Share

Keluarga Arif Tyas Surgawi

Ada apa dangan Langit? 

Oh, pasti karena aku yang tak pandai membahagiakan hatinya. Tak pandai menjaga perasaan, mendidik dan membersamai selama ini. Iya, kan? Ah! Jangan-jangan karena aku dan Mas Tyas sering bertengkar? Oh, mungkin Langit bersedih hati dan merasa tertekan dengan semua itu? Tapi bagaimana lagi, Mas Tyas susah diajak bicara baik-baik. Itulah mengapa, kadang-kadang aku berteriak-teriak seperti di tengah hutan. Kalau tidak begitu, mana mau dia memasang telinga? 

"Ma, Ayah pulang! Sendiri dia, nggak sama Uti." bisik Bumi ditelinga kiriku dengan penuh semangat, "Adek ditaruk aja Ma, biar aku yang jaga. Kalau nggak, nanti Ayah pergi lagi. Kasihan Mas Langit. Masa, nggak balik-balik ke pondok?"

Siiirrr dug, dug, duuuggg!

Berarti benar apa yang kupikirkan tadi. Bumi yang baru sembilan tahun saja sudah terkena dampak dari keburukan sikap Mas Tyas, apalagi Langit? Wah, ini tidak bisa dibiarkan, mau tidak mau kami harua bicara empat mata secara dewasa sebagai orangtua. Titik. 

"Mas Bumi jaga Adek, ya?" kataku sambil menepuk-nepuk lembut pantat Lova, "Mama nemuin Ayah dulu. Oke?" 

Kulihat Bumi mengangguk sambil tersenyum, "Mama jangan nangis tapi, Ma. Nanti Ayah malah tambah nakal!"

Dug!

Sungguh, aku merasa detak jantungku berhenti berdetak saat mendengarkan kata-kata Bumi. Ini namanya gawat kuadrat. Apa Mas tyas tidak menyadari itu? Anak-anak sudah ill feel dengannya. Paranoid. Masa dia tidak tahu atau malah sengaja? Maksudku, bersikap seolah-olah benar dan melakukan yang seharusnya. Ckckckck, ini namanya pelanggaran hukum pernikahan. Aku juga, sih. Ya Allah, berarti anak-anak sering melihat aku menangis? Eh! Kok, aku tidak tahu?

"Ya, Mas Bumi sayang." sahutku singkat setelah berhasil menidurkan Lova dengan tenang, "Mama ke depan dulu, ya?" 

Lagi, bumi mengangguk. Mengacungkan jempolnya dengan mantap, membuat semangatku terpompa maksimal. Pokoknya, pagi ini juga aku harus bicara dengan Mas Tyas. Bicara tentang banyak hal, terutama tentang anak-anak. Kalau dia tidak mau, aku akan paksa. Ini bukan lagi tentang hubungan asmara semata-mata tapi kehidupan berumah tangga. Sampai kapan kami begini? Mas Tyas tak bisa melepaskan diri dari Ibu dan aku hidup dalam bayang-bayang masa lalu. 

Oh, ooohhh, menyakitkan!

"Mas, gimana keadaan Ibu, Mas?" sebisa mungkin aku mengawali pembicaraan dengan baik, "Sudah enakan lambungnya?" 

Mas Tyas tersenyum tipis, "Ya, Alhamdulillah. Sehat, sudah enak tidurnya. Nggak mual-mual lagi … Napasnya juga sudah nggak sesak lagi!" 

Di sini, di seberang meja makan, aku ikut tersenyum, "Alhamdulillah kalau gitu, Mas. Jadi, nanti malam kamu sudah bisa tidur di rumah kan, Mas?" 

Mas Tyas terdiam. Matanya berkilat-kilat menatapku tapi aku tak peduli. Dulu, sebelum ada Lova, aku sudah menawarkan diri untuk merawat Ibu. Tapi Mas Tyas menolak dengan alasan kasihan anak-anak, tidak ada yang menjaga di rumah. Nanti malah kurang perhatian, mereka. Padahal aku sudah memberikan gambaran paruh waktu. Pagi, setelah anak-anak berangkat ke sekolah, aku berangkat ke rumah Ibu. Sore, sebelum anak-anak pulang sekolah, aku sudah di rumah lagi. Nah, malam harinya baru menyelesaikan pekerjaan rumah. Lagipula anak-anak kan, full day school semua. Biar semua enak lah, maksudku. Tapi ya itu, dia tidak setuju. 

