Share

4. Kekuatan Angin

Angin malam berhembus kencang. Menjadikan api dari kayu bakar semakin membumbung tinggi. Bimantara terus berlatih menyatukan tongkatnya dengan dirinya agar bisa melakukan gerakan kuda-kuda. Berkali-kali dia lakukan tapi selalu gagal. Tubuhnya selalu terjatuh karena tongkatnya tak berhasil membuat tubuhnya seimbang.

Dua warga lewat sambil membawa obor. Mereka melihat ke arah Bimantara dengan heran.

"Aku khawatir anak itu bisa gila," ucap seorang bapak-bapak pada bapak-bapak satunya.

"Gila kenapa?"

"Gila karena tidak kesampaian untuk menjadi murid di perguruan Matahari."

Bapak-bapak yang mendengarnya kaget. "Memangnya dia mau ikut ke perguruan itu?"

"Iya!"

"Mimpi!"

"Makanya aku takut dia gila karena tidak kesampaian."

Mereka berdua tertawa lalu pergi begitu saja. Bimantara mendengarnya, dia sebenarnya kesal, namun berusaha untuk bersabar. Justru itu menjadi lecutan semangat baginya.

Angin malam berhembus semakin kencang. Bimantara memejamkan mata. Dia harus berhasil agar esok bisa menunjukkannya pada kakeknya. Saat memejamkan mata, dia membayangkan tongkatnya menghilang lalu berganti dengan kakinya. Dia merasakan kini kaki kirinya yang patah telah kembali. Saat itu juga dia melakukan gerakan kuda-kuda dan akhirnya dia berhasil melakukannya. Bimantara girang bukan main dan berkali-kali menciumi tongkatnya.

***

Pagi-pagi sekali Bimantara tiba di kediaman kakek Sangkala di atas bukit. Kakek Sangkala keluar dari gubuknya dengan heran. 

"Kakek kan sudah bilang, latihannya siang saja ketika matahari tepat di atas ubun-ubun."

"Aku berhasil, Kek! Aku berhasil!" teriak Bimantara girang.

Kakek Sangkala semakin heran. "Berhasil apa?"

"Berhasil menyatu dengan tongkat hingga tubuhku tidak rubuh lagi saat melakukan gerakan kuda-kuda itu, Kek!"

Kakek Sangkala mengernyit tak percaya. "Coba kakek lihat!"

Bimantara memejamkan mata. Kakek Sangkala duduk di bale-bale memperhatikannya dengan penasaran. Bimantara pun mulai melakukan gerakan kuda-kuda dengan apik menggunakan satu kaki dan tongkatnya. Kakeknya tercengang dan merasa gembira melihat keberhasilan cucunya.

"Bagus!"

"Ayo lanjut lagi latihannya, Kek!" pinta Bimantara dengan semangat.

Kakek Sangkala menghela napas. "Nanti siang saja. Sekarang kau urus dulu domba-bomba Tuan Kepala Kampung, biar punya koin perak untuk membeli buat makanmu!"

Bimantara terpaksa menurut. Dia pun pulang dan mengembalakan domba-bomba milik Tuan Kepala Kampung. Dia duduk di bawah pohon sambil menunggui domba-bomba menghabiskan rumput di Padang itu.

Dahayu lewat sambil membawa bakul berisi buah-buahan. Gadis itu melihat ke arah Bimantara sesaat lalu berjalan menunduk tanpa mau menyapanya. Bimantara langsung berdiri dengan tongkatnya dan melihat ke arahnya.

"Dahayu!" panggil Bimantara.

Langkah Dahayu terhenti lalu menatap Bimantara dengan heran dan bingung.

"Kenapa?"

Bimantara mendekat padanya dengan tongkatnya.

"Kamu tidak percaya kalau aku bisa diterima menjadi murid di perguruan Matahari?" tanya Bimantara saat sudah dekat dengan gadis itu.

