“Liam Baskara. Liam Baskara mencari Anda, Tuan.”Kaivan terdiam sejenak kala mendengar ‘Liam Baskara’ mencarinya. Sepasang iris mata cokelatnya terpancar begitu dingin. Raut wajah tampak tak bersahabat begitu terlihat.“Katakan padanya, aku akan menemuinya nanti. Minta dia untuk menunggu,” ucap Kaivan dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Penjaga itu menundukan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Kaivan, Krystal, Aryan, dan Felicia.Tampak Krystal menautkan alisnya, menatap Kaivan dengan tatapan bingung. Ya, Krystal tidak mengenal nama ‘Liam Baskara’ itu kenapa dia memberikan tatapan bingungnya. Lain halnya dengan Aryan dan Felicia yang menunjukan wajah terkejutnya mendengar nama ‘Liam Baskara’ mencari Kaivan.“Ka, untuk apa Liam Baskara mencarimu?” tanya Felicia seraya menatap Kaivan. Nada bicaranya terdengar begitu penasaran kenapa bisa ‘Liam Baskara’ mencari kakaknya. Terlebih saat ini kakaknya tengah berada di rumah sakit. Andai kat
“Kai?” Suara lembut Krystal memanggil Kaivan yang baru saja melangkah masuk ke dalam ruang rawatnya. Sesaat Krystal tampak menatap lekat-lekat Kaivan. Raut wajah sang suami terlihat berbeda dari sebelumnya. Wajah sang suami saat ini terlihat begitu dingin dan sorot mata yang tampak habis marah. Akan tetapi kenapa Kaivan marah? Bukankah tadi Kaivan bertemu dengan teman bisnisnya? Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak Krystal. Namun Krystal tidak mungkin langsung mempertanyakan apa saja yang ada di dalam benaknya saat ini.“Di mana Aryan dan Felicia?” Kaivan mendekat pada Krystal. Lalu duduk di samping sang istri. Ya, di ruang rawat itu hanya ada Krystal yang ditemani oleh dua orang pelayan. Namun, tepat di saat Kaivan masuk ke dalam ruang rawat Krystal; para pelayan itu segera pamit undur diri.“Aryan sudah mengantar Felicia pulang, Kai. Aku yang meminta Aryan untuk mengantar Felicia. Aku tidak tega kalau Felicia masih harus menungguku, Kai. Felicia pasti lelah dan ingin segera ist
Sebuah mobil sport yang dilajukan Liam meluncur membelah kota Jakarta dengan kecepatan di atas rata-rata. Sepasang iris mata Liam terhunus tajam menatap ke hamparan jalan yang luas. Fokus pria itu melihat ke arah jalanan. Akan tetapi, pikirannya tampak tengah memikirkan sesuatu hal. Tentu dipikiran Liam saat ini adalah Livia. Hingga detik ini Liam tidak menyangka Livia berani berbuat nekat membakar rumah Kaivan, bahkan membuat istri dan adik Kaivan harus menjadi korban. Andai posisi itu dibalik, Liam pun tidak akan pernah mungkin melepaskan pelaku. Namun, kali ini Liam tetap harus membela Livia meski dalang kejahatan pada semuanya adalah Livia.“Sialan!” Liam memukul setir mobilnya. Ketika dia tengah memikirkan Livia, sekelebat ingatan Liam muncul tentang dirinya dan Kaivan yang tadi sempat berdebat. Ini sudah Liam duga, dia yakin Kaivan tidak akan pernah mungkin membebaskan Livia. Pun Liam tak memungkiri apa yang dilakukan Livia telah kelewatan batas.Didetik selanjutnya, Liam mengam
Kabar Livia berada di penjara terus menjadi sorotan publik. Media tidak habis-habisnya membahas tentang Livia—yang di mana dengan tega membakar rumah Kaivan, bahkan membuat istri dan adik Kaivan harus menjadi korban. Tak hanya itu, media pun sudah mendengar desas desus Livia yang tengah hamil. Namun, hingga detik ini pihak Livia memang selalu bungkam dan tidak menjawab satu pun pertanyaan dari media. Hal ini yang menyita perhatian publik. Tak hanya pihak Livia tapi pihak Kaivan pun bungkam setiap kali media menanyakan tentang kebenaran kehamilan Livia.Ya, akibat Livia masih mendekap di dalam penjara membuat perusahaan besar Pramana Group mengalami penurunan saham yang drastis. Segala upaya yang dilakukan Livia pun tidak akan mungkin bisa bebas dari penjara. Tentu semua tidak akan mudah karena Kaivan tidak akan pernah tinggal diam.“Pa, ini semua karenamu! Lihatlah sejak dulu Papa yang ingin menjodohkan Kaivan dan Livia. Sekarang semua kacau seperti ini? Mama pusing setiap kali arisan
