Share

Bab 7. Pergi dari Rumah

"Cepat bikin sarapan!" titah Ibu mertua tiba-tiba.

Aku pun langsung berdiri dan mengusap air mataku.

Meskipun rasa sakit masih begitu terasa di seluruh tubuh, aku tetap berusaha waras.

Aku tidak boleh panik ketakutan lagi!

"Eh mau ke mana?" cegah Astri ketika aku berniat melangkah ke dapur.

"Itu anak gue masih nangis parah di kamar! Tuli, ya?" lanjutnya dengan mata melotot.

"Terus yang buat sarapan siapa?" tanyaku pelan.

"Ya tetap kamu! Bawa tuh bayi," ujarnya.

Aku mengernyit. Masa aku bawa bayinya sambil masak?

"Sayang, kamu urus dulu bayi kita. Biar Dinda bikin sarapan," bujuk Mas Aditya pada Astri.

Sepertinya, dia berpikiran yang sama denganku.

"Ih aku nggak mau! Aku capek! Aku melahirkan dia aja mau mati. Kamu aja yang urusin, aku nggak mau," jawab Astri sambil berlalu ke arah luar rumah.

Hah?!

"Astaga, Aditya! Istri kamu kok gitu? ‘Nggak mau ngurusin anak kalian sama sekali," celetuk Ibu mertua sambil geleng-geleng kepala.

Mas Aditya tampak menghela napas. "Udah, urusin dulu tuh bayi! Nanti saja ngurus sarapan. Lain kali, jangan kesiangan lagi," ucapnya padaku.

"Jangan! Masa cucu Ibu mau dibawa ke dapur? Nanti kalau kena minyak panas gimana?"

"Yaudah Ibu bantu ngurusin, jangan cuma nyuruh aja," ujar Mas Aditya.

"Urusan uang saja, Ibu paling cepat. Tapi, bantu ngurusin anak Adit malah nggak mau juga," celetuk Mas Aditya sambil berlalu.

Tampaknya, dia bersiap menuju kantor.

"Huh, ini gara-gara kamu!" desah Ibu sambil melempar tatapan kesal kepadaku.

Aku hanya bisa menarik napas panjang, lalu berjalan ke dapur ketika Ibu memasuki kamarku.

Dengan gerak cepat, aku membuat sarapan.

Entah mengapa, hatiku tidak tenang mendengar tangisan bayi mungil itu semakin kencang.

Selama ini, mereka semua enggan mau berlama-lama menggendongnya.

Selalu saja aku yang mengurus bayi itu.

Meskipun lelah sudah merajai diri, tapi aku tetap bahagia karena bisa merasakan indahnya menjadi seorang ibu.

"Aduh Dinda, cerewet sekali bayi ini, Ibu nggak sanggup," teriak Ibu mertua tiba-tiba.

"Cepetan masaknya, Din. Nggak sanggup Ibu gendongnya, dia nangis terus ini, nggak bisa diam sama sekali," lanjut wanita itu lagi.

Benar-benar mereka ini!

Aku lantas bergegas menyiapkan sarapan di atas meja, dan berlari menuju kamarku.

Terdengar suara tangisan lelah si bayi mungil.

Aku lantas mengambilnya dari atas kasur.

Namun, kulihat tidak ada siapapun di kamarku ini.

Astaga! Bayi malang ini ditinggalkan Ibu mertua begitu saja?

Tega sekali! Dan entah di mana wanita tua itu sekarang?

Aku pun mendekap erat bayi itu sambil menciuminya berulang kali, berharap dia mendapatkan ketenangan.

Untungnya, berhasil.

Setelahnya, aku gegas menyiapkan odotnya dan membaringkannya di atas kasur lagi.

"Ibu akan berikan kamu kehidupan yang penuh cinta, Nak. Kita harus pergi dan meninggalkan para manusia toxic di rumah ini," gumamku pada si bayi mungil.

Aku bergegas mengambil tas dan mulai menyimpan semua perlengkapan si bayi ke dalam tas.

"Ibu namakan kamu, Bulan. Karena kamu, cahaya bagi Ibu," bisikku, pada bayi yang bahkan hanya sehari berada di dalam dekapan Ibu dan Ayahnya.

Bayi mungil yang cantik ini pun bahkan belum diberikan nama sama mereka.

Entah di mana pikiran mereka semua?!

Bisa-bisanya sibuk dengan urusan masing-masing saja….

****

Setelah memastikan Astri sibuk di kamarnya dan Mas Aditya pergi ke kantor, aku pun berjalan pelan menuju dapur.

Kudapati Ibu mertua sedang asik melahap makanan tanpa beban.

Benar- benar mengesalkan sekali.

Sembari menggendong Bulan, diam-diam aku berjalan ke arah luar.

Aku menghubungi Iren, hendak meminta dia untuk datang menjemputku.

Sayangnya, pintunya dikunci dari luar.

Tidak ada pilihan lain, aku harus mendatangi Ibu mertua.

Hanya saat melihatku, Ibu mertua mengernyit. “Ngapain ka–”

"Mana kunci rumah?" potongku dengan tatapan dingin.

"Buat apa nyari kunci rumah? Mau ke mana kamu?" Ibu bertanya balik dengan wajah galaknya.

Rasa sabarku sudah tidak ada lagi! Aku ingin sekali mengamuk rasanya.

"Jawab! Atau Ibu akan kubunuh?" ancamku sambil menyodorkan gunting kecil yang kubawa dari kamar.

Mata Ibu mertua membelalak, melihat keberanianku.

"Aku nggak main-main! Aku capek terus di sini dan dimanfaatin kalian terus.”

“Jadi Ibu mau ngasih kunci, atau mau aku bunuh?" teriakku lagi sembari mendekat, membuat Ibu mertua ketakutan.

"Sabar Dinda, sabar ..., kamu menantu Ibu yang baik, kenap ...."

Belum selesai Ibu berbicara, aku menendang kakinya dengan keras.

"Jangan banyak bicara! Mana kuncinya sebelum aku benar-benar kalap!" teriakku, membuat Ibu mertua langsung menangis dan berjalan cepat menuju ruang tengah, ke arah bupet.

Wanita tua itu bergegas mengeluarkan kunci rumah, dan memberikannya padaku.

"Dinda, tolong jangan bawa bayi Aditya," pinta Ibu.

Aku tidak memperdulikannya.

Dari kemarin bayi mungil ini dianggurin saja, sekarang sok merasa paling menyayangi.

Segera kuambil kunci dan bergegas menuju pintu utama.

"Aku harus segera pergi dari sini, sebelum Mas Aditya dan Astri kembali!" tekadku.

"Astri, Astri...."

Terdengar suara ibu mertua memanggil nama istri kedua suamiku itu.

Sial, kalau sampai Astri tahu, dia pasti akan meneriaki aku penculik anaknya.

Aku harus secepatnya kabur dari sini!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status