Devan mengacak rambutnya yang masih basah. Malas mengeringkan pakai handuk.
"Dari tadi pulangnya kah, Sayang?" Eleanora menaruh ember itu di kamar mandi. "Nggak mau bilang."
"Kamu dapat embernya di mana?" Bukannya protes soal Eleanora yang lagi-lagi masuk sesuka hati. Devan malah salah fokus ke ember yang Eleanora bawa. Seingatnya ia baru pulang dan embernya tidak pernah ia taruh di luar kamar.
"Di bawah jemuran, kan kamu yang simpan di situ. Habis ngejemur nggak dikasih masuk lagi."
Devan mengangguk. Ia tak ingat kapan terakhir kali mencuci dan menjemur pakaian. Rasanya tidak mungkin kalau karena saking capeknya ia sampai ngelindur dan melakukan semua itu.
Saat ini mereka sedang diam-diaman. Eleanora sibuk dengan ponselnya, sedang Devan tak tahu mau berbuat apa. Tak lama ia ingat sesuatu, ia harus cari kerja sesuai jurusan kuliahnya. Ia tak bisa kaya kalau hanya jadi kurir terus-terusan.
Devan mengambil laptop dan mejanya, lalu duduk di lantai, bersandar di tempat tidur. Berhadapan dengan Eleanora yang bersandar di dinding. Namun, tak lama Eleanora pindah ke atas tempat tidur, kepalanya berada tepat di belakang Devan. Tanpa suara memperhatikan Devan browsing lowongan pekerjaan di internet.
Tak lama berselang Eleanora keluar menerima telepon lalu masuk lagi membawa dua kotak makanan. Devan ingin senyum, tapi gengsi. Eleanora cukup royal jadi cewek, rajin membelikan makan. Devan tak peduli harga diri, yang penting uangnya utuh. Toh bukan dia yang minta. Kalau dikasih ya dia terima saja.
"Cemilan," kata Eleanora menjawab tatapan Devan.
Devan menyingkirkan laptopnya, mengambil satu kotak yang diberikan Eleanora. "Sushi kok cemilan."
"Kan sedikit, anggap saja pengganjal." Eleanora membuka miliknya.
"Daging mentah ya?"
"Ini yang mentah." Eleanora menunjuk punyanya. "Mau?"
Devan menggeleng. "Enggak."
Devan menikmati sambil membaca lagi lowongan-lowongan pekerjaan. Harapannya ada pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya.
"Sudah kenyang?"
Devan menoleh ke Eleanora yang sedang mengemut ujung sumpitnya. "Mungkin."
"Mau beli lagi?” Tanpa perlu menunggu jawaban Devan, Eleanora langsung sibuk dengan ponselnya.
Devan heran, dari keliatannya umur Eleanora masih di bawahnya, juga belum bekerja, tapi Eleanora tidak ragu mengeluarkan uangnya. "Kamu anaknya orang kaya ya?”
Devan agak ragu, karena menurutnya kalau orang kaya pasti akan cari kos-kosan yang jauh lebih bagus daripada ini. Memang isi kamar kos Eleanora lebih bagus daripada isi kamarnya atau kamar kos lain yang ada di sini.
Walaupun ukuran kamar mereka sama, tapi Eleanora masih punya meja. Di kamar Eleanora ada dua lemari, satu lemari pakaian, satu lagi lemari piring. Mungkin isinya bukan hanya piring, tapi barang-barang lainnya.
Eleanora berhenti memainkan ponselnya, ia fokus ke Devan. "Bukan, tapi aku punya banyak uang."
Devan berdecak. "Ya orang kaya berarti."
"Bukan, Sayang." Eleanora menusuk telapak kaki Devan dengan sumpit yang habis masuk di mulutnya. "Orang kaya itu punya mobil bagus. Kalo aku jangankan mobil jelek, motor aja nggak ada."