“Kai … kenapa aku tidak boleh menonton televisi?” Suara Krystal bertanya dengan raut wajah yang bingung. Pasalnya, channel televisi semua dimatikan. Krystal hanya diperbolehkan menonton film saja atau membaca buku. Itu pun dibatasi. Kaivan selalu memintanya untuk lebih banyak beristrahat. Namun, tak dipungkiri berada di ruang rawat sangatlah jenuh.“Ini waktunya kamu tidur siang, Krys. Kamu sudah minum obat jadi waktunya kamu istirahat,” kata Kaivan dengan nada datar. Suaranya berbicara dengan pelan namun tersirat tegas. Mengisyaratkan untuk Krystal tidak membantahnya.Krystal mendesah pelan. “Iya, Kai. Aku akan tidur siang nanti. Tapi kenapa kamu selalu melarangku menonton televisi. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?” tanyanya penuh selidik.Ya, tindakan Kaivan ini seperti apa yang Krystal lakukan pada Galen—adiknya. Krystal mengingat jelas bagaimana dirinya berusaha menjauhkan Galen dari ponsel, berita, dan sebagainya hanya demi karena Krystal tidak ingin Galen melihat ad
“Nyonya, apa Anda ada keluhan?” Suara Dokter bertanya pada Krystal kala dia baru saja selesai memeriksa keadaan Krystal. Tentu saja Kaivan berdiri tidak jauh dari sang dokter tengah tengah memeriksakan keadaan Krystal.“Hm, tidak ada, Dokter. Aku baik-baik saja,” jawab Krystal dengan suara lembutnya seraya menatap sang dokter yang berdiri di hadapannya itu.“Istriku sering mual setiap pagi. Nafsu makannya juga terkadang menurun. Obat darimu tetap saja membuat istriku mual,” seru Kaivan dengan tatapan dingin dan tegas pada dokter yang tengah memeriksakan keadaan istrinya. Ya, Kaivan tidak tega setiap pagi Krystal harus mual-mual. Tidak hanya itu, tapi nafsu makan Krystal selalu menurun. Padahal sebelumnya dirinya meminta dokter memberikan obat untuk istrinya. Namun, hasil tetap sama. Krystal tetap mual-mual dan nafsu makan menurun. Hanya sesekali Krystal mau makan, jika dirinya paksa atau karena Krystal sedang ingin makan sesuatu.Sang dokter tersenyum. “Semua itu normal, Tuan. Kehamil
“Selamat pagi, Nyonya Krystal.” Sang pelayan menyapa dengan sopan Krystal seraya melangkah masuk ke dalam ruang rawat Krystal. Pelayan itu membawakan nampan yang berisikan bubur ayam, sandwich tuna, dan juga obat yang dikonsumsi oleh Krystal setiap pagi.“Pagi.” Krystal tersenyum hangat kala sang pelayan mulai menyajikan makanannya ke atas meja kecil yang ada di hadapannya.“Nyonya, Anda ingin makan sendiri atau ingin saya menyuapi Anda?” tawar sang pelayan dengan sopan. Sang pelayan selalu menawarkan lebih dulu karena terkadang Krystal tidak selalu ingin disuapi olehnya.“Terima kasih, aku makan sendiri saja,” jawab Krystal lembut. “Ah, ya. Di mana suamiku? Apa dia sedang menerima telepon?” tanyanya yang sejak saat Krystal membuka mata, suaminya itu tidak ada di sisinya. Padahal setiap pagi ketika Krystal baru saja membuka mata, dia selalu melihat suaminya itu. Namun, jika Krystal tidak melihat Kaivan biasanya suaminya itu tengah menerima telepon.“Tadi saat Nyonya baru saja bangun,
“Tuan, berita skandal Anda dan Nyonya Livia telah terbongkar pada media. Bukan hanya itu tapi berita kehamilan Nyonya Livia mengandung anak Anda pun telah tersebar. Saat ini banyak para wartawan yang mencari Anda untuk meminta keterangan, Tuan.”Seketika raut wajah Liam berubah mendengar apa yang Gavi katakan padanya. Sepasang iris mata hitam Liam menyorot begitu tajam dan memendung emosi yang seakan ingin meledak. Rahang Liam mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat.“Fuck!” Liam mengumpat kasar. Dia memejamkan mata sesaat menurunkan emosi dalam dirinya. “Kenap media bisa tahu secepat ini, Gavi,” geramnya.Gavi menundukan kepalanya, tidak berani melihat Liam yang memberikan tatapan begitu tajam padanya. “T-Tuan, ini ulah Kaivan Mahendra, Tuan. Dia membalas Anda yang telah mengambil project-nya,” jawabnya dengan nada yang sedikit takut kala melaporkan pada Liam.Kilat mata Liam memancarkan jelas kemarahan. Geraman tertahan terlihat jelas di wajahnya. Tak henti-henti Liam mengumpat kas