Kalimatku terpotong oleh ketukan keras dari luar. Segera kepalaku menoleh ke sumber suara dengan tatapan horror tersorot ke sana.
Jantungku berdebar membayangkan saat ini aku sedang sendiri di rumah. Sementara Alicia baru pergi beberapa jam lalu untuk berbelanja keperluan dapur. Dia sempat mengajakku, tapi aku memilih tinggal karena merasa malas. Mataku menatap semakin nyalang saat menyadari sesuatu.Siapa orang yang berada di luar?Apa Axe? Tadi aku dan Hema baru saja membahasnya, dengan kata lain kemungkinan terbesar dia-lah orang yang sedang mengetuk pintu secara kasar—terkesan tidak sabar.Apa aku harus harus membukakan pintu sekarang? Bagaimana jika Axe langsung meledak padaku atau lebih parahnya menghukumku karena sudah meninggalkan pria itu. Oh, aku tidak mau mengambil risiko membuatnya semakin marah. Lebih baik kubukakan pintu untuknya.Tanganku bergerak cepat memutar kunci, lalu menekan knop itu ke bawah dan daun pintu yang menjadi pembatas antara akEmpat hari ke depan aku tidak update. Soalnya fokus garap sequel Brother Luck(not) dulu. Jangan bosan menunggu, ya. Love u...
“Kenapa kau ada di sini?” tanyanya masih beringsut menghindariku, seakan – akan aku adalah wanita jahat yang baru saja melukainya.“Pergi kau, Bridgette!” lanjutnya nyaris berupa bisikan.Oh, apa yang sudah kulakukan ... dia menghindariku sama seperti menghindari semua orang.“Jangan mendekat. Untuk apa kau kemari jika kemarin kau pergi meninggalkanku?”Tatapan terluka dari Axe sungguh menyakiti perasaanku. Semenyedihkan itukah Axe selama aku tidak berada di sampingnya? Aku benar – benar merasa seperti wanita kejam yang telah melukai perasaannya.“Aku bilang jangan mendekat,” serunya masih berusaha menjauhiku.God! Apa yang terjadi pada Axe sebenarnya? Kenapa dia terlihat ketakutan setiap kali aku berusaha meraih tangannya.“Axe...”“Pergi, Bridgette,” lirih Axe terdengar begitu menyakitkan, sampai rasanya aku ingin menulikan telinga tak kuasa mendengarnya. Tidak tinggal diam, tangannya mendorongku kasar hingga aku sedikit mundur ke belakang dengan kedua tang
Apa maksudnya? Terakhir kali Axe menyentuhku. Aku sama sekali tidak melakukan ini.Mungkinkah saat kami berpisah, Axe membiarkan wanita lain menyentuhnya? Ingat apa yang Axe katakan padaku sewaktu di pemakaman tadi? Dia pergi ke bar dan kemudian tidak dilanjutkan lagi kalimatnya.Oh, apakah dia tergoda oleh salah satu wanita di sana atau dia sengaja melampiaskan kekesalannya padaku karena sudah meninggalkannya diam – diam? Aku harap opsi pertama tidak pernah menjadi pilihan.Tunggu dulu, sepertinya yang tidak aku inginkan itulah yang terjadi. Maksudku, tidak hanya ada hickey tunggal di leher Axe. Satu di antara hickey pertama, hickey kedua, setengah menyembul keluar dari balik kerah kaos biasa yang Axe pakai.Aku berusaha keras tidak tertarik untuk melihat, tapi rasa penasaranku jauh lebih dominan. Hingga tanpa sadar tanganku begerak menarik kerah kaos Axe sampai nyaris menyentuh pundaknya.Mataku terbelalak penuh mendapati sepanjang bahu Axe terdapat bekas hickey nya
“Dorong dia ke bawa!” seru Berverli dingin. Dia bersama dua bawahannya membawaku ke rooftop restoran dengan tujuan buruk. Setergila apa wanita ini pada Axe hingga nekat melakukan perbuatan cela demi mendapatkan pria itu untuknya.“Jangan gila kalian!”Meski tenagaku tidak seberapa, tapi aku berusaha sebisa mungkin melawan. Berverli tidak boleh membunuhku, ada nyawa lain yang harus tetap hidup. Hanya karena wanita penuh obsesi ini mencintai ayahnya, bukan berarti dia bisa melenyapkan bagian dari pria itu.“Bebaskan aku, Berverli!”Aku terus berontak menatap nyalang pada wanita angkuh, yang semakin senang mendengar permohonan dariku. Dia tidak kenal ampun dan sepertinya serius dengan perintahnya.“Push her down!”Itu kata terakhir yang kudengar, sebelum tubuhku dilempar secara paksa. Jantungku seakan ikut jatuh ke bawah. Inikah takdirku ... mati dalam keadaan irasional.Seharusnya aku sudah merasakan sakit saat tubuhku terempas membentur jalan beraspal. Namun, beg