"Katanya kamu punya banyak uang? Kalo punya banyak uang berarti orang kaya." Dalam bayangan Devan punya banyak uang berarti punya uang sampai ratusan juta bahkan milyaran.
Eleanora mendekat, ikut bersandar di tempat tidur. "Emangnya kalo aku orang kaya, kamu mau nikah sama aku? Yuk kita nikah." Eleanora mengedipkan sebelah matanya, menggoda.
Devan meletakkan tangannya di wajah Eleanora lalu mendorongnya menjauh. Wajah gadis itu terlalu dekat dengannya.
"Ayo kita nikah."
"Nggak."
"Kenapa? Aku kaya kok."
Devan memicingkan matanya ke Eleanora. "Kamu kira karena saya suka uang saya hanya akan cari istri yang kaya?" Devan merasa tersinggung. "Walaupun saya mata duitan, tapi saya masih punya prinsip."
Devan menghadap lagi ke laptop, mukanya kaku. Ia tidak suka dengan ucapan Eleanora, rasanya seperti mengejeknya.
Eleanora menyandarkan kepalanya di tempat tidur. "Terus gimana caranya biar kamu mau nikahin aku?”
"Apa sih tanya-tanya." Devan menoleh, tepat saat Eleanora mengintip ke dalam bajunya sendiri, entah melihat apa.
Eleanora mengangkat kepalanya, melihat Devan lagi. "Aku mau loh kalo kamu mau DP duluan," ucapnya dengan cengiran khasnya.
Sudah. Devan tidak tahan lagi. Ia berdiri dan menarik Eleanora agar berdiri juga. Kebetulan suara pengantar azan sudah terdengar.
"Balik ke kamarmu sana. Kamu berisik."
Tanpa menunggu Eleanora keluar, Devan mengambil memakai sarung dan baju kokonya.
"Kamu mau solat?"
"Hmm."
“Di masjid? Ikuuuut." Eleanora bergegas berlari ke kamarnya.
Devan menyusul, ia menunggu di depan pintu. "Wudhu memang."
Eleanora tetap memakai mukenanya. "Nggak mau, nanti nggak bisa pegang kamu."
Devan memutar bola matanya, jengah dengan kelakuan Eleanora. "Saya sudah wudhu."
"Belum. Ayo." Eleanora menarik tangan Devan.
Devan menepis tangan Eleanora. "Jangan pegang-pegang. Dosa," katanya lalu berjalan lebih dulu.
Eleanora berdecak. "Makanya ayo nikah, biar aman kita mau ngapain aja."
Devan diam, tak menjawab. Pusing dengan Eleanora. Dikiranya nikah itu gampang. Padahal mereka belum lama kenal, tapi sudah berani ngajak DP duluan. Untung Devan bukan laki-laki kampret.
Kalaupun sudah kenal lama, Devan tidak mau nikah dengan Eleanora. Bukan karena Eleanoranya, tapi karena uangnya. Uangnya belum banyak, kalau dipakai untuk melamar anak orang nanti habis.
Devan pulang setelah isya, otomatis Eleanora pun mengikuti. Kalau Devan cepat pulang kerja, ia pasti magrib dan isya di masjid.
Saat pulang, Eleanora yang jalan beberapa meter di belakangnya bikin Devan malu di depan orang banyak. Perempuan itu meneriakinya saat ia sudah berjalan lebih dulu bersama beberapa orang yang ia kenal.
"Sayaaaang, tungguin dong!"
Devan berdecak. Ia tersenyum kecut pada kenalannya. Kenalan Devan tertawa dan menggoda Devan.
Dasar Eleanora tidak tahu tempat.
Sampai di kos, bukannya masuk ke kamarnya sendiri, Eleanora malah ikut masuk ke kamar Devan.
“Aku kan masih mau sama kamu, Sayang,” katanya memberengut. “Kangenku belum hilang tahu.”
