Happy reading, guyss...
"Jadi, perjanjian apa yang dimaksud wanita itu?" tanya Hart, pikiran yang segar kini siap menerima jawaban dari setiap pertanyaannya.
"Liana sudah cerita tentang perjanjiannya, ya," cetus Ali.
"Owh, jadi namanya Liana," sambung Hart, kini ia tahu nama wanita itu setelah apa yang mereka lalui bersama semalam.
Hart kembali teringat saat pertama kali melihat Liana. Kejadian singkat yang berlangsung di klub tempat kerjanya.
Waktu itu Hart baru saja tiba, menghampiri atasan yang sedang duduk menunggu, ditemani seorang wanita serta beberapa pengawal.
"Jadi ini orangnya," ungkap Liana saat pertama kali melihat sosok Hart.
Seorang pengawal mendekati Hart, menyemprotkan cairan seperti parfum tepat di hadapan wajahnya. Sejak saat itu Hart tak lagi ingat apa pun dan tiba-tiba telah terbaring di atas ranjang dengan kondisi tubuh terikat.
"Ya ... dia bicara tentang perjanjian, tapi hanya sebatas itu saja, 'Ali akan menjelaskan semuanya', katanya," terang Hart tentang ucapan Liana padanya.
Ali membuka koper, mengeluarkan beberapa lembar kertas lalu menyerahkan kepada Hart, "Bacalah," katanya.
Sambil menikmati kopi dan roti tawar yang disiapkan pelayan, Hart membaca setiap baris kalimat yang tertulis di kertas dengan saksama.
Hart masih membaca.
Ali mengamati, menunggu tanggapan Hart.
Hart meletakkan kertasnya, ia telah selesai membaca isinya. Sekali lagi pria penikmat minuman bernikotin itu menyeduh kopi kemudian merapatkan tubuh pada sandaran sofa.
"Saya bersyukur kalian melunasi hutangku di sana, aku tak perlu lagi berurusan dengan pria kurang ajar itu," papar Hart dengan napas lega melepaskan beberapa bebannya.
"Terus terang saya prihatin padamu. Kau tidak akan mampu melunasi hutangmu di sana, bahkan jika kau bekerja seumur hidup di tempat itu," ungkap Ali sembari merapikan kertas yang telah selesai di baca Hart.
"Aku tahu itu, aku hanya bisa membayar bunganya saja setiap bulan dengan gajiku." Hart memperbaiki posisi duduknya.
"Tapi ... kenapa kalian tidak meminta persetujuanku dulu," sesal Hart. Ada sesuatu yang membuatnya kurang nyaman.
"Apa kau akan setuju? Jelas tidak," timpal Ali membalas.
"Kami tahu kau orang seperti apa, karena itulah Liana memilihmu, ia tidak pernah suka dengan penolakan," lanjut Ali.
Hart adalah seseorang yang selalu berusa menjaga kehormatan dan harga diri. Pria ini tidak suka menjilat, karena itu Hart tak pernah suka dengan wanita dengan kedudukan tinggi.
Mendekati wanita kaya untuk mendapatkan kekayaannya, Hart tidak ingin dianggap sebagai orang yang seperti itu. Dia lebih memilih menderita untuk mendapatkan sesuatu dengan usaha sendiri.
Sebagai seorang host di klub tempatnya bekerja, Hart selalu menolak melayani wanita kaya raya. Ia lebih senang dengan tamu yang benar-benar membutuhkan seorang teman untuk meringankan sedikit kesedihannya, bukan wanita yang hanya ingin bersenang-senang semata.
"Jadi aku tak bisa mundur lagi, ya?" Hart kembali bersandar.
"Betul sekali." Ali membenarkan dengan tegas.
Dalam surat perjanjian yang Hart baca, persetujuannya memang tidak diperlukan, karena itu ia berharap mendapatkan kabar sebelumnya. Namun, atasan Hart myarankan pada Liana agar hal itu tidak perlu dilakukan, sebab ia tahu bahwa Hart pasti akan menolak.
Di sana dijeslaskan bahwa pihak Liana telah membayar seluruh hutang Hart, dengan kata lain hutang Hart telah dipindahkan kepada Liana. Penebusan yang harus Hart lakukan adalah menjalani status sebagai kekasih Liana selama 2 tahun, dan setelah itu ia bebas.
Beberapa orang pasti berpikir jika itu adalah penawaran yang sangat menguntungkan Hart, tapi tidak demikian bagi Hart. Lelaki ini mungkin lebih memilih bekerja seumur hidup sebagai host ketimbang menjadi kekasih wanita kaya yang angkuh seperti Liana.
"Dua tahun," gumam Hart, ia membayangkan hari-hari berat selama itu.
