menikahi Ivana, kemarin. Tapi Bunda nggak hadir, soalnya harus mengantarkan Mbah Putri yang mau pulang ke Jogya," jelas Bunda lagi, sambil bergantian menatap Rizal dan Dimas.

"Ooo ...." sahut Dimas dan Rizal bersamaan, saling pandang penuh arti. Ternyata bukan tidak di undang seperti yang Dimas kira, tetapi karena berhalangan hadir.

"Tapi, kenapa bukan dengan mbak Bella, Bun?" tanya Dimas.

"Bukan apa apa sih, Bun. Hanya penasaran saja, karena selama ini aku tidak pernah tahu kalau Ivana punya hubungan dengan mas Faris," tanya Dimas lagi sambil menatap Bunda, meminta penjelasan yang lebih akurat, tidak terpotong-potong.

"Denger-denger sih, kayaknya pernikahan itu karena terpaksa, Ivana jadi pengantin pengganti karena si Bella tidak kunjung datang pas acara nikahan," jelas Bunda dengan suara rendah. Namun masih bisa Dimas dan Rizal dengar dengan jelas.

"Kok bisa gitu, Bunda? Kenapa Ivana bersedia menikah tanpa di dasari cinta?" tanya Rizal, dengan wajah tak percaya sama seperti yang di rasakan Dimas.

"Yeeee ... mana Bunda tahu, tanya aja sendiri ke orangnya, emangnya Bunda ini cenayang apa?" jawab Bunda sambil melangkah pergi meninggalkan Dimas dan Rizal yang kebingungan.

"Benar kata Bunda, kita harusnya nanya langsung ke orangnya," ujar Dimas sambil menatap Rizal.

"Let's goo ..!."

Rizal beranjak dari duduknya, di ikuti Dimas hingga hampir melewati pintu rumah.

"Hei ... Kalian mau ke mana?" tanya Bunda, membuat langkah Dimas dan Rizal seketika berhenti dan berbalik badan menghadap ke Bunda yang tengah berdiri di tengah anak tangga.

"Tadi katanya suruh tanya langsung ke orangnya, Nda," ujar Dimas, menjawab.

"Iis ... janganlaa, itu bukan urusan kalian. Tak baik mencampuri yang bukan urusan sendiri, pamali," larang Bunda terlihat gemas, dan memilih kembali melanjutkan langkahnya.

Meninggalkan Dimas dan Rizal yang saling pandang, terdiam, dengan hati lesu kembali masuk ke dalam rumah.

****

"Assalamualaikum ..." ucap Ivana, saat tangannya membuka pintu rumah.

"Wa alaikum salam ...."

Ada jawaban dari arah dapur.

"Sudah pulang, Nya ...?" tanya Mak Ijah sambil berlari kecil dari arah dapur.

"Mau saya siapkan makan siang atau camilan?" tanya Mak Ijah.

"Eh ada nona Naya, tambah cantik aja Non," sapa mak Ijah yang terkejut melihat Naya yang berdiri di belakang Ivana.

"Kenapa ... Mak, kangen?" tanya Naya sambil tersenyum kecil. Dan terus berjalan melewati Ivana yang berdiri samping sofa.

"Kangen, kangen banget ... Non sekarang wes gede, ayu tenan," tak putus mata mak Ijah memandangi Naya membuat Ivana yang dicuekin hanya tersenyum melihat interaksi di antara mereka.

"Mak ... punya kue apa sore ini?" tanya Ivana, dengan tangan terulur meletakkan tasnya di atas meja.

"Cuma pisang goreng, Nya. Tapi bisa di tambah teh anget." Mak ijah kembali fokus ke arah nyonyanya.

"Aku kopi aja, Mak. Kalo Naya pasti mau teh, tolong di bikinin ya," pinta Ivana yang memilih duduk di depan Naya, hanya berjarak satu meja saja.

"Siap Nya."

Mak Ijah bergaya seperti pak polisi yang sedang menerima perintah dari atasannya, dan segera berlalu ke dapur, meninggalkan Naya dan Ivana yang tertawa kecil melihat kelakuan mak Ijah.

"Masku, biasanya pulang ngantor jam berapa, Va?"

"Nggak tahu, sejak hari itu jam pulangnya berubah ubah mungkin masih bertemu dengan calon istrinya," jawab Ivana, dengan raut wajah yang berbeda.

"Lagi pula ada apa, tumben tanya jam pulang mas Faris? Kamu ada kepentingan?" Ivana balik bertanya.

"Nggak kok, hanya ingin tahu aja," jawab Naya.

"Kalo pengin tahunya pakek bingit, telpon aja." Ivana memberikan usul.

"Nggak usah, Va. Entar yang ada malah nyuruh aku pulang cepat-cepat lagi, padahal aku kan masih ingin ngerumpi yuk yak yuk!?" tolak Naya dengan raut wajah lucu.

