Aku memeluk tubuhku erat, sesekali menggosok kulitku kasar. Tidak peduli bahwa saat ini aku menggigil penuh, bunyi derasnya shower pun tidak lagi penting. Rasanya aku ingin mati mengingat hidupku yang tak lagi berarti. Duniaku kembali hancur dalam satu hari, setelah bertahun-tahun aku menata hati untuk mengikhlaskan kesalahan itu.
Pria yang tak pernah kuharapkan datang kembali merusak segalanya. Aku sungguh membencinya. Kenapa aku ditakdirkan bertemu dengannya? Kenapa hidup rasanya tidak adil bagiku. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk berdamai dengan masa lalu. Dan sekarang dia dengan sesuka hatinya merenggut kedamaian sementara itu.
Sunguh, aku tak mau sampai benihnya ada di tubuhku. Lebih baik aku mati. Lagipula aku sudah tak bernilai. Tak ada gunanya bertahan. Ya. Seharusnya aku sudah menenggelemkan tubuhku di bath up. Tapi tatapan membunuh itu menatap ke arahku. Ntah kapan dia ada di situ. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin dia pergi.
Benar saja. Ha
Setengah jam perjalanan di dalam jet pribadinya terasa seperti hampir satu tahun. Apakah memang seperti itu rasanya berada di dekat orang yang kau benci? Waktu terasa berputar lebih lama. Apalagi setiap gerak – gerikmu menjadi sebuah tontonan mengasyikan baginya. Ah. Siapa lagi kalau bukan Axe yang aku maksud. Bahkan sampai sekarang dia tidak melepaskan tanganku dari genggamannya walau kami sudah berada di dalam mobil. Tapi meskipun begitu, aku tahu saat ini Axe sedang tidur. Dengkuran kecil darinya membuktikan itu semua.“Wajahmu sangat familiar. Apa aku mengenalmu?” Itu pertanyaan dariku untuk tangan kanan Axe yang saat ini sedang fokus menyetir. Ketika bertemu dengannya pertama kali, aku merasa aku sangat mengenalnya. Pelawakannya yang tinggi langsing, kira – kira postur tubuhnya hampir seperti Axe. Hanya saja Axe sedikit lebih tinggi darinya. Aku langsung teringat pada seseorang. Mungkin, ‘kah?“Ya, Nona. Saya Edward.”Boo
Aku duduk terdiam di ranjang besar meratapi nasibku yang kurang beruntung. Axe berhasil memaksaku ke mansionnya. Di sini lah aku akhirnya. Terdampar di kamar yang semua dindingnya bercat putih. Beberapa lukisan tergantung di sana. Aku menghela napas kasar, menyesali janji yang kubuat hingga aku harus menepatinya. Axe memang sialan. Dia sangat licik dan kejam. Aku sudah seperti seorang tawanan dibuatnya. Bahkan di kamarku tidak ada jendela. Hanya ada beberapa ventilasi udara, itu pun lubangnya kecil untuk melarikan diri. Aku ingat betul bagaimana letak mansion miliknya. Sepanjang perjalanan kami memasuki hutan yang sangat dalam. Benar. Mansion ini berada di tengah hutan, jauh dari peradaban kota. Ntah apa tujuannya membawaku ke tempat seperti ini. Aku yakin. Mansion ini adalah tempat persembunyiannya. Sebab, di tengah perjalanan tadi. Axe sempat membawaku ke Penthouse-nya. Mengambil beberapa barangnya yang tertinggal. “Nona, tuan sudah menunggu untuk makan mal
Aku membuka mataku dan mendapati hari mulai siang, terlihat dari jam dinding yang menunjukkan pukul 10.30 am. Aku mengusap wajahku kasar, tidak biasanya terlelap begitu dalam. Beberapa saat kusadari tanganku sudah tidak terikat. Bahkan sudah terlilit perban karena sepertinya aku terluka saat mencoba melepaskan diri. Tapi yang menjadi pertanyaanku adalah, siapa yang mengobatiku?Axe?Apa mungkin. Aku tidak percaya. Bisa saja pria itu meminta Edward yang melakukannya.Aku turun dari ranjang. Tak mau memikirkan hal yang tidak penting. Pikiranku lelah. Lebih baik membersihkan diriku sekarang. Aku bisa saja memancing kemarahan pria kejam itu jika hanya menangis dan menangis. Sejujurnya, aku lelah memberontak jika hasil yang kudapati dari pemberontakanku tidak ada. Percuma, bukan?Usai urusan pribadiku selesai. Aku tak sengaja melihat sepucuk surat terletak di atas nakas. Dahiku mengerut heran, bukankah jika ada yang ingin Axe sampaikan. Dia bisa mengirim p