Kami saling menarik tak ada yang mau mengalah. Untuk saat ini sungguh, aku tidak bisa membiarkan Axe menang, tapi aku juga takut melihatnya menggenggam ujung bagian tajam gunting. Bagaimana jika tangannya terluka dan berdarah. Jangan sampai!Satu – satunya cara menghentikan Axe, aku harus ...Plak!Menamparnya, dan itu sudah kulakukan. Keterkejutan yang Axe dapatkan membuatku menang hingga gunting itu sepenuhnya berada di tanganku. Tidak mau menambah masalah, dengan cepat kulempar asal benda tersebut ke sembarang tempat.“I’m so sorry, Axe.”Segera kutangkup wajah yang baru saja menerima tamparan dariku. Perasaanku semakin hancur saat Axe tak mau menatapku—dia memilih memejamkan mata.“Jangan sentuh aku. Aku kotor.”Lagi. Dia mengucapkan kalimat yang sama, kali ini dalam kedaaan sadar. Bahkan Axe sama sekali tidak berani menyentuhku, dia hanya menggeleng berusaha terbebas dari dua tanganku yang mengurung wajahnya.Ada apa dengan suamiku sebenarnya, kena
Pandanganku menerawang jauh pada wajah yang tampak polos saat sedang tertidur. Setelah keluar dari ruang kerja Mr. O’Connor, aku tidak pergi ke mana selain kembali ke kamarku. Kamar kami, kamar aku dan Axe.Napasku terembus kasar membayangkan video yang menari – nari dengan jelas di dalam kepala. Mungkin aku merasa kecewa pada suamiku, tapi datang kepadanya untuk meledak – ledak, melampiaskan kekesalanku untuknya bukan sesuatu yang etis saat kondisinya sedang seperti ini.Lagipula kenapa harus meletus, jika aku bisa membicarakannya dengan kepala dingin? Kami bukan anak kecil lagi, atau seharusnya aku juga berpikir ... bisa saja saat itu Axe sedang khilaf karena tekanan sekitar—aku tidak di sampingnya dan dia mengalami cekcok bersama ayahnya.Semua sudah jelas, aku juga bersalah di sini. Axe benar, kalau saja aku tidak meninggalkannya. Dia tidak akan pergi ke bar dan berakhir melakukan kesalahan satu malam. Hingga sekarang harus mengalami demam, yang disebabkan oleh kemaraha
Meski suara ingar bingar di bar jauh lebih dominan, aku bisa merasakan atmosfer kemarahan Axe yang terpancing hingga wanita itu akhirnya memilih pergi.Tapi...Ada sesuatu yang membuatku harus menahan napas menyaksikan kejadian selanjutnya. Setelah Axe kembali duduk di meja bar dan menegak vodka di tangannya. Beberapa pria berpakaian ‘suit and tie’ datang menghampiri Axe saat pria itu berada dalam kondisi setengah sadar.Bukan perkara berapa. Namun, tentang siapa yang ada di balik kerumunan para pria tua yang mendekati Axe.Dia ...Paman Danial.Pria paruh baya yang paling tidak ingin kulihat wajahnya. Datang membawa pasukan berjas, menghampiri Axe yang sedang tidak fokus. Bahkan tidak sadar bahaya sedang mengancam dirinya.Di sana terlihat Paman Danial perlahan bergeser meraih pundak Axe dan menyodorkan segelas wine padanya. Aku tidak tahu Axe bodoh atau memang dia sepenuhnya dikuasai minuman berakohol, sampai – sampai menoleh sebentar untuk mengetahui si
I’m so really sorry, Axe.Kuberi ciuman di keningnya cukup lama. Harus kudefinisikan Axe dengan apa lagi? Selama ini dia sudah cukup sabar menghadapi Paman Danial. Meski aku tahu Axe lebih memilih menyerang musuhnya secara halus dan dari dalam. Masih ingat saham milik Paman Danial yang diambil alih oleh Axe? Itu salah satu bukti yang menegaskan bahwa Axe tidak hanya diam membiarkan musuhnya bergerak selangkah.“Apa yang kau lakukan, Bridgette. Kenapa tidak tidur?”Aku rasa tindakanku membuat Axe terbangun hingga kepalanya sedikit bergeser menghindari kecupanku yang masih bertahan di dahinya. Dia sedikit kaget melihat posisi kami begitu dekat atau mungkin dia merasakan keanehanku saat ini? Ntahlah, aku tidak tahu.“Are you cry?” tanya Axe spontan. Kenapa dia bisa cepat menyadari kodisiku?Tentu saja aku masih sesenggukan dan itu mungkin memancing Axe untuk bertanya langsung.“Bridgette,” panggil Axe menungguku yang tak kunjung menjawabnya. Aku tidak tahu harus menga
Tiga hari setelah kejadian basah itu. Pagi – pagi sekali aku dikagetkan kedatangan Mr. O’Connor di depan pintu kamar. Katanya psikolog terbaik di London bersama perawatnya sudah menunggu Axe untuk melakukan trauma terapi. Axe akan diberi terapi somatik jenis pengikatan atau restrain untuk menghindari risiko dia menciderai dirinya lagi atau bahkan membahayakan orang lain.Namun, aku menolak karena merasa kondisi Axe saat ini stabil, pria itu tidak sedang mengamuk. Bukankah kemarin kami sudah bisa bicara dari mata ke mata dan itu cukup membuatnya merasa baik—sangat baik malah.Mengenai Axe yang mungkin masih takut dengan orang – orang di luar sana, itu hanya masalah waktu. Lambat laun, Axe akan pulih jika dia sudah terbiasa dan melupakan kejadian yang dialami.Memang benar terapi pengikatan ini tidak akan melukai Axe. Tapi, siapa yang tega melihat orang terkasih harus dipakaikan alat berupa komisol, jaket dan pengikat kaki dan tangan. Aku tidak akan sanggup melihat Axe berjua