“Kita sedang dibuntuti.” Alan membanting setir dan menuju ke sisi lain kota Midway City. “Apa kita tidak bisa langsung ke rumah mama saja?” Freya tampak khawatir. “Jarak mereka sangat dekat. Sepertinya ada mata-mata mereka di sepanjang jalan Midway City. Kita harus mengelabui dan membuat mereka kebingungan dengan tujuan kita,” pikir Alan. Mobil Van terus melaju ke disi barat kota Midway City. Ini adalah daerah yang asing bagi Alan, tapi ia tidak punya pilihan lain selain membawa para perempuan itu pergi menjauh. Tidak lama berselang, beberapa mobil yang membuntuti mereka terlihat di kaca spion. Alan memacu lebih cepat mobilnya agar jarak mereka dengan para pengejar tetaplah jauh. Rose yang duduk di samping bosnya terus bicara kecil sambil menggenggam secarik kertas yang ia remas. Perempuan itu sangat panik hingga tatapan matanya kosong melotot ke arah jok depan. “A–apa kali ini kita akan mati?” Rose tidak berani menatap yang lain. “Rose, tenangkan dirimu. Bila kita mati, aku aka
“Sepertinya mereka berhasil melacak ibumu. Mungkin aku bisa melacak mereka di mana sekarang,” pikir Elizabeth. “Apa dia memberitahu tempatnya? Atau ancaman lainnya?” tanya Alan.“Dia hanya bilang Mama ada ditangan mereka. Setelah itu, teleponnya dimatikan.” Perempuan itu tampak khawatir. Ia duduk di kursi lipat berwarna hitam sambil diselimuti oleh jaket berbulu. Rose, asistennya, tepat ada di sampingnya untuk menjaga perempuan yang sedang rapuh itu. “Baiklah. Sebaiknya kau ganti bajumu dulu. Elizabeth, apa kau punya baju ganti untuknya?” Alan bertanya. “Aku punya. Tapi aku tak tahu apa bajuku sesuai seleramu atau tidak.” Hacker urakan itu beranjak dari depan komputernya. Ia memandu Rose untuk menuju ke lemari pakaian. Wajah Freya tampak termenung dan menunduk. Pikirannya seakan berputar-putar melewati labirin yang tiada ujungnya. Ia ragu untuk bilang kepada lelaki yang tampak serius menjaga dirinya. Sebelum telepon dari Jerome terputus, pria itu mengatakan bahwa Fanny berada di s
“Lepaskan!” Freya menendang selangkangan Jerome lumayan keras hingga pria itu berteriak dan jatuh ke sampingnya. Meski genggaman Jerome terlepas, tapi saat Freya ingin pergi dari ranjang dengan merangkak ke samping, lelaki itu kembali menarik kakinya hingga ia terjebak kembali dalam belenggu cengkeraman tangan Jerome. “Aku tidak akan melepaskanmu!” Candu dari harumnya tubuh Freya mulai mengganggu akal sehat Jerome. Ia terus mengendus nikmatnya harum tubuh perempuan yang tampak meronta-ronta itu. Begitu banyak teriakan yang sering dilontarkan Freya membuatnya sempat berpikir tidak ada orang lain yang akan menolongnya. Hingga ia berada di titik bahwa dirinya hanya sendirian. Dengan perasaan kecewa, akhirnya Freya berhenti memberontak. Perlahan ia melemaskan otot-otot tangannya dan mulai menerima cumbu yang menodainya. Jerome melingkarkan tangan kanannya ke belakang leher perempuan itu. Kecupan kecil tersemat lembut di leher Freya. Perempuan itu mulai menggeliat tidak berdaya ketika
[Bos, enam sniper telah siap di lokasi masing-masing.]“Oke! Bunuh mereka semua!”Ternyata Alan masih memiliki satu earphone lagi di telinga satunya. Setelah ia mematikan kontak dengan Elizabeth, lelaki itu menyalakan kontak dengan anak buahnya. Seluruh anggota yang semula mengikuti Alan ke studio talk show telah menyebar ke area di sekitar hotel milik Jerome. Enam sniper telah mengepung hotel itu. Lalu beberapa orang berpakaian preman menjumpai beberapa anak buah Jerome melalui pintu belakang di lantai dasar. Kedua gangster itu saling baku hantam dan menjadikan hotel penuh romantis menjadi arena duel maut. “Siapkan helikopter untukku. Aku akan menyusul para perempuan itu.”Alan menghabisi beberapa orang yang masih berusaha membunuhnya. Di dalam asap putih, sang Assassin memburu mereka seperti seekor kucing sedang memenggal kepala para tikus. [Helikopter akan datang lima menit lagi.]Salah satu anak buah Alan mengkonfirmasi kedatangan tumpangan bos mafia itu. Dengan melemparkan pi
