»»»»
Cia menatap jam yang terus berdetak di dinding ruang rawatnya. Sudah 2 hari dia di rawat dan seharusnya, nanti malam adalah pertandingannya dengan pembalap dari New Zealand. Cia tak ingin melewatkan kesempatan itu, tapi bagaimana bisa dia keluar, jika dia terus di awasi 24 jam begini!
"Hai Cia ..." Cia berdecak kesal. Kenapa di saat seperti ini, harus muncul orang yang menyebalkan!
"Ngapain lo kesini!" Ketus Cia. Kian hanya tersenyum seperti biasa.
"Kita kan temen, jadi wajar kalo gue jengukin lo, ya kan?"
"Nggak perlu, dah sana balik!"
"Ih, jahat banget. Padahal kan gue cuma pengen tau keadaan lo doang!"
"Gue baik-baik aja. Puas lo, dah sana balik!"
"Ish! Iya-iya, gue pulang nih!" Cia mengalihkan tatapannya, dan saat itu dia mendapat ide bagus.
"Tunggu!"
»»»» Radith datang sambil berlari mendekati Dava. Cowok itu sudah duduk di kursi yang ada di dekat tempat tidur Cia, sedangkan gadis itu masih berbaring tak sadarkan diri. "Gimana keadaannya?" "Kacau, Pa!" Dava menatap Cia sesaat lalu menunduk. "Dokter bilang, Cia bisa aja kehilangan nyawanya, untung dia cepet-cepet di bawa kesini!" "Cowok yang kamu bilang dateng sama Cia, sekarang di mana?" "Dia udah pulang. Dia sama sekali nggak mau ngomong apapun, bahkan dia cuma jawab satu pertanyaan, itu cuma nama dia doang! Sisanya dia sama sekali nggak ngomong apa-apa!" "Kamu biarin dia gitu aja?" "Untuk sekarang iya. Lagian, dia bawa bodyguardnya, Dava nggak bisa apa-apa. Tapi, Gevin bantu Dava dan ngikutin mereka." "Gevin?" "Temen sekelas D
»»»»"Dua tahun lalu ... di halte depan sekolah!" Cia menahan ucapannya, Jun tidak mengerti apa yang Cia maksud, "lo yang nabrak Kakak gue, kan ...." cowok Korea itu benar-benar terkejut mendengar apa yang Cia ucapkan. Tidak, bukan hanya terkejut, Jun juga tak percaya dengan pendengarannya."Maksud lo ... apa?""Motor yang lo pake waktu itu, sama persis kayak motor yang dulu nabrak Kakak gue. Gue nggak tau siapa pengendaranya, tapi itu jelas motor yang sama!" Jun terdiam lalu menunduk, "waktu itu hujan ..." Cia lalu terdiam, menatap Jun yang masih menunduk di depannya."Iya ... itu gue!" Cia segera mengalihkan tatapannya."Kenapa lo pergi? Kenapa lo nggak tolongin Kak Nita waktu itu?""Gue ... takut, jadi ...""Lo kabur." Jun tak berani menatap Cia. "Lo tau, apa yang udah lo lakuin waktu itu?"
****"Udah waktunya makan ..." Dava duduk di samping Cia, di tangan cowok itu terdapat mangkuk berisi bubur dan segelas air putih."...""Ci, makan dulu.""...""Gue suapin ya!" Cia menatap Dava kesal."Bisa nggak lo jangan ganggu gue!""Bisa, asal lo harus makan dulu!" Cia mendengus. Tanpa menunggu lama, gadis itu mengambil mangkuk dan memakan bubur yang sudah tersedia. Beberapa kali Cia tampak ingin memuntahkan makanan itu, Dava yang melihatnya sedikit memicing."Lo ... nggak suka bubur?" Cia tak menjawab. Setelah menghabiskan setengah bubur yang ada, gadis itu memberikan mangkuknya kembali pada Dava."Gue udah kenyang!" Sambil mengambil gelas berisi air minum dari tangan Dava, "gue udah selesai. Jadi jangan ganggu gue lagi!" Cia buru-buru berbaring dan menutup seluruh tubuhn
»»»»» Cia berjalan keluar dari kamarnya, sudah 3 hari terlewati setelah kepulangannya dari rumah sakit. Keadaannya semakin membaik. Terlebih, Cia juga tak pernah keluar kamar dan itu membuat Dava senang. Setidaknya Cia tak keluyuran dan membuat kesehatannya semakin memburuk. Saat Cia baru menutup pintu dan ingin berjalan ke lift. Ternyata ada beberapa orang di ruang bermain. Mereka tampak sedang bercanda sambil memegang stik ps di tangan mereka."Mau kemana, Ci?" Dava menjeda apa yang tengah dia lakukan."Minum!" Cia acuh dan kembali melangkah, Dava mengangguk lalu kembali duduk untuk melanjutkan acara mabar-Nya dengan teman-temannya. Sampai di dapur, Cia menuang air hangat ke dalam gelas dan menghabiskannya dengan cepat. Gadis itu kembali menuang air ke dalam gelas. Tiba-tiba, Cia dikejutkan oleh suara yang terdengar di bel
