Share

7. Permintaan Jadi yang Kedua

Maha gelisah, dia masih memikirkan permintaan Alysa yang tak lelah memohon padanya. bahkan Alysa mengirim banyak hadiah ke rumahnya dan terus mengirim pesan padanya. Dia sudah tegas menolaknya, tapi Alysa tak menggubris alasan kenapa dirinya menolak untuk dijadikan istri kedua. Maha memijit kedua pelipisnya, sungguh masalah ini membuat kepalanya hampir meledak.

“Nggak lembur, Nak?” tanya Nia. Wanita paruh baya itu keluar dari kamarnya.

“Nggak, Bu,” balas Maha, dia langsung mencium punggung tangan Sarah. “Gimana jualannya, Bu?”

Alhamduillah… hari ini nasi kuning Ibu laris manis, ada yang borong, jadi sebelum dzuhur Ibu bisa pulang cepat,” jawab Nia. Wanita paruh baya itu menghela napas panjang. “Nak Alysa terus menghubungi Ibu, dia bilang kamu nggak mau menerima lamaran Nak Zayn, dan Alysa meminta Ibu untuk membujuk kamu.”

“Abaikan saja, Bu. Nanti juga Mbak Alysa bosan kalau kita nggak respon,” pinta Maha.

“Kamu tidak nyaman ya? Di satu sisi kamu nggak enak karena Alysa dan keluarganya selama ini membantu keluarga kita, dan rumah ini pun pemberian dari keluarganya. Kenapa kita harus dihadapkan di posisi yang sulit begini.” Wanita paruh baya itu menghela napas berat.

“Maha memang tidak enak menolak Mbak Alysa, tapi Maha tidak mau kalau jadi yang kedua, dan alasannya pun karena mereka ingin Maha melahirkan keturunan untuk mereka. Menikah itu harus dilandaskan rasa cinta agar tidak terasa hampa. Kalau Mas Zayn tidak mencintai Maha, nanti rumah tangga kami berdua hambar, Bu. Maha juga tahu kalau Mas Zayn tidak menginginkan dirinya menikah lagi, dia terpaksa setuju karena permintaan Mbak Alysa,” ungkap Maha.

“Kalau Nak Zayn menyukaimu, kamu mau menerima lamarannya?”

Maha menghela napas panjang. “Wanita mana pun mau jadi satu-satunya, Bu. Bukan jadi salah satunya, Maha tidak ingin berbagi ranjang karena Maha ingin dicintai sepenuhnya.”

“Kalau kamu merasa nggak nyaman, kamu resign saja, Nak. Mungkin dengan begitu nanti mereka tidak terus memaksa kamu,” usul Nia.

“Maha belum menemukan pekerjaan pengganti, Bu. Kalau Maha langsung resign, nanti Maha kerja apa? Cari kerjaan sekarang sangat sulit, apalagi Maha hanya tamatan SMA. Maha lagi menunggu kabar dari Intan, kalau dia ada informasi tentang kerjaan, Maha pasti langsung minta resign dari perusahaannya Mas Zayn.”

“Nggak apa-apa, Nak. Kan ada Ibu yang masih jualan, jualan Ibu akhir-akhir Alhamdulillah laris manis,” tukas Nia.

Maha menggelengkan kepalanya. “Nggak, Bu. Ibu juga jangan terlalu capek, kan Ibu harus banyak istirahat kata dokter. Malah Dokter Imam menyuruh Ibu untuk tidak jualan dulu, tapi Ibu bandel malah jualan.”

Nia setengah tertawa. “Ibu bosan, Nak. Kalau kamu kerja, Ibu di rumah sendirian, ibu kan kesepian. Ibu tidak mau berdiam diri saja, kalau nggak ada kegiatan malah ingat sama masa lalu, saat ayahmu membuat Ibu hampir gila, dan juga Ibu tidak mau ingat masa kelam-kelam itu.” Dia mencoba menahan tangisannya agar anaknya tidak ikut merasakan kepedihan hatinya.

Maha merasakan perih di hatinya. Luka di hatinya masih lebam karena apa yang telah ayahnya lakukan padanya dan juga ibunya. Kekerasan itu jelas terekam di ingatannya. Saat ayahnya membabi buta memukul ibunya, menyeret ibunya sampai dengan tega membuat ibunya hampir merenggang nyawa. Masa-masa itu menimbulkan dampak yang buruk untuk mentalnya, beruntung saat itu ada Alysa yang membantunya keluar dari masa-masa kelam.

“Jangan mengingat pria itu lagi, Bu. Jangan sakit lagi, Maha pinta sama Ibu, biarkan luka itu pergi. Kita harus menatap ke depan. Saat ini Ibu harus bahagia, ya... meskipun anak Ibu ini masih belum bisa membanggakan dan membuat Ibu bahagia, tapi Maha akan terus berusaha untuk membahagiakan Ibu,” ucap Maha tersenyum

Nia tersenyum. “Jangan bicara seperti itu, Nak! Kamu adalah hartanya Ibu, hal yang paling berharga. Kamu lah yang menguatkan Ibu, adanya kamu adalah kebahagiaan yang Ibu impikan. Terima kasih untuk selalu ada di sisi Ibu.”

Air mata Maha menetes, dia memeluk Nia erat. “Maafkan Maha, Bu. Maha masih belum bisa membanggakan Ibu dan, Maha hanya jadi anak yang menyusahkan Ibu. Maafkan… “

Nia membelai puncak kepala Maha dengan lembut. “Kehadiranmu adalah puncak dari segala kebahagiaan Ibu, Nak. Ibu sangat beruntung karena Allah memberi rezeki anak yang berbakti dan shalihah seperti kamu. Ibu bersyukur karena kamu saat ini menjaga kecantikanmu, kamu sangat cantik dengan jilbabmu.”

