Nick terus mengamati pergerakan lawan bicaranya. Meski terlihat menyedihkan dari sosok yang berdiri tak jauh darinya, hal itu tak membuatnya iba. Menanyakan pun mengenai keadaannya tidak akan pernah ia lakukan.
Ia melihat pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.45, itu tandanya ia harus segera merehatkan sejenak tubuh lelahnya.
Tak mau buang waktu apalagi sekedar berbasa-basi, pria itu dengan ketusnya bertanya, "Apa yang mau kau katakan padaku? Kalau tidak penting, segeralah pulang! Orang tuamu pasti akan kebingungan mencarimu."
Kata-kata itu terdengar bak mantra pengusiran makhluk tak kasatmata. Violet memejamkan mata lalu menghembuskan napas demi menguatkan hatinya sebelum menjawab pertanyaan Nick.
Sosok perempuan yang berada di hadapan Nick adalah Violet. Gadis itu tampak menyedihkan bak sampah yang terbuang, dihempaskan begitu saja. Tak memiliki nilai apa pun di mata Nick.
"Kau terlalu la
Hai kakak semuanya, mohon dukungannya yaa... Semoga suka dan terhibur dengan cerita recehku 😀😀
Kebencian Nick pada kedua orang tuanya sudah mendarahdaging. Sakit, tapi tak berdarah. Orang tua yang tega menjual kebahagiaan anaknya demi perusahaan adalah dua orang di hadapannya saat ini. Demi kekayaan yang saat mati nanti tidak akan mereka nikmati terus mereka kejar sampai mereka lupa bahwa putra mereka butuh kasih sayang bukan hanya harta. Semua yang mereka dapatkan di muka bumi ini hanya bersifat fana. Tapi apa yang Nick dapati? Apakah dia salah jika di dalam hati dan pikirannya terus berontak? Toh, kenyataannya kehadiran dirinya ke dunia tak disambut baik oleh Vanessa dan Jonathan. Ia hanyalah alat, bukan putra mereka. "Jangan sentuh aku, Ma! Aku akan memilih hidup sendiri tanpa kalian, tolong jangan mengatur hidupku lagi!" tegas Nick dengan lantang. Sekelebat kejadian tiba-tiba membanjiri pikiran pemuda dua puluh satu tahun tersebut. Bayangan wajah dua wanita beda generasi terus terlintas dalam otaknya. N
Nick menyentuh kode masuk layar sentuh ponselnya. Sebuah kode rahasia untuk mengakses lebih jauh kegunaan benda pipih pintarnya kini terbuka, membebaskan sang pemilik leluasa menggunakannya. Tak butuh waktu lama atau terkesan bertele-tele, Nick menyentuh tombol on pada ponselnya hingga mengeluarkan suara-suara yang saling bersahutan mengundang banyak tanya. Jonathan mengernyit. Suara siapakah itu? Tanpa sadar kedua kaki tegapnya terus mendekat demi membayar rasa penasaran yang terus menggelitik pikirannya. Flashback On Beberapa hari sebelum kedatangan keluarga Violet ke kediaman Jonathan. Seorang wanita cantik keluar dari pintu ruangan Gib, ayah Violet. Ia baru saja keluar dari ruangan itu setelah mendapat tanda tangan Gib untuk beberapa laporan perusahaan. Di mana di dalam ruangan itu terdapat pasangan anak dan ayah yang tengah berseteru hebat. Kylie, si sekretaris yang hendak berseru karena kedatan
Hari yang ditunggu akhirnya tiba.Pernikahan megah yang bertempat di Bege Resort, milik George Michael begitu padat dipenuhi para tamu undangan. Beberapa saat lagi di dalam aula besar yang berada di sisi utara akan menjadi saksi bisu dilangsungkannya pernikahan akbar sepanjang masa seantero Edensor.Siapa lagi kalau bukan pernikahan Bryan dan Kimberly.Calon pengantin tersebut berada di ruangan yang berbeda.Kini, Kimberly menatap pantulan wajahnya di depan meja rias yang berwarna dominan gold dengan arsiran silver di beberapa sisi. Ia tampak begitu cantik dan terlihat dewasa, meski tidak memakai riasan mencolok.Kulitnya yang putih mulus tampak berkilauan terkena efek gaun yang dikenakannya pagi ini. Tepat dua puluh menit lagi ia akan sah menjadi nyonya Bryan.George berdiri di ambang pintu menyaksikan bagaimana anak gadisnya akan melepas masa lajang dengan menikahi salah satu konglomerat Edensor.
