"Cepat bikin sarapan!" titah Ibu mertua tiba-tiba.
Aku pun langsung berdiri dan mengusap air mataku.Meskipun rasa sakit masih begitu terasa di seluruh tubuh, aku tetap berusaha waras.Aku tidak boleh panik ketakutan lagi!"Eh mau ke mana?" cegah Astri ketika aku berniat melangkah ke dapur."Itu anak gue masih nangis parah di kamar! Tuli, ya?" lanjutnya dengan mata melotot."Terus yang buat sarapan siapa?" tanyaku pelan."Ya tetap kamu! Bawa tuh bayi," ujarnya.Aku mengernyit. Masa aku bawa bayinya sambil masak?"Sayang, kamu urus dulu bayi kita. Biar Dinda bikin sarapan," bujuk Mas Aditya pada Astri.Sepertinya, dia berpikiran yang sama denganku."Ih aku nggak mau! Aku capek! Aku melahirkan dia aja mau mati. Kamu aja yang urusin, aku nggak mau," jawab Astri sambil berlalu ke arah luar rumah.Hah?!"Astaga, Aditya! Istri kamu kok gitu? ‘Nggak mau ngurusin anak kalian sama sekali," celetuk Ibu mertua sambil geleng-geleng kepala.Mas Aditya tampak menghela napas. "Udah, urusin dulu tuh bayi! Nanti saja ngurus sarapan. Lain kali, jangan kesiangan lagi," ucapnya padaku."Jangan! Masa cucu Ibu mau dibawa ke dapur? Nanti kalau kena minyak panas gimana?""Yaudah Ibu bantu ngurusin, jangan cuma nyuruh aja," ujar Mas Aditya."Urusan uang saja, Ibu paling cepat. Tapi, bantu ngurusin anak Adit malah nggak mau juga," celetuk Mas Aditya sambil berlalu.Tampaknya, dia bersiap menuju kantor."Huh, ini gara-gara kamu!" desah Ibu sambil melempar tatapan kesal kepadaku.Aku hanya bisa menarik napas panjang, lalu berjalan ke dapur ketika Ibu memasuki kamarku.Dengan gerak cepat, aku membuat sarapan.Entah mengapa, hatiku tidak tenang mendengar tangisan bayi mungil itu semakin kencang.Selama ini, mereka semua enggan mau berlama-lama menggendongnya.Selalu saja aku yang mengurus bayi itu.Meskipun lelah sudah merajai diri, tapi aku tetap bahagia karena bisa merasakan indahnya menjadi seorang ibu."Aduh Dinda, cerewet sekali bayi ini, Ibu nggak sanggup," teriak Ibu mertua tiba-tiba."Cepetan masaknya, Din. Nggak sanggup Ibu gendongnya, dia nangis terus ini, nggak bisa diam sama sekali," lanjut wanita itu lagi.Benar-benar mereka ini!Aku lantas bergegas menyiapkan sarapan di atas meja, dan berlari menuju kamarku.Terdengar suara tangisan lelah si bayi mungil.Aku lantas mengambilnya dari atas kasur.Namun, kulihat tidak ada siapapun di kamarku ini.Astaga! Bayi malang ini ditinggalkan Ibu mertua begitu saja?Tega sekali! Dan entah di mana wanita tua itu sekarang?Aku pun mendekap erat bayi itu sambil menciuminya berulang kali, berharap dia mendapatkan ketenangan.Untungnya, berhasil.Setelahnya, aku gegas menyiapkan odotnya dan membaringkannya di atas kasur lagi."Ibu akan berikan kamu kehidupan yang penuh cinta, Nak. Kita harus pergi dan meninggalkan para manusia toxic di rumah ini," gumamku pada si bayi mungil.Aku bergegas mengambil tas dan mulai menyimpan semua perlengkapan si bayi ke dalam tas."Ibu namakan kamu, Bulan. Karena kamu, cahaya bagi Ibu," bisikku, pada bayi yang bahkan hanya sehari berada di dalam dekapan Ibu dan Ayahnya.Bayi mungil yang cantik ini pun bahkan belum diberikan nama sama mereka.Entah di mana pikiran mereka semua?!Bisa-bisanya sibuk dengan urusan masing-masing saja….