Share

03. Pernyataan Suka

Erisca sedang duduk di kursi makan, menikmati hidangan sarapan pagi yang tak enak masuk ke dalam mulut. Perutnya belum minat menerima pemasok energi hingga berakhir hambar. 

"Maaf, ya, semalam papa enggak bisa jemput kamu. Kemarin itu papa juga ada lembur di kantor. Mana hujan pula, makanya telat pulang." Fendi menjelaskan, Erisca mengangguk paham. 

"Enggak apa-apa lah, Pa. Lagian aku juga bisa, kok, pulang sendiri," imbuh Erisca, sekalian memberi kode kepada orang tuanya bahwa dia sudah dewasa –tidak perlu dikekang lagi. 

"Iya, papa juga tahu kalau kamu bisa pulang sendiri. Tapi apa kamu sadar sama orang-orang jahat di sekitaran? Bukannya papa egois awasi kamu seketat ini, tapi papa cuma khawatir karena kamu anak gadis satu-satunya."

Erisca hanya diam saja. Dia bosan mendengar perkataan sang papa yang terus diulang-ulang setiap hari. Harusnya mereka sadar jika anak muda punya keinginan untuk bebas. Pasti mereka juga pernah mengalami hal seperti ini. 

"O, iya, omong-omong kemarin malam kamu pulang sama siapa? Kok mama gak tahu, sih, kapan kamu masuk rumah?" Sarah menimpali. Wanita yang sedang memakan kerupuk itu menatap Erisca penuh selidik. 

Tentu saja Erisca dibuat gugup dan bingung harus bagaimana selain mengaduk-aduk makanan dalam piring. Mencari alibi yang logis pun tidak akan mempan. Mereka adalah orang tua yang sulit mempercayai anaknya sendiri. 

"Em ... a-aku kemarin pulang sendiri, kok. Naik ... naik ... taksi." Tangan Erisca bergetar kecil. Baik Sarah mau pun Fendi sama-sama menatapnya tajam. Dia mana bisa menyeimbangkan diri jika mereka berkelakuan seperti itu? 

"Muka sama suara kamu kelihatan banget bohongnya." Sarah meletakan sendok dengan gerakan lambat, menambah ketegasan yang terpancar begitu kentara. 

"Semalam kamu pulang sama siapa?!" desis Sarah, hendak beranjak dari kursi, tetapi Erisca segera mencegahnya. 

"I-iya, a-aku pulang diantar sama pak Guntur, atasan aku di kafe." Erisca pun menjawab karena enggan terus-terusan didesak. Dia sudah tidak peduli lagi meski orang tuanya marah-marah.

"Guntur? Laki-laki?" Kali ini Fendi yang buka suara. Matanya berkilat marah saat Erisca mengangguk. "Kamu enggak diapa-apain 'kan sama dia?" 

Fendi dan Sarah mendekati Erisca secara bersamaan. Mereka memutar-mutar tubuh gadis itu karena cemas jika anak satu-satunya terluka atau pun ternodai. Sampai Erisca berlari menjauh, mereka baru bisa diam. 

"Aku enggak apa-apa, kok, Pa, Ma! Lagian atasan aku di kafe cuma anterin doang, bukan mau macem-macem." Suara Erisca agak mengeras, sengaja agar menyadarkan kedua orang tuanya dari kecemasan yang over. 

"Oke, kalau ada yang sakiti atau godain kamu, bilang sama papa atau mama, ya? Jangan apa-apa dipendam sendiri." Fendi berjalan satu langkah, merangkul pundak sang anak lantas membawanya kembali duduk di kursi makan. 

"Mama dan papa itu cuma khawatir sama kamu, Ris. Mama enggak mau kamu kenapa-kenapa apalagi sampai diapa-apain sama laki-laki yang bukan muhrim." Sarah mengusap puncak kepala Erisca, menenangkan. 

Selalu seperti ini. Jika sudah marah, mereka akan langsung luluh saat Erisca terpojok. Orang tua macam mereka tidak pantas memperlakukan sang anak dengan semena-mena. Erisca juga manusia, tidak butuh diatur ini-itu karena dia sudah bisa jaga diri. 

"Hari ini aku pulang malam lagi. Kalau papa sama mama enggak mau aku kenapa-kenapa, kalian bisa jemput aku atau kirim taksi online ke kafe." Erisca meneguk susu hangat hingga tandas lalu mencium punggung tangan kedua orang tuanya, "Aku berangkat dulu, ya? Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam. Hati-hati, sayang. Kalau ada apa-apa kamu bisa telpon mama atau papa, oke?" 

Erisca mengangguk saja. Dia keluar rumah dan langsung disambut hangat oleh matahari pagi. Di jalan raya tampak macet karena kesibukkan pelajar dan pekerja yang siap memburu waktu. 