Sekarang, giliran sudah ada Lova, dia super sibuk dan sensitid gara-gara Ibu tidak ada yang merawat. Halooo, di mana letak kesalahanku sebagai anak menantu? Tidak ada, kan? Karena bahkan, beberapa waktu yang lalu aku juga sudah mengusulkan dua jalan. Pertama, Ibu dirawat di sini. Ke dua, kami yang merawat Ibu di sana. Ya, aku tidak mungkin menjalankan gambaran paruh waktu yang dulu lagi sekarang. Kasihan Lova kalau diajak wira-wiri setiap hari. Iya, kan? 

"Anak-anak kangen banget tuh sama kamu!" kataku menggeser tema, "Mereka kan juga butuh perhatian kamu, Mas. Bukan hanya nasi bungkus."

Sumpah, rasanya sesak dan sakit setiap melihat Mas Tyas pulang dengan menenteng kantong plastik hitam yang berisi nasi bungkus dari rumah Ibu. Kenapa harus dibungkus, sih? Kenapa harus dari rumah Ibu? Apa Mas Tyas  memasak di sana? Tidak mungkin, kan? Kemungkinan yang paling mungkin adalah Ibu memasak untuk kami dan dengan alasan kepraktisan, mereka membuat konsep nasi bungkus. Duh, Ya Allah … Apa kami hanya boleh makan satu kali saja dalam dua puluh empat jam? Uang dua puluh ribu---jatah harian pun---harus cukup untuk sehari. Dengan tiga orang anak, lho. Malah, Ibu pernah menyindirku seperti ini dulu, "Nyelengi lah, dua ribu … Seribu juga kalau satu ember penuh kan, jadinya banyak?" 

Maksudnya? 

Dua puluh ribu dikurangi dua ribu untuk celengan, tinggal sisa delapan belas ribu, dong? 

"Nyinyir!" sergah Mas Tyas sambil menaikkan retsleting jaketnya, "Makanya males aku di rumah!"

"Nyinyir, Mas?" dengan perasaan meradang aku bertanya, "Kapan aku nyinyir sama kamu Mas?"

"Halah, cerewet!" Mas Tyas berdiri, memakai helm dan berjalan ke garasi. Mungkin sudah mau berangkat lagi. 

"Ya, kalau Mas baik, tanggung jawab … Aku nggak akan banyak ngomong, Mas. Kenapa sih Mas, selalu aku yang salah di mata kamu?" dengan segenap perasaan terluka yang selama ini kupendam, aku menarik punggung jaketnya, "Enak ya Mas kamu, bisa bersembunyi ke sana ke mari … Lari dari semua masalah. Kamu boleh saja dari semua orang yang kamu ada masalah sama mereka tapi jelas aku nggak akan pernah membiarkan kamu lari dari anak-anak. Ya Allah, Mas … Mereka itu tanggung jawab Mas!" 

Mas Tyas melepaskan jaket dan berjalan cepat ke luar rumah, aku mengikutinya. Mungkin dia pikir, aku akan tetap tinggal di dalam rumah karena takut Lova rewel? Jadi, dia langsung naik ke atas sepeda motor bututnya, menyalakan mesin. Mungkin dia mau nekat berangkat bekerja tanpa jaket? Ah, jelas dia lupa, jaket kan atribut kerjanya! Mana bisa bekerja tanpa mengenakan jaket? Ugh! Boleh tidak sih, memaki suami? Rasanya kok, geregetan sekali ya, melihat sikapnya yang seperti ini. Dasar, egois! 

"Mau ke mana, Mas?" 

"Kerja, lah!"

"Kerja apa main game di rumah Ibu, Mas? Jangan kamu pikir aku nggak tahu ya, Mas?"

"Kenapa sih Yung, kau cerewet banget? Pusing aku!"

"Oh, kamu bisa pusing juga, Mas? Kupikir cuma aku saja yang pusing mikirin sekolah anak-anak, kebutuhan sehari-hari … Kalau nggak mau aku begini, tanggung jawab lah, Mas! Tuh, Langit masih patah hati gara-gara kamu. Sudah seminggu lho, nggak sekolah. Masa kamu mau diam saja, Mas?" 

Plaaakkk!

Lagi-lagi, tamparan super duper keras itu melayang di pipiku sampai sudut bibirku berdarah. Pedih, langsung bengkak rasanya. Tak berselang lama, Laut berderap menuruni tangga dan langsung emosional begitu menyadari apa yang telah diperbuat oleh ayahnya. Sementara aku, hanya bisa menahan sakit dan berjalan gontai ke dapur. Harus segera mencuci wajah, jangan sampai Langit dan Bumi melihat ini. Cukup Laut saja, walaupun itu juga menyedihkan. 

'Maafkan Mama, Nak!'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status