*****"Balik sama gue!" Cia menepis tangan Gevin yang mencekal pergelangan tangannya. Dia baru saja keluar dari kelas, dan ternyata Gevin sudah menunggunya."Lo nggak bosen gangguin gue!""Lo pacar gue sekarang, kalo lo lupa, Queen!" ucap Gevin, dan berbisik saat mengucapkan kata Queen."Gue sibuk!" Cia melangkah pergi, Gevin ingin mengejarnya, tapi ponselnya berdering membuatnya urung memanggil nama Cia, dan langsung mengangkat panggilan nya."Oh, hai, Sayang!""...""Nggak dong! Nggak lupa kok, sekarang aku jemput ya!" Gevin tersenyum begitu menawan, lalu memutuskan sambungan telponnya. Cowok itu dengan segera pergi untuk menjemput pacarnya 'yang lain'.****** Cia tersenyum ramah, dan menjabat tangan relasi bisnisnya. Waktu sudah sore saat dirinya baru selesai m
****** Cia melangkah dengan malas ke arah kelasnya, tatapannya kosong. Seakan dia tidak berada dalam tubuhnya saat ini, dia merasa sedang dalam keadaan yang tidak harus berada di tempat itu. "Cia!" Sebuah panggilan membuatnya menoleh, seorang cowok mendekatinya, padahal Cia tidak terlalu mengenalnya."Lo ...?""Oh, gue Sean! Temen sekelas lo." Cia mengangguk malas."Kenapa?""Oh, gue mau tanya, soal Gevin ...""Bukan urusan gue!""Bukannya kalian pacaran!" Cia menatap Sean seakan berkata 'lo percaya sama omong kosong itu!'. "Maksud gue, Gevin nggak pulang ke rumahnya, udah dua hari dan kemarin dia juga nggak masuk sekolah. Mungkin lo tau dia kemana, atau mungkin dia sama lo!" Cia masih menatapnya datar seakan berkata, 'penting banget?'."Bukan urusan gue!"
***** Dava menggendong Cia ke dalam kamarnya, dan ini pertama kalinya Dava masuk kedalam kamar Cia. Kamar gadis itu rapi, tidak seperti bayangannya, dan juga ada beberapa koleksi mobil sport mini di atas meja dan juga sebuah piala yang Dava tidak tau, itu asli atau bukan. Dava membaringkan Cia di tempat tidurnya, lalu menyelimuti sang adik dengan perlahan."Papa ..." Dava menghentikan pergerakkannya saat Cia menggumamkan satu kata yang membuatnya kaget. "Jangan pergi ...""Cia ..." Dava mengusap rambutnya dengan pelan. Entah mengapa, Dava merasa simpati pada sang adik, terlebih sepertinya Cia sejak kecil tidak dekat dengan Diana, dan dia tampak lebih dekat dengan sang Ayah. Dava tidak mengerti, mengapa Cia tak bisa menerima Radith sebagai pengganti Papanya. "Sebenernya, kenapa lo nggak bisa nerima kita, Ci. Apa lo sebegitu bencinya sama gue dan Papa?" Dava menatap Cia dengan mata berkaca-kaca. Cowok itu tersenyum kecil, lalu ingin beranjak
*****"Maksud lo gimana?" Rio duduk di seberang meja Cia."Dirga sama Hide nyulik Gevin kemarin!" Rio menghembuskan napasnya."Gevin? Cowok yang ngikutin gue? Lo ada hubungan sama dia?" Cia menggeleng."Ya enggak lah, lo pikir!""Terus, ngapain Dirga nyulik dia? Nggak ada urusan sama lo kan!""Dari awal, lo udah tau Yo, Dirga itu cari kesempatan buat hancurin semua orang yang ada hubungannya sama gue." Rio mengangguk mengerti."Hubungan lo sama Gevin?""Gevin itu anaknya Om Bernard, dia itu relasi bisnis Bang Ferry dan lo tau kan, Bang Ferry selalu bilang ke gue biar gue punya hubungan baik sama mereka.""Terus hubungannya sama penculikan itu?" "Hari itu, gue sama Gevin ketemu di hotel. Ada masalah dan gue harus bantuin dia atas perintah bokapnya. Gua nggak tau, Dirga tau dari mana dan hari itu juga, Gevin langsung di culik. Untung aja gue belum terlambat." Rio menatap Cia dalam diam."Alasannya bukan itu!" Rio kali ini menatap dengan raut datarnya, "alasan lo nolong dia, bukan karen