"Aku percaya," jawab Dahayu.

"Kenapa waktu itu diam saja, tidak membelaku?"

Dahayu terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Bimantara menunggu apa yang akan diucapkannya.

"Kok diam?" tanya Bimantara heran.

"Aku malas berdebat," jawabnya.

"Kenapa tidak mau lagi berteman denganku? Apa karena kakiku?" tanya Bimantara tiba-tiba, keluar dari topik pertama.

"Kita sudah besar, tak pantas lagi berteman seperti semasa kecil dulu."

"Kamu masih berteman dengan mereka. Umurnya sama denganku."

Dahayu kebingungan untuk menjawabnya. Ya, dia menjauhi remaja itu karena sudah terlalu lama menahan cinta padanya. Persahabatannya sejak kecil dengan Bimantara telah membuatnya jatuh cinta. Namun Bimantara tak pernah menunjukkan gelagat kalau dia juga mencintainya. Bimantara hanya menganggapnya sahabat, tak pernah lebih dari itu. Akhirnya Dahayu memutuskan untuk menjauh darinya bersamaan saat kakinya patah.

"Maaf, aku harus pulang, orang tuaku sudah menunggu." Dahayu langsung berjalan meninggalkannya.

"Aku akan buktikan kalau aku pantas dijadikan teman!" teriak Bimantara padanya.

Dahayu tidak menggubrisnya. Bimantara kesal. Angin tiba-tiba datang menyapu wajahnya cukup kencang.

Dan siang itu, Bimantara kembali ke bukit menemui kakek Sangkala dengan lesu. Angin kembali berhembus dengan kencang.

"Aneh, ini angin kenapa mendadak datang? Apa karena melihatmu murung begitu?" canda kakek Sangkala.

"Dahayu tak mau lagi menjadi temanku, Kek," ucap Bimantara dengan jujurnya.

"Rupanya cucu kakek sudah besar, sudah mengerti soal perasaan," ledek kakeknya.

Bimantara kaget mendengar itu. "Bukan begitu maksudku, Kek," protes Bimantara.

"Kakek sudah lebih dulu hidup darimu, Bimantara."

"Aku tak pernah menganggap Dahayu sebagai pacar, Kek. Dia sahabatku dan sampai kapan pun dia akan menjadi sahabatku. Aku hanya menyayanginya sebagai sahabat. Lagi pula aku tidak mau peduli dengan urusan cinta. Cinta akan merusak impianku untuk menjadi seorang pendekar sejati," tegas Bimantara.

Kakek Sangkala melihat keseriusan di matanya. "Yasudah, sekarang ayo kita mulai latihan selanjutnya."

Bimantara mengangguk. Tak berapa lama kemudian, tiga orang lelaki memakai pakaian pendekar datang.

"Sangkala!"

Kakek Sangkala menoleh pada mereka dengan terkejut. Bimantara heran melihat sikap kakeknya yang tampak takut.

"Mereka siapa, Kek?" bisik Bimantara heran.

Kakek Sangkala tidak menjawab pertanyaan Bimantara, dia malah mendekat ke arah tiga pendekar di hadapannya itu.

"Ada apa?" tanya kakek Sangkala heran pada mereka.

"Jangan berpura-pura tidak tahu maksud kami ke sini! Sekarang bayar hutang-hutangmu!" teriak salah satu dari pendekar itu.

Bimantara kaget, dia tak tahu kalau selama ini kakek Sangkala punya hutang sama mereka.

"Hutang yang mana? Semua hutang sudah aku bayar!" teriak kakek pada mereka.

"Kau belum membayar bunganya! Serahkan koin perakmu atau kami remukkan tubuh tuamu!" 

"Tidak ada bunga dalam perjanjian hutang itu. Silakan saja kalau mau meremukkan tubuhku!" ancam kakek Sangkala pada mereka.