****Setelah memastikan Astri sibuk di kamarnya dan Mas Aditya pergi ke kantor, aku pun berjalan pelan menuju dapur.Kudapati Ibu mertua sedang asik melahap makanan tanpa beban.Benar- benar mengesalkan sekali.Sembari menggendong Bulan, diam-diam aku berjalan ke arah luar.Aku menghubungi Iren, hendak meminta dia untuk datang menjemputku.Sayangnya, pintunya dikunci dari luar.Tidak ada pilihan lain, aku harus mendatangi Ibu mertua.Hanya saat melihatku, Ibu mertua mengernyit. “Ngapain ka–”"Mana kunci rumah?" potongku dengan tatapan dingin."Buat apa nyari kunci rumah? Mau ke mana kamu?" Ibu bertanya balik dengan wajah galaknya.Rasa sabarku sudah tidak ada lagi! Aku ingin sekali mengamuk rasanya."Jawab! Atau Ibu akan kubunuh?" ancamku sambil menyodorkan gunting kecil yang kubawa dari kamar.Mata Ibu mertua membelalak, melihat keberanianku."Aku nggak main-main! Aku capek terus di sini dan dimanfaatin kalian terus.”“Jadi Ibu mau ngasih kunci, atau mau aku bunuh?" teriakku lagi sembari mendekat, membuat Ibu mertua ketakutan."Sabar Dinda, sabar ..., kamu menantu Ibu yang baik, kenap ...."Belum selesai Ibu berbicara, aku menendang kakinya dengan keras."Jangan banyak bicara! Mana kuncinya sebelum aku benar-benar kalap!" teriakku, membuat Ibu mertua langsung menangis dan berjalan cepat menuju ruang tengah, ke arah bupet.Wanita tua itu bergegas mengeluarkan kunci rumah, dan memberikannya padaku."Dinda, tolong jangan bawa bayi Aditya," pinta Ibu.Aku tidak memperdulikannya.Dari kemarin bayi mungil ini dianggurin saja, sekarang sok merasa paling menyayangi.Segera kuambil kunci dan bergegas menuju pintu utama."Aku harus segera pergi dari sini, sebelum Mas Aditya dan Astri kembali!" tekadku."Astri, Astri...."
Terdengar suara ibu mertua memanggil nama istri kedua suamiku itu.Sial, kalau sampai Astri tahu, dia pasti akan meneriaki aku penculik anaknya.
Aku harus secepatnya kabur dari sini!"Ya Allah, Iren mana lagi!" gumamku sambil terus berjalan cepat.Satu tanganku masih sibuk menghubungi Iren. Namun, tidak kunjung ada jawaban juga. Ya Allah, habislah aku kalau sampai tertangkap lagi. "Please, angkat Ren, angkat!" lirihku. "Woy, Dinda ...." Terdengar suara teriakkan Astri, membuatku sangat panik. "Penculik... penculik, tolong!" teriak ibu mertua. Aku mempercepat langkah, berusaha tetap tenang, meskipun terlihat di belakang sana, Astri dan Ibu mertua mulai berlari mengejarku. Aku semakin panik luar biasa, ketika orang yang berada disekitaran komplek mulai mengalihkan perhatiannya padaku, ketika terdengar suara Ibu mertua dan Astri yang meneriaki aku penculik. Aku mulai berlari, ketika ada beberapa orang yang mulai ikut berteriak, memintaku untuk berhenti. Tiba- tiba, sebuah mobil hitam berhenti di sampingku. Pintu belakang langsung terbuka, nampak sosok lelaki berbaju hitam, dengan rambut gondrong bersuara. "Cepat masuk!" titahnya. Aku sempat meragu, tapi m