“Nggak peduli.” Devan melipat tangan di dada, bersandar di pintu. “Lebih baik sekarang kamu masuk ke kamarmu, belajar lalu tidur, besok sekolah. Sudah malam. Bye.”
Devan bergerak cepat masuk dan mengunci pintu kamarnya. Tangannya hampir terjepit karena ulahnya sendiri. Terdengar Eleanora berdecak kesal di depan pintu.
Devan ganti baju, dan membuka lagi laptopnya. Ia membuat surat lamaran pekerjaan untuk beberapa lowongan yang tadi dilihatnya sesuai dengannya.
Tak lama pintunya kembali di ketuk.
“Pakeeet,” ucap seseorang di balik pintu. Suaranya agak diberat-beratkan, yang mana Devan tahu kalau itu suara Eleanora.
Devan memijit kepalanya. “Kenapa lagi anak itu?” Devan berdiri, mendekati pintu. “Kenapa?” Ia mengintip dari jendela.
Eleanora mengacungkan dua kotak makan.
Devan mengambil uang tiga puluh ribu lalu membuka pintu, tapi tidak lebar. Kepala dan tangan kanannya keluar, sedang tangan dan kaki kirinya ia pakai untuk menahan, takut Eleanora membuka paksa.
“Aku mau masuuuk.” Eleanora merengek.
Devan memberikan uangnya dan mengambil satu kotak nasi. “Saya sibuk.” Lalu menutup pintu, tak lupa menguncinya.
Mendekati pukul dua belas malam, Devan tidur. Dan bangun lagi saat suara pengantar azan subuh terdengar.
Dan alangkah terkejutnya ia mendapati wajah Eleanora ada di depannya. Mata tertutup, napasnya teratur. Eleanora tidur dengan posisi duduk di lantai sedang kepalanya ada di tempat tidur Devan.
Belum nikah, bukan penyuka one night stand, bukan juga orang sakit. Tiba-tiba pas baru buka mata setelah tidur semalaman ada wajah cewek tepat di hadapan. Devan terkejut bukan main, tidak teriak, tapi refleks kepalanya membuatnya kesakitan karena terbentur tembok. Sudah setengah jam berlalu, ia sudah wudhu, sudah solat subuh. Harusnya panas di dadanya sudah mereda, tapi nyatanya ia makin tersulut setelah gadis itu bangun dengan tanpa rasa bersalah. "Hehe iya, aku udah duplikat kunci kamarmu dari minggu lalu." Sungguh, kalau makhluk di hadapannya bukan perempuan, sudah pasti ia cakar-cakar wajahnya yang sejak tadi senyum terus. Devan bukan lagi butuh energi sampai harus dikasih gula terus menerus. Bukannya diabetes, dia bisa darah tinggi lama-lama. "Maumu itu apa sih?” Devan menahan suaranya agar tidak membentak. Apalagi ini masih pagi, subuh baru lewat, malah mungkin tetangga kosnya ada yang masih tidur. "Mauku itu kamu. Kita nikah, biar bisa sama-sama terus sama bisa n
