Share

Bab 4

Devan mengacak rambutnya yang masih basah. Malas mengeringkan pakai handuk.

"Dari tadi pulangnya kah, Sayang?" Eleanora menaruh ember itu di kamar mandi. "Nggak mau bilang."

"Kamu dapat embernya di mana?" Bukannya protes soal Eleanora yang lagi-lagi masuk sesuka hati. Devan malah salah fokus ke ember yang Eleanora bawa. Seingatnya ia baru pulang dan embernya tidak pernah ia taruh di luar kamar.

"Di bawah jemuran, kan kamu yang simpan di situ. Habis ngejemur nggak dikasih masuk lagi."

Devan mengangguk. Ia tak ingat kapan terakhir kali mencuci dan menjemur pakaian. Rasanya tidak mungkin kalau karena saking capeknya ia sampai ngelindur dan melakukan semua itu.

Saat ini mereka sedang diam-diaman. Eleanora sibuk dengan ponselnya, sedang Devan tak tahu mau berbuat apa. Tak lama ia ingat sesuatu, ia harus cari kerja sesuai jurusan kuliahnya. Ia tak bisa kaya kalau hanya jadi kurir terus-terusan.

Devan mengambil laptop dan mejanya, lalu duduk di lantai, bersandar di tempat tidur. Berhadapan dengan Eleanora yang bersandar di dinding. Namun, tak lama Eleanora pindah ke atas tempat tidur, kepalanya berada tepat di belakang Devan. Tanpa suara memperhatikan Devan browsing lowongan pekerjaan di internet.

Tak lama berselang Eleanora keluar menerima telepon lalu masuk lagi membawa dua kotak makanan. Devan ingin senyum, tapi gengsi. Eleanora cukup royal jadi cewek, rajin membelikan makan. Devan tak peduli harga diri, yang penting uangnya utuh. Toh bukan dia yang minta. Kalau dikasih ya dia terima saja.

"Cemilan," kata Eleanora menjawab tatapan Devan.

Devan menyingkirkan laptopnya, mengambil satu kotak yang diberikan Eleanora. "Sushi kok cemilan."

"Kan sedikit, anggap saja pengganjal." Eleanora membuka miliknya.

"Daging mentah ya?"

"Ini yang mentah." Eleanora menunjuk punyanya. "Mau?"

Devan menggeleng. "Enggak."

Devan menikmati sambil membaca lagi lowongan-lowongan pekerjaan. Harapannya ada pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya.

"Sudah kenyang?"

Devan menoleh ke Eleanora yang sedang mengemut ujung sumpitnya. "Mungkin."

"Mau beli lagi?” Tanpa perlu menunggu jawaban Devan, Eleanora langsung sibuk dengan ponselnya.

Devan heran, dari keliatannya umur Eleanora masih di bawahnya, juga belum bekerja, tapi Eleanora tidak ragu mengeluarkan uangnya. "Kamu anaknya orang kaya ya?”

Devan agak ragu, karena menurutnya kalau orang kaya pasti akan cari kos-kosan yang jauh lebih bagus daripada ini. Memang isi kamar kos Eleanora lebih bagus daripada isi kamarnya atau kamar kos lain yang ada di sini.

Walaupun ukuran kamar mereka sama, tapi Eleanora masih punya meja. Di kamar Eleanora ada dua lemari, satu lemari pakaian, satu lagi lemari piring. Mungkin isinya bukan hanya piring, tapi barang-barang lainnya.

Eleanora berhenti memainkan ponselnya, ia fokus ke Devan. "Bukan, tapi aku punya banyak uang."

Devan berdecak. "Ya orang kaya berarti."

"Bukan, Sayang." Eleanora menusuk telapak kaki Devan dengan sumpit yang habis masuk di mulutnya. "Orang kaya itu punya mobil bagus. Kalo aku jangankan mobil jelek, motor aja nggak ada."

"Katanya kamu punya banyak uang? Kalo punya banyak uang berarti orang kaya." Dalam bayangan Devan punya banyak uang berarti punya uang sampai ratusan juta bahkan milyaran.

Eleanora mendekat, ikut bersandar di tempat tidur. "Emangnya kalo aku orang kaya, kamu mau nikah sama aku? Yuk kita nikah." Eleanora mengedipkan sebelah matanya, menggoda.

Devan meletakkan tangannya di wajah Eleanora lalu mendorongnya menjauh. Wajah gadis itu terlalu dekat dengannya. 

"Ayo kita nikah."

"Nggak."

"Kenapa? Aku kaya kok."

Devan memicingkan matanya ke Eleanora. "Kamu kira karena saya suka uang saya hanya akan cari istri yang kaya?" Devan merasa tersinggung. "Walaupun saya mata duitan, tapi saya masih punya prinsip."

