Share

Bab 2

"Dari ruqyah, Ma." jawab Amy, sambil membuka kunci pintu.

"Ruqyah rahimmu itu?" selidik perempuan yang dipanggil dengan sebutan mama oleh Amy.

Amy tersenyum kecut.

"Terus apa hasilnya? kamu kerasukan ? Teriak-teriak kepanasan?" cerca perempuan tadi.

"Nggak Ma, Amy baik-baik saja," jawab Amy tenang.

Amy mempersilahkan perempuan itu untuk masuk.

"Masa sih nggak ada gangguan? Kalau begitu mengapa kamu belum hamil juga?"

"Kata ustadzah Fulsun, mungkin Allah tengah menguji kesabaran kita, Ma," jawab Amy, yang masih mencoba bersabar.

"Ah itu cuma teori, mana ada Allah memberi ujian di luar batas kesabaran hamba-Nya. Kamu tau 'kan, Tesla itu sudah gak sabar mau momong anak, aku juga sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Cuma kamu saja, yang terlihat santai seperti tidak ada beban!"

Amy seketika membeku mendengar kata-kata yang terucap dari mulut perempuan itu, kalau saja tidak menimbang posisi wanita itu sebagai ibu dari suaminya, ingin sekali Amy mengusir pergi wanita bernama Dialin tersebut.

Dialin selalu begitu sejak setahun lalu, perubahan sikapnya terjadi setelah tahun ketiga pernikahan Amy dan Tesla. Dia menuduh Amy mandul, dan kerap membanding-bandingkan Amy dengan anak-anak sahabatnya.

"Kita tidak boleh berburuk sangka dengan Allah, Ma." gumam Amy pelan, sambil melangkah ke arah dapur.

"Mama tidak berburuk sangka dengan Allah, justru Mama curiga jangan-jangan kamu ini memang mandul."

"Ma," ujar Amy tercekat.

"Mama tidak mau tau ya, Amy. Tahun ini kamu harus beri kami cucu, umur Tesla semakin bertambah, dan dia anak satu-satunya. Kalau kamu tidak dapat memberikannya keturunan, maka izinkan dia berpoligami."

Amy menatap nanar ibu mertuanya itu, dia tidak percaya Dialin tega menyuruhnya memberikan izin Tesla untuk menikah lagi.

Kata sabar seumpama tanaman di dalam taman hati Amy, yang terus dipupuk sejak dua tahun lalu. Sabar menanti hadirnya janin di rahimnya, juga sabar menghadapi sikap Dialin yang melampaui ambang batas kewajaran.

Amy menarik napas panjang, dan dihembuskan secara perlahan. Tidak ada guna lagi berdebat, hanya akan menimbulkan sakit di kepala. Dia berlalu meninggalkan Dialin, dan kembali lagi dengan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

"Mama tidur di sini?" tanya Amy pada sang mertua, yang sedang membuat segelas kopi.

Sudah biasa bagi Dialin, membuat sendiri minuman untuknya apabila berkunjung ke rumah sang anak, karena kopi buatan Amy tidak pernah sesuai dengan seleranya.

"Enggak, Mama cuma singgah. Habis nganterin anak teman pindahan." jawab Dialin ditingkahi suara klinting sendok yang beradu dengan gelas kopi.

Amy diam saja karena fokus mengeluarkan aneka bahan masakan dari kulkas, dia akan memasak dimsum udang yang menjadi makanan kesukaan suami tersayang.

"Kalau begitu tunggu Tesla pulang saja, biar nanti diantar," ujar Amy.

"Kesorean, Papamu sudah di jalan kok dari kantor, langsung ke sini jemput Mama." jawab Dialin, sebelum menyesap pelan kopi panasnya.

Perempuan itu membawa gelas kopinya ke beranda belakang, di halaman belakang tumbuh aneka tanaman bumbu dapur seperti kunyit, serai, lengkuas, dan cabai. Dialin sangat menikmati pemandangan, yang selalu membuatnya kagum pada sang menantu.

Dia pernah berkata kepada Amy, "Andai rahimmu sesubur tanaman yang kamu tanam, lima tahun pernikahan mungkin telah berbuah lima anak yang menggemaskan."

Menurut Dialin, seharusnya Amy sudah memiliki lima anak. Dia lupa bahwa anak manusia bukanlah boneka, yang bisa dibentuk dari adonan terigu atau dirajut dari benang. Dia juga lupa bahwa bukaan aktivitas seksual, yang membuat seorang anak manusia tercipta di dunia ini.

Dialin melupakan takdir dan kehendak Tuhan, yang memberikan rezeki(anak) kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tuhanlah yang berhak menentukan siapa, yang akan diuji dengan hadirnya seorang anak. Siapa pula, yang akan diuji dengan tidak hadirnya seorang anak.

Ada orang yang tiba-tiba hamil hanya karena diperkosa atau berzinah, sementara Amy yang berhasil menjaga kesucian hingga ke pelaminan masih diuji kesabarannya dengan belum hadirnya si jabang bayi dalam kandungan. Meskipun setiap malam dia dan Tesla melakukan ritual seks, nyatanya tetap saja Tuhan belum berkehendak memberi mereka anak.

"Amy, Mama pulang," suara Dialin mengejutkan Amy, dan langsung membuyarkan lamunan wanita muda itu.

"Memangnya papa sudah datang, Ma?" tanya Amy gelagapan.

"Assalamualaikum," sapa satu suara lain di pintu.

Amy bergegas menuju ruang tamu, tampak seorang pria setengah baya berdiri di ambang pintu rumah. Amy bergegas menyalami lelaki kharismatik tersebut.