Devan terdiam di depan pintu kamar mandi, badannya masih basah, dengan handuk menggantung di pinggang. Dadanya naik turun, ingin mengamuk tapi tidak tahu sama siapa. Matanya nyalang menatap sosok yang sedang berbaring di tempat tidurnya dengan tangan menutup wajah. Pura-pura bermain ponsel tapi masih mengintip di sela-sela jarinya yang sengaja direnggangkan. Devan mengembuskan napasnya dengan kasar, berusaha mengurai emosinya. Bisa-bisa cepat tua dia kalau terus-terusan marah-marah. Ia mengambil bajunya di lemari dan membawanya ke dalam kamar mandi. Tidak bisa pakai di luar, nanti kesenangan Eleanora melihatnya lebih lama. “Maunya pakai di sini saja, Sayang.” Eleanora sudah duduk saat ia keluar kamar mandi. Cengirannya tak pernah lepas. Devan ingin menjauh dari Eleanora, tapi sayangnya sekarang hari minggu, ia libur. Perkara ia mandi pagi karena semalam ia pulang kemalaman dan malas mandi sebab terlalu lelah. Devan melewati Eleanora begitu saja, mengabaikan gadis itu. Ia keluar
Eleanora senyum-senyum di belakang Devan yang mondar mandir sejak tadi. Beberapa jam berlalu, tapi kesal di wajah Devan tak juga hilang. Malah makin menjadi. Eleanora tidak yakin kalau Devan cemburu. Mungkin kesal karena ia datang mengacau kesenangannya. Eleanora mengedikkan bahu. Ia memegang pundak Devan dari belakang. "Capek, Sayang. Jangan mondar mandir terus," keluhnya. "Kamu kenapa sih?” Eleanora mendorong Devan agar duduk di tepi tempat tidur. Tak paham dengan Devan. Tidak biasanya lelaki incarannya seperti itu. "Kamu kenapa siiih?" Eleanora bertanya lagi, kini wajahnya dihadapkan begitu dekat dengan wajah Devan. Tapi Devan tetap tidak mau melihat dirinya. Gemas, Eleanora mencubit kedua pipi Devan. Yang akhirnya ditepis Devan. "Saya jengkel." Devan berdiri. Eleanora ikut berdiri. "Jengkel kenapa?” "Jengkel karena saya jengkel." "Hah?” Eleanora yang bingung jadi makin bingung mendengar jawaban Devan. "Ya udah main game lagi gih. Aku balik ke kamarku." Eleanora
"Sayaaaang." Eleanora muncul dengan melongokkan kepalanya dari balik pintu. Devan yang baru selesai solat menengok sekilas lagi lanjut zikir. Sejak makan malam yang dibiayai Devan waktu itu, Eleanora jadi lebih sering datang dan muncul di hadapannya. Pulang lebih malam, datang lebih cepat. Itu Eleanora sekarang kalau di kamar Devan. Devan mulai biasa saja, tidak lagi takut atau menghindari Eleanora. Devan lanjut dengan ibadahnya, Eleanora sibuk dengan ponselnya di tempat tidur Devan sambil rebahan. Katanya Eleanora sedang datang bulan, untuk sementara tidak bisa jadi makmum Devan. Dan Devan sendiri tidak ke masjid karena kesiangan.Devan melanjutkan dengan membaca Alquran, Eleanora mendengarkan, tak tahu Devan membaca surah apa. Eleanora bukan gadis alim yang paham agama. Bahkan solat pun karena ikut-ikut Devan. Hampir jam enam Devan baru berdiri. Ia sudah mandi jadi sengaja lama-lama. Canggung juga kalau masih subuh Eleanora sudah di kamarnya. "Keluar dulu, Saya mau ganti baju.