Devan menghadap lagi ke laptop, mukanya kaku. Ia tidak suka dengan ucapan Eleanora, rasanya seperti mengejeknya.

Eleanora menyandarkan kepalanya di tempat tidur. "Terus gimana caranya biar kamu mau nikahin aku?”

"Apa sih tanya-tanya." Devan menoleh, tepat saat Eleanora mengintip ke dalam bajunya sendiri, entah melihat apa.

 Eleanora mengangkat kepalanya, melihat Devan lagi. "Aku mau loh kalo kamu mau DP duluan," ucapnya dengan cengiran khasnya.

Sudah. Devan tidak tahan lagi. Ia berdiri dan menarik Eleanora agar berdiri juga. Kebetulan suara pengantar azan sudah terdengar.

"Balik ke kamarmu sana. Kamu berisik."

Tanpa menunggu Eleanora keluar, Devan mengambil memakai sarung dan baju kokonya.

"Kamu mau solat?"

"Hmm."

“Di masjid? Ikuuuut." Eleanora bergegas berlari ke kamarnya.

Devan menyusul, ia menunggu di depan pintu. "Wudhu memang."

Eleanora tetap memakai mukenanya. "Nggak mau, nanti nggak bisa pegang kamu."

Devan memutar bola matanya, jengah dengan kelakuan Eleanora. "Saya sudah wudhu."

"Belum. Ayo." Eleanora menarik tangan Devan.

Devan menepis tangan Eleanora. "Jangan pegang-pegang. Dosa," katanya lalu berjalan lebih dulu.

Eleanora berdecak. "Makanya ayo nikah, biar aman kita mau ngapain aja."

Devan diam, tak menjawab. Pusing dengan Eleanora. Dikiranya nikah itu gampang. Padahal mereka belum lama kenal, tapi sudah berani ngajak DP duluan. Untung Devan bukan laki-laki kampret.

Kalaupun sudah kenal lama, Devan tidak mau nikah dengan Eleanora. Bukan karena Eleanoranya, tapi karena uangnya. Uangnya belum banyak, kalau dipakai untuk melamar anak orang nanti habis.

Devan pulang setelah isya, otomatis Eleanora pun mengikuti. Kalau Devan cepat pulang kerja, ia pasti magrib dan isya di masjid.

Saat pulang, Eleanora yang jalan beberapa meter di belakangnya bikin Devan malu di depan orang banyak. Perempuan itu meneriakinya saat ia sudah berjalan lebih dulu bersama beberapa orang yang ia kenal.

"Sayaaaang, tungguin dong!"

Devan berdecak. Ia tersenyum kecut pada kenalannya. Kenalan Devan tertawa dan menggoda Devan.

Dasar Eleanora tidak tahu tempat.

Sampai di kos, bukannya masuk ke kamarnya sendiri, Eleanora malah ikut masuk ke kamar Devan.

“Aku kan masih mau sama kamu, Sayang,” katanya memberengut. “Kangenku belum hilang tahu.”

 “Nggak peduli.” Devan melipat tangan di dada, bersandar di pintu. “Lebih baik sekarang kamu masuk ke kamarmu, belajar lalu tidur, besok sekolah. Sudah malam. Bye.”

Devan bergerak cepat masuk dan mengunci pintu kamarnya. Tangannya hampir terjepit karena ulahnya sendiri. Terdengar Eleanora berdecak kesal di depan pintu.

Devan ganti baju, dan membuka lagi laptopnya. Ia membuat surat lamaran pekerjaan untuk beberapa lowongan yang tadi dilihatnya sesuai dengannya.

Tak lama pintunya kembali di ketuk.

“Pakeeet,” ucap seseorang di balik pintu. Suaranya agak diberat-beratkan, yang mana Devan tahu kalau itu suara Eleanora.

Devan memijit kepalanya. “Kenapa lagi anak itu?” Devan berdiri, mendekati pintu. “Kenapa?” Ia mengintip dari jendela.

Eleanora mengacungkan dua kotak makan.

Devan mengambil uang tiga puluh ribu lalu membuka pintu, tapi tidak lebar. Kepala dan tangan kanannya keluar, sedang tangan dan kaki kirinya ia pakai untuk menahan, takut Eleanora membuka paksa.

“Aku mau masuuuk.” Eleanora merengek.

Devan memberikan uangnya dan mengambil satu kotak nasi. “Saya sibuk.” Lalu menutup pintu, tak lupa menguncinya.

Mendekati pukul dua belas malam, Devan tidur. Dan bangun lagi saat suara pengantar azan subuh terdengar.

Dan alangkah terkejutnya ia mendapati wajah Eleanora ada di depannya. Mata tertutup, napasnya teratur. Eleanora tidur dengan posisi duduk di lantai sedang kepalanya ada di tempat tidur Devan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status