Hart bisa saja lari meninggalkan semuanya, tapi banyangan wajah seorang wanita terlintas di benaknya, memberinya semangat dan bertekad untuk menjalani kehidupannya sebagai kekasih Liana selama dua tahun.
Dipaksa untuk jadi kekasih wanita sencantik Lina. Kalau bujang berlumut sudah pasti mau, hehehe. Makasih buat kalian yang telah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan pemula ini, lope u all.
Happy reading, guyss... Limosin putih perlahan masuk pekarangan rumah, mengalihkan perhatian Hart yang sedang berbincang dengan Ali sambil menikmati kopi dia balkon lantai dua. "Permisi," pamit Ali, ia harus segera turun untuk menyambut Liana. "Akhirnya, dia datang juga," gumam Hart, ia terlihat sudah siap untuk segalanya. "Ali, suruh pelayan menyiapkan satu kamar untukku!" Liana berlalu di hadapan Ali, wanita itu langsung menuju sofa dan membuang tubuhnya di sana. Ali melangkah mendekati ujung sofa di mana Liana duduk, "Anda ingin kamar yang mana, Nona?" tanyanya. "Bekas kamarku. Cepatlah, aku ingin segera istirahat." Liana meregangkan seluruh tubuhnya yang kelelahan. Rumah yang mereka tempati sakarang adalah rumah lama milik almarhum orang tua Liana, terletak cukup jauh dari hiruk-pikuk kota Olympus. Sudah lama Liana tidak berkunjung, bangunan itu ditinggal dan dibiarkan kosong begitu saja. Tem
Happy reading, guyss.... Pukul 7 malam, Hart kembali duduk di ruangan tengah setelah mandi dan bersiap, pemuda itu masih mengenakan pakaian yang sama dengan semalam. Lalu Ali tiba, masuk bersama beberapa orang yang membawa koper pakaian. "Kalian lama sekali, aku mulai gatal." Hart langsung beranjak menghampiri mereka. "Tolong antar barang-barang itu ke kamarnya!" pinta Ali pada dua orang yang sebelumnya telah diminta menemaninya untuk mengambil barang-barang Hart di tempat tinggalnya dulu. "Ikut aku." Hart mengambil salah satu koper kecil, sisanya dibawa oleh mereka. Selesai mengganti pakaian, Hart kembali ke ruang tengah, disusul Liana dengan gaun hitam yang sebelumnya telah ia siapkan. Mereka langsung bertolak menuju pusat kota dengan sedan hitam yang biasanya dibawa oleh Ali. Limosin putih yang sebelumnya mengantar Liana telah kembali ke rumah utama keluarga Veronica, rumah yang akan mereka tuju.
Ambil napas dulu, hehehe. "Ali, minta perhatian semua orang!" Nyonya Elisa maju beberapa langkah lalu berhenti tiba-tiba, Hart yang masih berdiri di sana menghalangi jalan. Ali segera menarik tubuh Hart, menjauhkan dari hadapan Elisa. hal itu sontak menyadarkan Hart dari lamunan dan segera mengatur kembali posisi berdirinya. Dengan suara yang lantang, Ali mulai menarik perhatian orang-orang, "selamat malam para hadirin sekalian, mohon perhatiannya sebentar. Nyonya Veronica akan menyampaikan beberapa hal untuk kita." Perhatian setiap orang di ruang itu langsung tertuju pada Elisa, wanita berusia 60-an yang masih terlihat bugar. Ia mulai berbicara, diawali dengan ucapan selamat datang, ungkapan terima kasih dan beberapa lelucon basa-basi sebelum akhirnya mengumumkan keberhasilan perusahaan mereka. "Perusahaan keluarga kami akhirnya berhasil menempati posisi kedua sebagai pemegang saham terbesar Altar Group," ungkapnya penuh
Ceritanya mulai panas nih, happy reading. "Kau tidak dengar? Aku bilang lepaskan pakaianmu, sampah!" bentak Viana murka. Hart melihat Ali dengan tatapan meminta pertolongan. Jiwanya terguncang hebat, ia benar-benar tidak menyangka jika penghinaan itu akan terjadi padanya. Ini sangat berbeda dengan apa yang disampaikan Ali, berbeda dengan apa yang tertulis dalam berkas yang pernah ia baca. Budak, kata itu tidak tertulis di sana dan tak pernah juga disinggung oleh Ali sebelumnya. "Apa arti semua ini?" Pertanyaan itu terus terlintas di benak Hart. "Hei manusia rendahan! kenapa kau diam saja," geram Viana dengan mata melotot. Sekali lagi, Hart menatap Ali. Pemuda itu seharusnya bisa melawan, berontak dan pergi. Namun, entah kenapa ia tak bisa bergerak, seakan kakinya dirantai, mulutnya dibungkam. Semua karena tekanan seorang Veronica Erviana yang tiba-tiba, auranya yang benar-benar mencekam. Namun, Hart tidak merasa