inggu lalu bikin mereka rugi banyak. Gajinya juga tidak dipotong, malah ia diberikan pesangon lumayan. Devan bingung, tapi senang juga. Devan pulang malam kali ini, menyelesaikan tugas untuk terakhir kalinya pakai motor Rifqi. Ia tidak berani memakai motornya sendiri yang tiba-tiba muncul secara misterius. Ia takut ada apa-apa dengan motor itu.Saat menaiki anak tangga, ponselnya berbunyi. Salah satu teman kampusnya menelepon, gadis yang pernah ia taksir dulu. Agak lama Devan membiarkan panggilan itu, ia perlu mengatur detak jantungnya lebih dulu. Ia grogi meski merasa sudah tak punya rasa apa-apa.Devan menarik napas sebelum menyapa. “Assalamu’alaikum, Ra. Ada apa?”“Wa’alaikumsalam, Van sibuk kah?”Devan tidak langsung menjawab, bingung harus bilang sibuk atau tidak. Harusnya sih tidak, karena ia pengangguran sekarang, tapi kalau ditanya capek atau tidak ya pasti capek. “Tidak, cuma ini baru pulang kerja. Kenapa?”Ia penasaran, kenapa wanita secantik Nara yang dulu jarang mengajakn
Devan terbangun ketika samar samar mendengar suara azan asar yang berasal dari ponselnya. Ia bergegas bangun meski beberapa kali menguap dan menutup mata.Devan berdiri dan bergegas masuk ke kamar mandi lalu mencuci wajahnya dengan brutal. Jika tidak begitu, ia takut akan tertidur lagi. Ia sangat mengantuk saat ini, dan tidur siang adalah rutinitas yang sangat jarang ia dapatkan.Usai mandi dan solat asar, Devan mengaktifkan ponselnya yang sengaja dinonaktifkan sebelum tidur tadi. Selang dua-tiga menit, notifikasi beruntun masuk. Ada beberapa mantan customer yang menanyakan paket pesanan mereka, entah itu pertanyaan kapan sampai, kenapa lama, kapan di antar, ataupun pemberitahuan jangan dulu diantar atau harus di mana di taruh paket itu.Ia membalas satu persatu, mengatakan bahwa ia sudah resmi berhenti jadi tukang paket. Balasnya satu persatu, tapi isi balasannya sama semua hasil copy paste.Tak lama, terdengar suara Rifqi yang memanggil. Devan pura-pura budek karena rencana ia berni
Kata orang putus cinta itu lebih menyakitkan daripada sakit gigi. Namun, banyak yang tidak tahu kalau ditolaknya lamaran kerja oleh HRD lebih menyakitkan daripada dua hal itu.Sakit gigi dan putus cinta rasanya tidak ada apa-apanya dengan melihat email lamaran kerja yang tidak kunjung mendapat balasan atau membaca email penolakan berkali-kali. Rasanya sakit sekali sampai isi dompet meronta-ronta.Saking kesalnya, Devan sampai berguling ke sana kemari di atas tempat tidur, yang berujung jatuh ke lantai. Jatuh dari ketinggian lima puluh centimeter rasanya seperti jatuh dari gedung lantai lima. Sakitnya remuk redam.Devan menggeram, ia butuh udara segar. Dan pilihannya jatuh pada dipan di bawah pohon mangga. Sedikit bodoh memang memilih berada di bawah pohon pada tengah malam. Bukan hanya suasana yang horor, tapi juga akan berdampak pada tubuhnya akibat menghirup banyak gas karbondioksida. Namun sekarang Devan hanya butuh udara dingin malam hari. Berharap bisa menghangatkan hatinya yang
Eleanora Dei GratiaDia mencintai seseorang apa adanya.Dengan bodoh, dengan tergesa. Melakukan apapun agar seseorang yang dia cintai itu menjadi miliknya. Bahkan ... Ia sampai melakukan sedikit hal-hal licik. Seperti mematikan mcb listrik agar lelakinya tak bisa memasak mi instan dan berakhir menerima makanannya. Selicik itu Eleanora. Dan kalau mau lebih licik lagi, Eleanora bisa, selagi itu bisa membuat Devan, yang dia cintai, menjadi miliknya.Seperti memberikan uang yang banyak kepada Devan. Harapannya laki-laki itu akan semakin terpesona padanya. Mau menerimanya lebih dalam dan menjadikannya seseorang yang spesial.Namun, harapan tinggal harapan. Devan menerima uangnya tapi tidak dengan dirinya. Atau mungkin uangnya juga tidak diterima, hanya belum dikembalikan saja. Perjuangannya tidak berharga di mata Devan."Uang yang kamu kasih itu uang haram, kan?"Pagi-pagi sekali, biasanya Eleanora yang menghampiri Devan, tetapi hari ini Devan yang mendatanginya. Namun bukan dengan raut ba