Mendengar panggilan Bonang yang nampak terdengar panik. Iren dan aku pun langsung berdiri menuju keluar kamar.Kulirik sejenak Bayi mungil itu, dia nampak tertidur lelap, pasti sangat lelah baginya menempuh perjalanan jauh untuk pertama kalinya."Kenapa sih si Bonang," gerutu Iren sambil berjalan cepat, dan aku pun ikut menyusul."Kenapa, Nang?" tanya Iren. "Bu, kata Alfi, Aditya menyebarkan beberapa orang, untuk mencari keberadaan bu Dinda," jelas Bonang, membuatku menjadi panik ketakutan."Aduh," lirihku."Tenang- tenang," pinta Iren kepadaku. Aku sangat gelisah, mendengar laporan Bonang."Aku sih sudah yakin ini bakal terjadi. Kamu sebar anak buahmu, untuk mengawasi Aditya, juga orang- orang suruhannya, jangan sampai lengah, oke!" titah Iren kepada Bonang, yang dijawab Bonang dengan anggukan. Kemudian Bonang pun pergi, Iren mengajakku masuk ke dalam."Ren, apa aku pergi saja dari sini ya. Aku nggak enak, Ren. Aku nyusahin kamu jadinya," ungkapku.Iren yang semula berjalan, mendad
Bab10"Ih kak Adam, bener- bener deh, muncul seenaknya saja. Kakak nguping ya," tuduh Iren, pada lelaki dingin itu.Sayangnya. Pertanyaan Iren bagaikan angin lalu, dia malah fokus menatap dingin ke arahku yang menciut."Kak, please ...." Iren kembali bersuara, ketika melihat suasana tidak nyaman terjadi antara aku dan kak Adam."Aku juga lapar, Ren." Akhirnya lelaki itu bersuara dan mengalihkan tatapan tidak nyamannya padaku.Huh, entah kenapa, aku merasa dia sangat jauh berbeda. Dia lebih dingin dari yang pernah kukenal dulu, apa iya gara- gara status jomblo akut yang dia sandang saat ini? Sehingga dia tidak memiliki kehangatan pada wanita mana pun? Entahlah."Eh lapar. Ngomong dong! Ayo makan bareng, Iren ambilin piring," ujar Iren lagi, sambil beranjak dari duduknya dan mengambilkan piring untuk lelaki es batu itu.Yaa, nama yang cocok untuknya. "Es batu.""Makan yang banyak, biar kuat menghadapi kenyataan," sindirnya, kepadaku yang hanya sedikit makan."Apalagi berani bawa kabur
Bab11"Berat," lirihnya, membuatku lekas membenarkan posisi berdiri."Maaf," ujarku sambil berdiri kaku. Entah kenapa, mendadak rasanya jadi salah tingkah."Lain kali hati- hati, selalu saja ceroboh," gumamnya lagi sambil berjalan meninggalkanku."Dasar es batu," batinku. Ah, kesal sekali. Kenapa sih kak Adam ini, malah kembali ke pengaturan awal kami dulu bertemu. Selalu bersikap dingin dan berkata seenak jidatnya saja.Ah sudahlah, lebih baik aku buat sarapan dulu, keburu si bayi rewel.Aku pun bergegas menuju dapur dan mulai membuka- buka kulkas, mengambil beberapa bahan dan memasaknya.Disaat asik memasak, terdengar suara tangisan bayi kecil itu dari kamar. "Cepet betul tuh bayi bangun," gumamku sambil mematikan api kompor, mencuci tangan dan bergegas menuju kamar. Namun langkahku langsung terhenti, ketika mau masuk ke kamar. Lelaki es batu itu sedang berusaha membujuk si bayi agar tidak menangis.Entah kenapa, hatiku menghangat melihatnya. Ditengah perasaan yang campur aduk me