Air mata Maha semakin deras. Dia tidak kehilangan sayap bahagianya lagi, di dunia ini hanya Nia yang dia punya. Dia tidak peduli dengan garis takdirnya nanti, namun yang terpenting baginya saat ini adalah bisa hidup bahagia dengan Nia. Prioritas utamanya saat ini hanyalah ibunya.

Masalah hatinya yang saat ini masih terbaca satu nama, Maha tidak peduli lagi. Maha pasrah, dan berharap kelak hatinya dilabuhkan pada pria yang hanya menginginkannya saja. menjadikan Maha seorang ratu, bukan seorang selir.

**

“Kamu sudah nunggu lama ya?” tanya Intan.

“Nggak, aku juga baru datang kok. Tadi kejebak macet di jalan,” balas Maha.

“Ini buat kamu,” kata Intan sambil menyerahkan paper bag berwarna cokelat muda.

“Ini apa?”

“Jilbab. Kemarin saat aku umroh beli jilbab dan gamis buat kamu. Kamu pasti lebih butuh kan,” balas Intan. “Tapi, habis umroh ya aku belum berani pakai jilbab kayak kamu, aku masih betah pergi ke diskotik,” tambahnya.

Alhamdulillah. Terima kasih, Intan. Kamu dari dulu selalu yang paling paham tentang aku,” ucap Maha terharu.

“Kedua setelah ibumu, kan?”

Maha mengangguk. “Intan, maaf ya seminggu ini aku selalu nggak bisa diajak ketemuan karena banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.”

“Oh, jadi alasan kamu mau resign karena beban pekerjaan?” tebak Intan.

Maha menggelengkan kepalanya. “Bukan karena itu, Ntan.”

“Terus?”

Maha menghela napas berat, dan tersenyum samar. “Aku mau resign karena Pak Zayn,” jawabnya pelan.

“Kenapa dia? Kamu semakin nggak bisa lupakan pria itu?”

“Bukan karena itu juga.”

“Terus?”

“Pak Zayn mendadak memintaku untuk jadi istrinya,” jawab Maha.

“Apa?!” pekik Intan terkejut. Nada suaranya meninggi dan membuat pengunjung café lainnya beralih menatap meja keduanya.

“Kamu kebiasaan deh, Ntan! Suaramu itu lho kayak bunyi petasan,” tukas Maha.

Intan nyengir kuda. “Aku kaget, Maha. Si Zayn meminta kamu jadi istrinya, dia cerai sama istrinya?”

Maha menggelengkan kepalanya. “Pak Zayn sama Mbak Alysa masih jadi pasangan yang romantis kok.”

“Terus kalau begitu, kenapa si Zayn meminta kamu jadi istrinya? Dia niat menjalani poligami, dan kamu jadi istri keduanya?”

Maha mengangguk lagi, dan tersenyum singkat.

“Gila! Kenapa dia jadi kayak predator. Kukira dia alim, ternyata buaya juga,” ujar Intan dengan kesal.

“Pak Zayn bukan pria seperti itu. Dia juga tidak ingin menikah dan mencari istri lagi. Pak Zayn kemarin melamarku karena permintaan Mbak Alysa,” ungkap Maha.

“Alysa yang minta? Dia masih waras?”

“Iya, Mbak Alysa yang meminta Pak Zayn untuk melamarku, dan Mbak Alysa bilang dia hanya ingin aku yang jadi adik madunya.”

“Alasannya apa?”

“Mereka ingin aku nanti melahirkan keturunan dari Pak Zayn. Mereka sudah menanti buah hati selama ini, dan Mbak Alysa divonis dokter tidak bisa hamil karena mandul,” balas Maha menerangkan.

“Gila! Alysa dan Zayn itu gila! Mereka ingin punya anak, tapi mengorbankan kebahagiaan orang lain! Kamu jangan mau! Kamu terlalu berharga untuk dijadikan alat sebagai pencetak keturunan mereka, kalau mereka mau anak ya mereka bisa adopsi dulu buat mancing atau ikut bayi tabung. Kenapa mereka malah meminta wanita sebaik kamu untuk mewujudkan mimpi mereka? Gila!” kesal Intan.

“Iya, Intan. Aku juga sudah menolaknya karena bagaimana pun aku tidak mau dijadikan yang kedua, tapi di sisi lain aku merasa bersalah karena menolak permintaan Mbak Alysa. Padahal selama ini Mbak Alysa tidak pernah meminta hal apapun padaku, dan dia juga selama ini membantu keluargaku tanpa pamrih, aku agak frustasi memikirkannya. Aku sempat ingin menerima lamaran dari Pak Zayn kemarin karena kupikir mungkin jadi istri kedua sudah menjadi garis takdirku, menjadi yang kedua pun adalah salah satu jalan untuk mencari surga, tapi aku memikirkan masa depan yang masih kuraba, nanti apa bisa dua wanita ada dalam satu hati pria?”

“Jangan! Kamu jangan mau menerimanya karena balas budi, jangan sampai kamu mengorbankan kebahagiaan kamu nantinya! Aku pasti akan menentang kamu!” ucap Intan dengan tegas. “Di hatimu masih ada pria itu? Kamu masih mencintainya?”

Hening…

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status