"Kamu sehat, Nak?" tanya lelaki itu, yang tidak lain adalah Furqon ayahnya Tesla.

"Alhamdulillah, Pa." jawab Amy sopan.

"Sehat tapi belum hamil juga," cibir Dialin.

Amy lagi-lagi hanya bisa menarik napas panjang mendengar kalimat sindiran yang dilancarkan si ibu mertua.

"Ya sudah. Ma, ayo kita pulang." ajak Furqon bijaksana, dia tak ingin sang istri terus menyudutkan menantunya.

"Amy, mama dan papa pulang, ya Nak. Kamu baik-baik di rumah titip salam untuk Tesla, ya." Pamit Furqon sembari membelai puncak kepala menantunya itu.

*****

Sampai pukul 21.30. WIB, Tesla belum juga kembali ke rumah. Amy mulai gelisah, tidak biasanya sang suami belum kembali sampai selarut ini, tanpa kabar sama sekali.

Berulang kali Amy coba hubungi ponselnya, nada tersambung tetapi tidak dijawab oleh Tesla.

"Apa dia ke rumah mamanya?" Amy bertanya-tanya di dalam hati.

Tesla memang kerap mengunjungi orang tuanya tanpa Amy, bagi Amy itu bukan masalah besar. Bukankah wajar seorang anak mengunjungi orang tuanya, Amy berpikir, barangkali ada hal penting yang harus mereka bicarakan.

Namun kali ini berbeda, Amy merasa tidak tenang dan cemas. Kata-kata Dialin sore tadi terus terngiang di telinga, "Kalau tahun ini kau belum bisa memberi kami cucu, maka izinkan Tesla untuk berpoligami."

"Jangan-jangan Mama tengah membujuk Tesla, untuk menduakan aku?" Amy mulai berpikiran buruk.

"Astagfirullah," ucapnya penuh sesal, tidak seharusnya dia memikirkan hal yang belum tentu terjadi.

"Assalamualaikum."

Amy menoleh ke arah pintu kamar, sosok yang barusan dia pikirkan berdiri nyata di depan mata. Senyum Tesla bak tetes hujan, yang membasahi keringnya tanah di musim kemarau.

"Kamu dari mana? Aku hubungi kenapa tak dijawab?" todong Amy manja, sambil melangkah mendekati Tesla dan memeluk lelaki itu.

Ada aroma asing yang terhirup oleh indera penciumannya, aroma parfum wanita yang tidak pernah dipakai olehnya.

"Maaf ya, Sayang. Tadi aku ada kelas tambahan, dan lupa mengabari kamu," sesal Tesla, memberikan alasan.

Amy menatap dalam ke manik mata suaminya, berusaha mencari kebenaran dari pengakuan yang terucap barusan oleh bibir mungil milik Tesla.

"Ya udah gak apa, sebentar Amy panaskan dimsumnya ya, sementara itu kamu bersih-bersihlah dulu," ujar Amy hendak berlalu. Namun gerakannya tertahan, karena lengannya masih cekal Tesla.

"Gak usah, aku sudah makan kok," jawab Tesla, atas tatapan heran Amy.

Kedua alis Amy nyaris bertemu, menatap wajah sang suami yang tampak lelah.

"Makan di mana?" Selidiknya.

"Di ... Hem ... Di ... di rumah mama, ya di rumah mama," jawab Tesla tergagap.

Amy merasa, ada hal yang berusaha ditutup-tutupi oleh sang suami.

"Kamu yakin, makan di rumah mama?" tanyanya.

Tesla mengangguk.

"Mama gak cerita ke kamu, kalau dia ke sini sore tadi?"

Alis Tesla bertaut, wajahnya menyiratkan keterkejutan, dan seperti khawatir belangnya ketahuan.

"Nggak tuh, memang tadi sore mama ke sini?" Tesla malah balik bertanya.

Amy mengangguk, "Mama bilang kalau tahun ini aku gak bisa kasih kalian keturunan, maka aku harus kasih kamu izin poligami." Cerita Amy, sambil dia duduk di kursi meja riasnya.

Tesla menghampiri, dan menyentuh kedua pundak istrinya itu.

"Jangan masukan ke hati, kata-kata mama itu. Percayalah, sampai detik ini aku masih mencintai kamu, dan menurutku tidak akan ada satu perempuan pun dapat menggantikan posisimu di hatiku."

Amy tersenyum menatap Tesla dari pantulan kaca rias, walau kata-kata suaminya tadi terdengar gombal. Namun dia bahagia dan percaya, kalimat tersebut keluar dari lubuk hati Tesla yang paling dalam.

"Boleh aku minta sesuatu?" tanya Amy, sepertinya ini waktu yang tepat baginya untuk memaksa Tesla mendatangi suatu tempat.

"Tentu saja, Sayang. Kamu mau minta apa?" tanya Tesla.

"Besok pulang cepat dan temani aku ke dokter Dira."

Tesla terdiam sejenak, "Aku hanya antar saja ya," ujarnya.

Amy menggeleng, "Kali ini kamu harus ikut diperiksa," jawab Amy.

"Aku tidak mau kalau dokternya perempuan, kamu tau itu, bukan?"

"Tesla, aku mohon." Pinta Amy memelas, saat suaminya itu mulai hendak berkilah.

"Mau sampai kapan kita begini terus? Kamu tidak bolehkan aku konsultasi dengan dokter kandungan pria, tapi kamu sendiri juga tidak mau diperiksa oleh dokter wanita. Kalau begini terus kapan program kehamilan kita akan berhasil?" Gugat Amy.

Tesla terdiam.

"Kamu sudah berjanji denganku, aku mohon kali ini saja. Hanya tanya jawab kok, tidak disentuh pun." kembali Amy memelas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status