Bab12"Dam, apa ini?" Wanita paru baya yang kak Adam panggil Mamah itu menatap bingung sambil melempar tanya.Aku dan kak Adam merasa kikuk, ditambah Bulan yang susah ditenangkan."Dam, jawab!" pintanya dengan wajah yang mulai kesal."Istri Adam, Mah!" Spontan jawaban kak Adam, membuat aku syok berat. Apa- apaan ini?Mataku membulat, menatap kak Adam, begitu juga dengan Mamahnya."Kamu serius, Dam?" Mamah kak Adam nampak tidak percaya, dengan jawaban konyol lelaki itu. Aku berniat menyela pembicaraan mereka, namun kak Adam dengan gerak cepat, menutup mulutku dengan tangan, sambil tersenyum ke arah Mamahnya."Sayang, kamu tenangin si Dedek dulu," ujarnya lembut, membuat aku semakin kesal.Mamah kak Adam semakin tercengang, mendengar ucapan lelaki itu.Kak Adam menyeretku masuk ke arah kasur, dan dia pun bergegas keluar sambil menutup pintu.Terdengar suara mereka sedang berbicara di depan pintu kamar ini. "Astaga, masalah baru ini mah," batinku.Aku segera mengirim pesan pada Iren, m
Bab13Malam itu, mamah kak Adam pun akhirnya berpamitan pulang. "Tentang bayi itu, apa yang Kakak katakan sama Tante tadi?" tanyaku, sebelum kami masuk ke dalam rumah."Aku bilang dia anak teman aku, yang lagi dititipin, karena Ibunya lagi sakit dan dijagain sama Ayahnya.""Kakak bohongin orang tua loh.""Memangnya kamu mau aku jujur, kalau kamu penculik bayi?" ujarnya, membuatku sedikit kesal, meskipun ada benarnya juga.Akhirnya, kami pun masuk ke dalam Villa, dan tidur di kamar masing- masing.Malamku menjadi gelisah, tidurku pun menjadi susah karena terus kepikiran kedua orang tuaku, yang saat ini berada ditangan mas Aditya. Semoga mereka baik- baik saja.Berkali- kali kulirik ponsel, pesan singkatku, tidak kunjung Iren baca. Nomor ponselnya juga tidak aktif- aktif, entah kemana ini orang.Ah, Iren!! Kemana sih. Hingga pagi menjelang, tepat jam 5 subuh, aku baru mulai terlelap. "Dinda, Dinda ...." Aku terkejut, ketika mendengar bunyi ketukan pintu yang cukup keras itu.Bahkan b
Bab14"Aku akan ikut menghadiri pertemuan itu," lanjutnya. Iren melepaskan pelukannya dan menatap ke kak Adam."Kakak yakin?""Ya." >
Bab15"Kamu ingat- ingat lagi masa- masa indah kita, sayang," ucapan mas Aditya kembali terdengar. Aku menatap wajah yang memohon itu kepadaku."Aku maafin kamu, Mas," lirihku, membuat hembusan napas Iren terdengar keras.Mas Aditya tersenyum lega."Tapi tidak untuk kembali ke rumah ini," lanjutku sambil melepaskan diri dari gendongan yang melilit tubuh.Senyum di wajah mas Aditya memudar."Kamu nggak sayang sama anak ini?" tanya mas Aditya, ketika melihatku menatap hampa pada gadis kecil di gendonganku ini."Aku sayang, tapi aku nggak berhak apa- apa tentang bayi ini. Jadi, aku kembalikan dia pada kalian, setelah kedua orang tuaku nanti datang.""Ya Allah, Din. Lihat aku, Din. Aku ini masih sah suami kamu, apa iya kamu nggak mau lagi dengerin aku?"Cih! Lagaknya. Mas Aditya ini memang orang yang paling pandai mengolah kata dan mempermainkan perasaan orang lain. Tapi aku, tidak akan tertipu untuk yang kedua kalinya lagi.Aku terkekeh, membuat mas Aditya menatap heran kepadaku."Kenap