Erisca memilih menaiki angkot meski orang tuanya tidak mengijinkan. Kata mereka, di dalam angkot itu tidak baik untuk kesehatan tubuh. Banyak polusi dan virus dari kerumunan orang-orang. Tapi daripada menghabiskan uang untuk membayar taksi, lebih baik menghemat biaya, 'kan?  

Untung Erisca selalu membawa masker ke mana-mana agar terhindar dari virus-virus berbahaya. 

***

"Kamu lagi ngapain di sini?" Guntur mendaratkan bokongnya di samping Erisca. 

"Lagi cari angin aja." Karena terlalu berdekatan, Erisca sengaja menggeser tubuh agar sedikit berjarak. 

"Kenapa enggak masuk ke dalam? Di luar dingin, lho." Guntur memberi usul –sebenarnya ia hanya basa-basi supaya Erisca tidak diam saja. 

"Justru di dalam gerah, Pak. Jadi saya sengaja duduk-duduk di sini, sekalian lihatin jalan raya di sana." Erisca menjawab tanpa menoleh. Dia asik memandangi kendaraan yang berlalu-lalang menyuarakan malam. 

"Ngapain lihatin jalan raya? Enggak ada manfaatnya. Mending tatap aja muka saya, nanti kamu dapat asupan energi supaya kerjanya makin semangat," canda Guntur. Erisca melirik ke samping, menatap wajah pria itu tanpa berkedip sedikit pun. 

Guntur yang tidak tahu jika Erisca akan menuruti keinginannya, seketika merasa tersengat listrik saat ditatap seperti itu. Cewek mungil yang satu ini memang bisa membuat Guntur teralihkan dari dunia. 

Sepertinya Guntur harus menjalankan rencana yang selama satu Minggu ini ia susun dengan apik. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang sekarang ada di depan matanya. Kalau terlambat sedikit saja, semua ekspektasi akan lenyap seketika. 

Oke. Tarik napas dalam-dalam lalu buang dengan tenang. Guntur berdehem dua kali guna menetralisir kegugupan yang menyerang diri. Tangannya mulai terulur menyelipkan anak rambut Erisca ke belakang telinga. 

"Memendam itu terlalu menyakiti diri. Melihat dari kejauhan itu sangat tidak sehat untuk jantung ini." Guntur balas menatap Erisca tak kalah intens. Sedangkan di sisi lain, ada gadis yang bingung diperlakukan aneh seperti itu. 

"Pak Guntur kenapa, sih?" batinnya, keheranan. 

"Ada satu rasa yang bikin darah saya mengalir kencang ke sekujur tubuh. Rasa yang tumbuh sejak saya kenal kamu." Guntur beralih mengambil tangan Erisca, menggenggamnya erat-erat menyalurkan kehangatan di tengah sejuknya malam. "Kamu tahu rasa apa yang saya maksud?" Kali ini Guntur bertanya demikian. 

Erisca spontan menggeleng tanpa suara. Dia hanya fokus menatap tangannya yang Guntur usap menggunakan ibu jari. 

"Rasa yang bisa mengalihkan saya dari kesedihan. Kamu ibarat obat di saat saya terluka, Ris. Saya sembuh karena kamu." Diam sejenak. Ini lah saatnya Guntur harus beraksi. "Em, oke, ini emang terlalu berbelit-belit. Saya cuma mau bicara kalau s-saya s-suka sama kamu!" 

Berhasil! Guntur segera membuang muka sembari menyeimbangkan deru napas yang memburu. Huh, ternyata menembak hati seseorang rasanya lebih mengerikan dari percikan minyak kompor. Padahal ini bukan yang pertama kalinya. 

"Bapak serius?" Erisca bertanya, pelan. Tidak percaya saja jika Guntur akan menyatakan perasaannya di saat Erisca sedang lengah. 

"Kamu pikir saya bercanda? Coba pegang ini!" Guntur sengaja menyimpan tangan mungil Erisca di depan dada kirinya. 

Oh, benar! Detak jantung pria itu sangat rusuh sekali seolah-olah sedang berkonser riang. Erisca jadi melongo dengan mulut agak membulat. Dia tidak menyangka bahwa Guntur juga mempunyai perasaan yang sama seperti dirinya. 

Erisca mengangguk tengkuk yang tak gatal. Dia hanya terkekeh kecil saja karena bingung hendak melakukan apa. 

"Jadi?" tanya Guntur, memberi kode-kode agar Erisca peka. 

"Jadi apa, Pak?" Erisca balik bertanya seperti orang bloon. 

Guntur meringis pelan. Ia kembali meraih kedua tangan Erisca lantas berkata, "Jadi, kamu terima saya atau enggak?" 

Erisca diam sambil menunduk. Sesaat setelah itu dia mendongak sembari mengembangkan senyum dengan mata berbinar. "Iya, saya terima," putusnya tanpa ragu-ragu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status