Tiga pendekar itu langsung menyerang kakek Sangkala dengan jurus-jurus mereka. Dengan sigap kakek Sangkala menangkis semua jurus yang dikeluarkan mereka. Bimantara gemetar. Dia khawatir dengan kakeknya. Dia belum bisa berbuat apa-apa. Saat seorang pendekar berhasil mengunci tubuh kakek. Bimantara geram.

"Kakek!"

Tiba-tiba angin kencang datang. Semua heran.

"Lepaskan kakekku!" teriak Bimantara mendekati mereka dengan tongkatnya.

Tiga pendekar yang masih mengunci tubuh kakek tertawa.

"Mau apa kamu anak kecil! Menjauh sana! Kita tidak ada urusan denganmu!"

"Dia kakekku! Lepaskan kakekku!" teriak Bimantara dengan emosinya.

Pendekar itu malah mengunci tubuh kakek Sangkala dengan eratnya. Kakek Sangkala berteriak kesakitan. Bimantara meronta dengan jurus ngasalnya, akhirnya dia ditendang oleh salah satu pendekar hingga tubuhnya tersungkur jauh dari mereka. Tiba-tiba dari mulutnya keluar sedikit darah. Bimantara semakin emosi dan berteriak.

"Aaaa!" 

Dia mencoba bangkit, saat itu juga angin puting beliung datang menyapu gubuk reyot kakek Sangkala. Tiga pendekar langsung berlari meninggalkan mereka. Angin puting beliung terus berputar mengejar tiga pendekar itu. Bimantar menyeret kakinya menghampiri kakeknya yang terheran-heran dengan datangnya angin puting beliung itu.

"Kakek!" teriak Bimantara.

Kakek Sangkala memegang kedua bahu Bimatara dengan tatapan heran.

"Apa setiap kali kamu marah selalu ada angin kencang yang datang?" tanya kakek tiba-tiba.

Bimantara kebingungan.

"Maksud kakek?"

"Jawab pertanyaan kakek!"

Bimantara mengingat-ingat. Ya, sejak dia membuka peti itu, angin selalu berhembus kencang saat dia sedang marah. Dan sewaktu ayahnya dibawa angin puting beliung dulu, itu saat-saat Bimantara sedang menahan amarah pada Adji Darma palsu yang membuat hidup ayahnya menderita. Bimantara lemas menyadari itu. Apa itu yang dimaksud mendiang ayahnya kalau peti itu akan membuat petaka? Apa angin puting beliung itu datang karena amarahnya? Kalau begitu, berarti dia yang membunuh ayahnya. Pikir Bimatara dengan terkejutnya. Mendadak dia semakin sedih mengingat kematian ayahnya. 

"Jawab, cucuku!" teriak kakek Sangkala yang sudah tidak sabar lagi.

"Iya, Kek," jawab Bimatara.

Kakek Sangkala terkejut mendengarnya.

"Berarti..."

"Berarti kenapa, Kek?"

Kakek Sangkala membantu Bimantara berdiri. Saat mereka sudah berdiri, kakek Sangkala menatap wajah Bimantara dengan tak percaya.

"Kamu harus menjadi murid di perguruan Matahari. Alam telah memberimu tanda kesaktian dengan angin itu. Kamu harus bisa mengendalikannya, jika tidak angin yang sedang berpihak padamu akan menghancurkan hidupmu. Untuk mengendalikannya kamu harus belajar di sana."

Bimantara tercengang mendengar itu. "Berarti aku bisa menjadi murid di perguruan Matahari, Kek?" tanya Bimantara tak percaya.

Kakek Sangkala mengangguk. 

"Berarti aku yang membunuh ayahku sendiri, Kek?" tanya Bimantara yang mulai meneteskan air mata.

"Kamu tidak membunuhnya, tapi takdir kematian ayahmu memang sudah tiba."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cedar Karamy
Andai puting beliung itu nggak merenggut nyawa sang ayah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status