Sontak saja Alan menoleh ke arah suara tembakan. Elizabeth yang tengah duduk dipangkuan lelaki itu pun tersentak dan turun dari kedua paha Alan. “Kau?!” Elizabeth melihat lurus dengan perasaan heran. “Aku ingin sekali menembak kepala kalian berdua saat ini!” teriak Freya. Ia tampak kesal saat melihat keduanya bercumbu mesra di bawah pohon rindang. Entah apa yang merasuki perempuan itu, tapi ia begitu kepanasan saat Alan mulai mencium bibir lembut saudara tak seibunya. “Aku bisa jelaskan,” ungkap Alan. “Apa yang ingin kau jelaskan? Kau bukan miliknya, ‘kan?” Elizabeth menyela. “Apa kau bisa diam dulu?” Alan menoleh ke perempuan di sampingnya. “Dia bukan kekasihmu! Dia hanya perempuan manja yang membutuhkan pengasuh sepertimu,” pikir Elizabeth. “Cukup!”Dar! Freya menembakkan pistolnya ke atas. Perempuan itu semakin kesal setelah mendengar perdebatan mereka. Ia meminta kepada Alan untuk menghampirinya. Tapi Elizabeth memegang salah satu lengan Alan untuk mencegah lelaki itu. “
“Kau tidak tidur semalam?” Freya bertanya. Ia sedang mengolesi roti dengan selai strawberry tepat di meja makan.“Aku tidur di teras. Bagaimana? Apa kau tidur nyenyak?” Lelaki itu duduk di seberang perempuan yang tampak gusar padanya. Ia hanya mengenakan kaos polos berwarna hitam dan celana denim yang penuh sobekan di bagian lututnya. Sambil mengoleskan roti tawar miliknya, Alan bertanya tentang rencana Freya setelah keluar atau menghilang dari dunia artis. Tampaknya pertanyaan lelaki itu menyinggung perempuan yang sudah jelas-jelas tidak menyukai keadaannya saat ini. Keadaan di mana ia menjadi buronan para gangster bodoh! “Jangan banyak basa-basi. Katakan saja apa maumu? Apa rencana selanjutnya? Dan kapan ini akan berakhir?” Freya menghentikan tangannya mengoles selai. Tatapannya memandang lurus ke arah lelaki di seberangnya. “Tidak akan berakhir. Sebelum kita yang mengakhirinya.” Ucapan Alan tampak ambigu. Freya dibuat bingung dengan sikap konyol dari lelaki di depannya. Tetap s
Tatapan mata Diana tampak kaku dan tajam. Ia tidak peduli kepada para perempuan yang berpenampilan kurang menarik di depannya. Ia hanya memandang seorang lelaki yang mengenakan jaket biru navy di dekatnya. Langkahnya perlahan maju ke arah Alan. Senyuman tipis merekah dari bibir mungilnya. “Siapa kau?” tanyanya. “Apa kau Diana Hood?” Alan bertanya balik. “Aku yang bertanya terlebih dulu. Kenakan jau malah bertanya balik? Apa kau tidak diajarkan sopan santun?” Diana menatap lelaki di depannya. Matanya tampak melirik ke bibir Alan yang sedikit basah. “Maaf, tapi tolong jawab pertanyaanku dulu.” Alan menjawab dengan tenang. “Aku memang Diana. Tapi aku sudah lama tidak menggunakan nama belakangku. Karena ‘Hood’ sangat menjijikkan!” bisiknya. Ketika perempuan itu mendekat ke telinganya, ia melirik sedikit ke arahnya. Harum dari tubuh Diana membuat pikirannya melayang sejenak. Tapi sikap angkuh perempuan itu mengingatkannya pada Freya ketika pertama kali jumpa. “Wah, kau sungguh beran
Detak jantung lelaki itu tampak berpacu cepat. Sudah dua kali ia mendapati kejadian seperti ini. Didekati oleh para putri Hood sebelumnya tampak menjadi pelajaran berharga yang harus ia praktikan pada situasi sekarang. Meski Diana begitu menawan dan sangat sempurna, tapi Alan tidak bisa mengatakan ‘iya’ padanya. Kedua tangan Diana meraba halus punggung Alan sambil mengitari tubuhnya. Ucapan halus yang keluar dari bibir mungil perempuan itu membuat Alan haus akan belai seorang wanita. “Aku sudah menunggu lelaki yang sempurna sepertimu. Aku bisa memberikanmu semuanya, melebihi orang tua bernama Alexander Hood,” bisiknya. Tangannya melingkar lembut di kedua pundak Alan hingga ke belakang lehernya. Sayup matanya tampak menggugah detak jantung Alan yang terus berdenyut luar biasa. Entah sampai kapan perempuan itu terus merayunya. Pikirannya tampak melayang ke dunia yang belum pernah ia jelajahi. Lelaki yang pandai dalam persoalan senjata tidak selalu pandai menghadapi wanita. “Bagaiman