“Ya, Tuan.”“Nona belum sadar, Tuan.”“Baik, Tuan.”Sayup – sayup terdengar suara berat menjadi alarm pagi bagiku. Aku membuka mata dan langsung menyadari bahwa aku sudah berada di kamarku. Kepalaku terasa sedikit pusing, beberapa potongan kejadian semalam melesak mengingatkanku pada sosok yang marah kemarin malam, Axe. Ke mana dia sekarang? Bukankah aku seharusnya melihat kembali kondisi Axe saat mendengar kekacauan yang ditimbulkannya? Lalu bagaimana bisa aku berada di sini. Terbangun dalam keadaan kacau begini?“Selamat sore, Nona. Anda ingin makan apa?” Suara berat tadi mengangetkanku.“Ed, apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku tak percaya. Kutarik selimut yang menutup, memastikan pakaianku masih aman di tempatnya. Syukurlah, tidak ada yang kurang di tubuhku.“Tuan meminta saya menjaga Anda, Nona.”“Memangnya aku kenapa?”“Semalam Anda pingsan,
“Kembalikan ponsel dan laptopku, Axe.” Aku tidak sedang memohon padanya. Nada suaraku terdengar ketus tentu saja. Apa yang dia ambil dariku adalah asetku. Aku berhak memintanya bahkan jika dia tak ingin mengembalikannya.“Untuk apa?” Axe menutup laptopnya sedikit keras. Dia menatapku tajam sebelum akhirnya mengemasi barang – barangnya. Aku heran dengannya, ini hari libur, tak seharusnya Axe sibuk dengan pekerjaannya sekarang.“Aku bosan,” jawabku pelan. Tak mau menatap matanya yang terus menghunusku.“Separuh kebenaran lebih buruk daripada kebohongan yang utuh. Kau jelas tahu itu, baby girl.” Axe bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang menjulang tinggi seakan mengingatkan bahwa aku bukanlah tandingannya.“Kau ingin melarikan diri bukan? Meminta pertolongan orang lain. Aku tahu apa yang ada di otak cantikmu itu.” Axe mencengkram rahangku sedikit. Bisa kurasakan atmosfer yang berubah di tubuhnya. Dia ma
Aku menatap diriku di depan cermin. Sesosok wanita yang tampak ringkih tapi berusaha terlihat baik – baik saja berdiri di depanku. Senyum paksa kuuraikan hingga bayangan diriku di cermin itu melakukan hal yang sama. Penampilanku begitu sempurna. Sepertinya Axe sengaja memberikan gaun bermodel decolette look bukan busty look sehingga hanya bagian leher dan dadaku yang terekspos sempurna. Rambutku ditata dengan Messy Bun Style oleh orang – orang suruhannya. Pria itu mempersiapkan diriku sedetail ini hingga aku hampir tak mengenali diriku sendiri.Langkahku pelan keluar kamar, menuju ke arah Axe. Dia tampak begitu tampan dengan balutan Tuxedo hitam dan dasi kupu – kupu berwarna senada. Aku sedang tidak memujinya karena itulah faktanya. Bisa kubilang Axe adalah salah satu pria yang memiliki ketampanan luar biasa. Dia memang sangat tampan. Sayangnya sifat buruknya menutup kenyataan itu di mataku.Axe mengulurkan lengannya untukku. Aku hanya menatapnya sesaat sebelum mengaetnya. Tat
Aku tersenyum melihat pemandangan di depanku. Sepasang suami istri bersamaku saat ini sedang memanen kentang di kebun halaman rumah mereka. Masih ingat dengan wanita paruh baya yang menolongku melarikan diri. Ya. Akhirnya dia memberikanku tumpangan untuk tinggal bersamanya. Tadinya aku menolak karena merasa tidak enak. Tapi melihatnya begitu memohon, aku merasa tidak tega. Mereka adalah sepasang suami istri yang penuh perhatian. Awal tinggal di sini aku mengatakan alasan aku melarikan diri di malam pesta gala yang diadakan Mr. O’connor. Aku hanya bercerita sedikit saja sisanya ada beberapa kebenaran yang aku sembunyikan, termasuk identitas antara aku dan Axe. Aku tidak mengatakan pada mereka bahwa pria yang menahanku adalah saudaraku sendiri yang begitu terobsesi padaku. Meskipun begitu, mereka terus menyemangatiku. Aku senang Tuhan mempertemukanku dengan orang baik seperti mereka.“Morine, aku mendapat kentang yang besar,” kataku penuh semangat. Wanita paruh
“Bridgette buka pintunya, sayang.” Ketukan dan suara membujuk Morine membuatku ragu. Apakah aku harus keluar atau tetap di kamarku menghindari Axe.Aku menarik napas dan mengembuskannya kasar. Dengan terpaksa aku membukakan pintu kamar mengingat aku tidak punya hak lebih selain hanya menumpang.“Bridgette, kau mau bercerita?” tanya Morine. Kami duduk di tepi ranjang, Morine dengan lembut merapikan rambutku yang sedikit berantakan.Tanpa diminta aku memeluk wanita paruh baya di depanku. Dia sudah seperti ibu kedua untukku. Meskipun kami orang asing yang akhinrya saling mengenal, tapi aku sangat menyayanginya. Ketulusan dan kebaikan hatinya membuatnya pantas dicintai.“Maafkan aku, Bridgette. Aku tidak tahu bahwa Xelle adalah orang yang selama ini kau maksud. Aku juga tidak menyangka dia akan melakukan hal yang tidak baik padamu. Aku sudah memberitahunya untuk tidak mengganggumu. Tapi—“ Morine menghentikan kalimatnya. Tatapannya berubah sedih.“He tell me. He can’t live