Happy reading, guyss. "Kau berani bicara dan bahkan menolak perintahku. Lakukan kataku! Jika tidak ...." "Kenapa jika tidak?" sela seseorang memotong ucapan Viana. "Nona Riana," sapa Ali memberi hormat pada wanita yang datang dari arah belakan Viana. "Kakak?" Viana tampak terkejut saat wanita itu melintas di hadapannya, mengabaikan tegurannya dan berlalu begitu saja. Veronica Meriana, dia adalah kakak dari Viana. Wanita dewasa ini memiliki kecantikan yang berbeda, ia terlihat menarik bukan karena kosmetik tebal yang menempel di wajah, atau perawatan mahal dari klinik kecantikan seperti yang dilakukan Viana. Bahkan wajahnya hampir tidak dihiasi satu pun riasan, tapi kecantikan Viana akan luntur jika ia berdiri di samping kakaknya ini. Riana mampu mencuri perhatian setiap orang di sekitarnya sehingga semua pandangan akan tertuju padanya. Karena itulah terkadang Viana merasa sangat membencinya. Kecantikan Riana
Happy reading, guyss .... Tatapan itu menuntut sebuah jawaban, jawaban tentang sesuatu yang tidak pernah dijelaskan padanya. Jawaban yang akan menentukan keputusan Hart selanjutnya. "Ali, kenapa kau diam?" tanya Hart mendesak. "Hart, aku sungguh minta maaf tentang itu." "Maaf? jadi maksudmu ...." "Ya, itu benar bahwa sekarang kau adalah budak Liana. Akan tetapi budak Liana memiliki arti yang berbeda dengan budak Viana." Ali berusaha membuat pemuda itu mengerti, tapi ucapannya sulit dipahami Hart. "Budak tetaplah budak. Jika saja kau mengatakannya lebih awal padaku, maka aku bisa pergi hari itu juga dan aku tidak perlu menerima penghinaan Viana malam ini." Hart memutar badannya membelakangi Ali, ia berniat meninggalkan pria itu dan segera keluar dari rumah keluarga Veronica. "Hart, tunggu!" tegas Ali mencegahnya dan berlari kecil ke arah Hart. "Maaf Ali, tapi aku tak sudi menjadi budak wanita itu, aku punya hak untuk memutuskan sebab aku tidak terikat dengan perjanjian apa pun."
Happy rading. "Liana, aku ingin mengatakan satu hal lagi." Wajah Riana terlihat lebih serius, apa yang ingin ia katakan mungkin merupakan sesuatu yang amat penting. Liana yang masih tertunduk malu, kini mulai mengangkat kepalanya untuk menyimak baik-baik apa yang akan dikatakan Riana-tantenya. "Tadi aku membicarakan tentang permintaanmu untuk tinggal di rumah lama itu dengan Oma kamu," ungkap Riana sembari melambai memanggil pelayan. "Soal itu? Ya, beliau melarangku tinggal di sana," keluh Liana. "Hart, kau mau minum apa?" tanya Riana pada pemuda yang telah menarik perhatiannya. "Beri dia secangkir kopi, dia tidak akan menolak," sela Liana menjawab pertanyaan untuk Hart. "Jadi kau sudah tahu minuman kesukaannya." Riana tersenyum merayu. "Tante," rintih Liana dengan wajah cemberut manja. "Hahaha, wajahmu memerah," goda Hart meledek, meskipun tanpa menatap ke arah Liana. "Ini karena aku terlal
Ketiganya dikagetkan oleh suara hantaman di belakang mereka, suaranya seperti handuk basah yang dipukulkan ke tembok. Mereka semakin terkejut saat mengetahui penyebab suara itu. "Aahhh!" Liana menjerit histeris, spontan memejamkan matanya dan menutup wajah dengan telapak tangannya. "Masuklah, Nona." Liana yang ketakutan masuk ke mobil tanpa membuka matanya, pemandangan yang ia lihat benar-benar membuatnya terpukul. "To ... tolong!" Suara lirih seorang wanita yang bersimbah darah, terkapar lemah tak berdaya di atas jalanan beton yang mengarah ke pintu utama rumah Veronica. Tatapannya yang mulai kosong memandang sayu ke arah Hart. Mengulurkan tangannya untuk meraih apapun yang dapat menolongnya. Hart mengenalnya, Hart pernah melihat wanita yang kini kesakitan di hadapannya. Pemuda itu langsung melompat mendekatinya, merangkul tubuh wanita itu dan menopang kepalanya. "Kau akan baik-baik saja, tetaplah sadar.