Seseorang menyelinap masuk tanpa menjawab pertanyaan Kimberly. Jenica. Sepupunya, anak dari Luke, kakak angkat sang ayah. Perempuan yang memiliki selisih usia lebih tua satu tahun di atas usia Kimberly tersenyum ramah, ia mendekati calon mempelai yang tak lain tak bukan adalah adik sepupunya. "Maaf mengganggu kalian berdua, Paman George dan Kimberly! Aku hanya ingin mengucapkan selamat saja, tidak apa-apa, kan?" tanya Jenica dengan tetap menyunggingkan senyum di wajahnya. George balas tersenyum pada Jenica. Ia merogoh ponsel di saku celananya dan menepuk bahu putrinya perlahan lalu berkata, "Papa akan menghubungi seseorang sebentar, kau di sini dulu bersama Jenica! Oke?" Kimberly mengangguk mantap. "Baik, Papa! Aku akan menunggu Papa di sini," jawabnya cepat. George meninggalkan dua perempuan cantik di dalam ruangan tersebut. Kini tak ada lagi siapa pun selai
Kilas balik ingatan beberapa hari yang lalu menjelang pernikahan Kimberly dan Bryan dalam benak Nick…. Seseorang keluar dari sebuah mobil berwarna putih, dengan anggun perempuan itu mendekati Nick yang tengah berjalan santai sambil bersenda gurau bersama Bradley. "Hai, Nick! Long time no see, sepertinya nasibmu sangat menyedihkan, ya! Ditinggal Kimberly begitu saja dan sekarang menjadi seorang pelayan yang pastinya gajimu sangat kecil! Pantas saja dia lebih memilih meninggalkanmu daripada tetap hidup menderita dengan pria tak punya masa depan sepertimu!" sapanya diiringi sindiran tajam yang keluar dari bibirnya. Senyum sinis tampak tersungging. Perempuan itu tak asing di mata Nick. Nick membiarkan perempuan itu berceloteh atau menghina dirinya tepat di hadapannya. Ia tak peduli. Dalam hidupnya, berurusan dengan perempuan ini adalah hal yang amat tak bermutu. Membuang-buang waktu. Hendak meninggalkan sepupu dari Ki
Lain Kimberly, lain lagi Bryan Malik. Di saat yang sama, hanya berbeda ruangan, ketiga pria di dalam sana tengah bercanda tawa dengan pembahasan tak jelas, tidak ada juntrungannya.Bryan masih fokus memperbaiki ikatan dasi yang melingkar di lehernya. Tepatnya di dalam kerah kemeja dengan nuansa putih di segala sisi. Pria penyuka warna hitam itu memakai warna lain selain warna favoritnya. Demi pernikahannya tentu saja.Leon dan Gilbert yang bertugas menjadi groomsmen tampak cekikikan berdua melihat kelakuan Bryan yang tampak gugup.Bryan mengernyit saat mengamati dua sahabatnya tengah menertawakan dirinya dari pantulan kaca besar di hadapannya."Kalian gila? Hah? Apa yang kalian tertawakan?" tanya Bryan menoleh ke belakang tanpa membalikkan badan, jiwa penasarannya mulai terpancing melihat kelakuan Leon serta Gilbert.Gilbert terkekeh geli setelah mendapat tepukan di bahunya dari Leon. Mereka terlibat aksi saling sikut
"Leon! Gilbert! Bangun! Jangan bercanda!" teriak Bryan yang mulai kalut sembari iris birunya memastikan gerak-gerik dua lelaki di sekelilingnya. Tangan besarnya mengguncang lengan kekar kedua sahabatnya secara bergantian. Benar-benar bukan prank, melainkan nyata adanya. Awalnya Bryan menduga bahwa dua sahabatnya tengah mengerjai dirinya, semacam lelucon seperti biasanya. Namun, kenyataannya, ini tak seperti yang ada dalam bayangannya. It's fact! "Shit!" umpat Bryan tanpa sadar. Pria tampan dengan balutan tuxedo putih itu membuka pintu kamarnya dan menemukan lima orang pengawal yang berdiri berjejer di sana. Kening Bryan mengernyit. Kenapa mereka semua ada di sini? "Kenapa kalian di sini? Bukankah aku meminta kalian mengawal calon istriku? Hah!" hardik Bryan dengan raut wajah emosi yang tak terbendung. Kelima pengawal itu menatap serius ke arah Bryan. Salah satu dari mereka
Nick dan Jenica sudah berada di resort bagian selatan. Jenica tersenyum penuh kemenangan membayangkan Bryan akan menjadi miliknya setelah peristiwa ini.Detik-detik menentukan segalanya.Jenica membuka salah satu kamar yang telah ia sewa dengan nama asing dan membayar lunas satu hari full.CeklekPintu terbuka."Ayo masuklah! Kita harus cepat, waktu kita terbatas!" seru Jenica yang kali ini memilih Nick menjadi rekan kerjasamanya.Dugg"Aaakkhh!!" pekik Jenica sebelum tubuhnya mencium lantai marmer yang dingin di bawahnya.Seseorang memukul tengkuk Jenica hingga perempuan itu terjatuh tepat di ambang pintu kamar.Nick tak menampik bahwa ia pun sedikit terkejut dengan hal yang baru saja terjadi. Pandangannya mengarah pada si pelaku dan korban kejadian tersebut silih berganti.Bradley?"Kenapa kau memukulnya sekeras itu, Bradley? Aku saja sampai bisa mende