Dan ucapan Naya berhasil membuat ke dua perempuan cantik itu tertawa lepas.

"Nih ... sudah siap sesajen buat sore-sorean gini, semoga sesuai dengan selera," ujar mak Ijah, sambil meletakkan piring berisi pisang goreng, kopi dan teh di meja.

"Makasih ya, mak Ijah. Sesajennya mantap," jawab Naya tersenyum hangat, tangan perempuan cantik itu langsung mencomot hidangan di atas meja tanpa malu malu.

"Gara-gara sesajen ini nich, jin cantik di depanku nggak bakalan mau pulang sore-sore, batal deh —"

Ivana tiba tiba berhenti berkata saat terdengar suara seseorang mengetuk pintunya dengan sedikit keras.

"Siapa?!" tanya Naya, dengan wajah penuh selidik.

"Aku juga nggak tahu," jawab Ivana yang berdiri dari duduknya, lalu melangkah untuk membukakan pintu.

"Hai ... aku Bella, kamu pasti tahu siapa aku kan?!"

Perempuan berbaju kurang bahan yang berdiri di depan pintu itu memperkenalkan dirinya sembari melangkah masuk dan langsung duduk tanpa ijin, dengan mata yang menatap tajam dan terlihat sangat merendahkan.

Mata Ivana membulat sesaat, ketika mendengar nama tamu yang datang ke rumahnya sore itu, dan kembali bersikap datar walau masih terlihat sisa ke terkejutnya tadi.

"Ternyata ... kamu orangnya yang bersedia menggantikan aku sebagai istri Faris," ujar tamu perempuan itu lagi.

Ivana tak menjawab, dia hanya memberikan senyuman tipisnya, memilih duduk di sofa tepat di hadapan Bella, hanya dipisahkan oleh sebuah meja saja.

Untung saja Naya tadi sempat pindah ke dalam rumah, jadi lebih leluasa Ivana menghadapi calon istri dari suaminya itu.

"Tapi aku yakin, kamu tidak rugi kan menikah pura pura dengan Faris? Karena aku bisa lihat dari penampilanmu kalau hidup kamu terjamin."

Dengan senyum sinis, di tambah tatapan tak mengenakkan, Bella memandangi Ivana dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Kamu harusnya berterima kasih padaku, berkat akulah kamu bisa merasakan tinggal di rumah semewah ini, di layani banyak pelayan. Kamu juga bisa pergi ke mana mana tanpa kepanasan, hanya dengan memberikan perintah!"

Bella berkata sambil mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumah yang saat ini di tempati oleh Faris dan Ivana.

"Sudah hampir lima bulan kamu berstatus sebagai istri dari Faris, jadi aku pikir ... cukuplah sudah kamu bersenang senang, kini waktuku untuk meminta hak yang sudah kamu gantikan! Kamu tahu kenapa?"

Bella bertanya dengan kepala yang tiba tiba bergerak tegak lurus menghadap ke arah Ivana.

Ivana menggelengkan kepala, walau semua kalimat yang dia dengar dari Bella semuanya pedas, Namun perempuan cantik itu terus memberikan senyum dengan wajah datar.

"Menurut Mbak, kenapa?" tanya Ivana dengan sangat tenang.

"Karena cinta Faris itu hanya untukku, kamu pasti tahu itu kan?!"

Mendengar jawaban Bella, Ivana masih terus tersenyum datar, tak menjawab.

"Kamu juga pasti sudah tahu, kalau semua yang ada di dalam rumah ini, itu sesuai dengan seleraku."

Bella berkata dengan raut wajah yang menunjukkan keangkuhan.

"Mbak mau minum apa? Biar saya—"

"Kenapa? Kenapa membelokkan pembicaraan? Kamu kesal ya, karena aku datang untuk menjadikanmu janda?!"

Dengan sedikit meninggikan suara, Bella memotong ucapan Ivana. Sepertinya dia tak rela jika Ivana pergi dari hadapannya.

"Tidak, kenapa harus kesal?!" tanya Ivana, tetap dengan sikap yang sangat tenang.

"Bagus deh kalau begitu," seru Bella, yang tiba tiba berdiri dari duduknya.

"Aku beri kamu waktu dua hari untuk mengepak semua barangmu, lalu pergilah jauh, jangan lagi kau tunjukkan wajah tak berdosamu itu di depanku dan Faris, kamu paham kan?!" ujar Bella yang kemudian membalikkan badan dengan sombongnya.

"Kenapa tidak boleh? Punya hak apa kamu hingga berani beraninya mengusir Ivana dari rumah ini?"

Tubuh Bella terlihat menegang saat mendengar ada suara yang membantah dari belakang punggungnya.

"Memangnya kamu siapa?!"

Mata Bella membulat sempurna saat dirinya berbalik dan melihat sosok yang tadi berani membantahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status